Pelaku UMKM Minta Dilibatkan dalam Pembahasan Aturan Turunan UU Cipta Kerja
Kementerian Koperasi dan UKM berjanji melibatkan seluruh pemangku kepentingan terkait dalam menyusun aturan turunan UU Cipta Kerja di kluster UMKM dan koperasi. Rancangan PP itu ditargetkan selesai pada November 2020.
Oleh
CYPRIANUS ANTO SAPTOWALYONO
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kalangan pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah meminta dilibatkan dalam penyusunan peraturan pemerintah sebagai regulasi turunan Undang-Undang Cipta Kerja. Peraturan pemerintah tersebut diharapkan memberikan kejelasan aturan dan dukungan bagi mereka.
Ketua Umum DPP Himpunan Pengusaha Mikro dan Kecil Indonesia (Hipmikindo) Syahnan Phalipi, Kamis (8/10/2020), mengatakan, pelibatan itu terutama untuk detail atau sisi operasional yang kecil-kecil. ”Peraturan pemerintah harus teliti dan menyesuaikan kondisi UMKM,” katanya saat dihubungi di Jakarta.
Syahnan mencontohkan, salah satu poin yang saat ini menjadi perhatian pelaku usaha mikro kecil adalah ketentuan soal pengupahan. Ketentuan ini penting bagi pelaku usaha mikro kecil yang betul-betul mengalami keterbatasan kemampuan, terlebih di tengah pandemi Covid-19.
Pelaku usaha atau bisnis tertentu ada juga yang sanggup memenuhi ketentuan upah minimum. ”Mereka jangan sampai diberi keleluasaan. Tapi bagi pelaku usaha yang benar-benar tidak sanggup, ya, tolong juga mereka,” kata Syahnan.
Salah satu poin yang saat ini menjadi perhatian pelaku usaha mikro kecil adalah ketentuan soal pengupahan. Ketentuan ini penting bagi pelaku usaha mikro kecil yang betul-betul mengalami keterbatasan kemampuan, terlebih di tengah pandemi Covid-19.
Menurut dia, hal-hal seperti ini perlu diatur jelas dalam PP agar UMKM, khususnya usaha mikro kecil, dapat bertahan dan menjalankan perannya dalam ikut menyerap tenaga kerja. Peranan ini penting menimbang jumlah usaha mikro dan kecil di Indonesia yang sedemikian besar.
”Taruhlah satu unit usaha bisa menambah satu atau dua pekerja, maka akan mengurangi beban pemerintah dalam menekan tingkat pengangguran,” kata Syahnan.
Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil Menengah (Kemenkop UKM) mencatat, jumlah usaha mikro kecil pada 2019 sebanyak 64,13 juta unit. Jumlah ini sekitar 99,98 persen dari total 64,19 juta UMKM di Indonesia.
Ketua Umum Asosiasi Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah Indonesia (Akumindo) Ikhsan Ingratubun mengemukakan, Akumindo selama ini dimintai masukan saat penggodokan RUU Cipta Kerja. Masukan dan permintaan Akumindo pun ada yang diterima, semisal sertifikasi halal bagi usaha mikro kecil yang gratis atau dibayarkan pemerintah.
”Sebaiknya semua pemangku kepentingan, termasuk pelaku UMKM, nanti juga dilibatkan dalam pembahasan PP yang merupakan turunan bersifat teknis dari UU Cipta Kerja,” katanya.
Menteri Koperasi dan UKM Teten Masduki berjanji akan melibatkan seluruh pemangku kepentingan terkait dalam menyusun aturan turunan UU Cipta Kerja di klaster UMKM dan koperasi. ”Kami menargetkan rancangan PP itu selesai pada November 2020,” ujarnya.
Pada Kamis pagi, Kemenkop UKM menggelar rapat koordinasi dengan para kepala dinas koperasi dan UKM se-Indonesia. Hal ini agar mereka segera melakukan konsultasi publik untuk mendapatkan masukan-masukan yang lebih konkret di setiap daerah.
Kemenkop UKM selanjutnya juga akan meminta masukan pengamat, inkubator bisnis dari perguruan tinggi ataupun sektor swasta, dan termasuk asosiasi UMKM dan koperasi.
”Kami berharap seluruh pemangku kepentingan berkontribusi terhadap RPP sebagai pelaksana UU Cipta Kerja. Kami, menurut rencana, hanya akan membuat satu PP yang mengatur keseluruhan,” kata Teten.
Deputi Kelembagaan Kemenkop UKM Rulli Nuryanto merinci ada 10 substansi yang harus disusun lebih teknis di RPP tersebut. Substansi tersebut terkait kegiatan usaha koperasi, kegiatan koperasi yang berdasar prinsip syariah, kriteria UMKM, persyaratan dan tata cara perizinan berusaha, serta basis data tunggal.
Ada juga tentang pengelolaan terpadu usaha mikro dan kecil; kemitraan; perizinan tunggal; kemudahan dan penyederhanaan proses pendaftaran dan pembiayaan, hak kekayaan intelektual.
”Selain itu, termasuk juga kemudahan impor bahan baku dan bahan penolong industri apabila tidak dapat dipenuhi dari dalam negeri, dan/atau fasilitas ekspor; serta penyediaan tempat promosi dan pengembangan usaha mikro kecil pada infrastruktur publik dan besaran alokasinya,” kata Rulli.