UU Cipta Kerja akan memperbesar kemampuan usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) menyediakan lapangan kerja. Salah satu kemudahan yang diatur dalam payung hukum baru itu adalah izin usaha.
Oleh
CYPRIANUS ANTO SAPTOWALYONO
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah menyatakan Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja yang telah disetujui untuk disahkan menjadi undang-undang dapat memperkuat koperasi dan usaha mikro, kecil, dan menengah di Indonesia. Di sisi lain, ada pula pandangan bahwa regulasi sapu jagat atau omnibus law itu belum mengubah paradigma dalam upaya memperkuat kelembagaan koperasi.
Menteri Koperasi dan Usaha Kecil Menengah Teten Masduki, Rabu (7/10/2020), menuturkan, UU Cipta Kerja akan memperbesar kemampuan usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) menyediakan lapangan kerja. Salah satu kemudahan yang diatur dalam payung hukum baru itu adalah izin usaha.
”Selama ini UMKM disamaratakan dengan usaha besar sehingga kesulitan dalam mengurus perizinan. Sekarang kami permudah hanya dalam sekali pendaftaran,” ujarnya dalam telekonferensi pers Penjelasan UU Cipta Kerja di Jakarta.
Teten menambahkan, ada pula insentif dan kemudahan bagi usaha menengah dan besar yang bermitra dengan usaha mikro. Merujuk pengalaman dari sejumlah negara, UMKM yang tumbuh besar adalah yang bermitra dengan usaha besar.
”Demikian pula UMKM yang terintegrasi sistem produksinya dengan usaha besar, baik sebagai pemasok bahan baku, barang setengah jadi, maupun suku cadang,” katanya.
Ada pula insentif dan kemudahan bagi usaha menengah dan besar yang bermitra dengan usaha mikro. Merujuk pengalaman dari berbagai negara, UMKM yang tumbuh besar adalah yang bermitra dengan usaha besar.
Ketua Asosiasi Kader Sosio Ekonomi Strategis (AKSES) Suroto berpendapat, paradigma pemerintah masih berupa paradigma pembinaan. Padahal, yang dibutuhkan koperasi adalah perlakuan sama.
Perlakuan sama ini, misalnya, koperasi dapat menjadi badan hukum badan usaha milik negara (BUMN). ”Apalagi koperasi juga merupakan bentuk perusahaan yang dibangun sesuai demokrasi ekonomi sehingga dapat menjadi badan hukum layanan publik,” katanya.
Sementara, Ketua Umum Asosiasi Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah Indonesia (Akumindo) Ikhsan Ingratubun mengatakan, definisi atau kriteria UMKM di RUU Cipta Kerja masih kabur. Hal ini berbeda dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008 tentang UMKM yang jelas menyebutkan kriteria UMKM, salah satunya dari sisi omzet.
Pasal 6 UU UMKM salah satunya mengatur tentang kriteria usaha mikro, yaitu memiliki kekayaan bersih paling banyak Rp 50 juta dan hasil penjualan tahunan paling banyak Rp 300 juta. Demikian juga dengan kriteria usaha kecil dan menengah yang memiliki batasan nominal kekayaan bersih dan hasil penjualan tahunan yang lebih dari usaha mikro.
RUU Cipta Kerja mengubah ketentuan Pasal 6 itu. Secara umum, kriteria UMKM disebutkan dapat memuat modal usaha, omzet, indikator kekayaan bersih, hasil penjualan tahunan, atau nilai investasi, insentif dan disinsentif, penerapan teknologi ramah lingkungan, kandungan lokal, atau jumlah tenaga kerja sesuai kriteria setiap sektor usaha. Ketentuan lebih lanjut mengenai kriteria UMKM diatur dengan peraturan pemerintah.
”Tapi dari sisi kemudahan perizinan dan sertifikasi halal, kami merasa UU Cipta Kerja ini sudah memadai. Pendaftaran dapat dilakukan secara daring atau luring dengan melampirkan KTP dan surat keterangan berusaha dari pemerintah setingkat rukun tetangga,” kata Ikhsan.
Dari sisi perizinan, RUU Cipta Kerja antara mengubah Pasal 12 UU 20/2008. Tata cara dan jenis perizinan usaha disederhanakan dengan sistem pelayanan terpadu satu pintu, selain biaya perizinan usaha bagi usaha mikro digratiskan dan usaha kecil diringankan.
Sementara, Pasal 91 mewajibkan pemerintah pusat dan daerah sesuai kewenangannya membina dan mendaftar usaha mikro dan kecil berdasarkan norma, standar, prosedur, dan kriteria yang ditetapkan pemerintah pusat.