Selama ini, penyusunan rancangan peraturan pemerintah dibahas secara sepihak dan tertutup oleh kementerian/lembaga teknis. Ini berbeda dengan RUU yang dibahas bersama DPR dan bisa dikawal oleh masyarakat.
Oleh
agnes theodora
·2 menit baca
Nasib buruh kian terombang-ambing di tengah pandemi. Setelah menghadapi pukulan ekonomi akibat Covid-19 yang menggerus sumber nafkah, kini buruh berhadapan dengan regulasi yang mereduksi hak dan perlindungannya atas nama investasi.
Pengesahan RUU Cipta Kerja menjadi UU oleh pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI dalam Sidang Paripurna pada 5 Oktober 2020 membuat mereka resah. Tak hanya sejumlah pasal terkait ketenagakerjaan dalam omnibus law tersebut, mereka juga mengkhawatirkan peraturan-peraturan turunannya.
Misalnya, Pasal 59 dan Pasal 65 RUU Cipta Kerja tentang ketentuan pekerja kontrak (perjanjian kerja untuk waktu tertentu) dan pekerja alih daya (outsourcing). Pasal 59 UU Nomor 13 tentang Ketenagakerjaan yang diadopsi dalam RUU Cipta Kerja itu hanya mengatur batas waktu penyelesaian pekerja kontrak diatur ”dalam waktu yang tidak terlalu lama”.
Dalam UU Ketenagakerjaan disebutkan, pekerja hanya boleh dikontrak paling lama tiga tahun (dua tahun dengan perpanjangan satu tahun). Kini, batasan waktu itu tidak diatur dalam RUU Cipta Kerja. Ketentuan lebih lanjut mengenai jangka waktu dan batas waktu kontrak serta jenis dan sifat pekerjaan yang bisa dikontrak diatur dengan peraturan pemerintah (PP).
”Ini menyebabkan pengusaha dapat leluasa menafsirkan frasa ’tidak terlalu lama’ yang berakibat pada semakin minimnya kepastian kerja bagi buruh. Peluang menjadi pekerja tetap minim,” kata Sekretaris Jenderal Organisasi Pekerja Seluruh Indonesia Timboel Siregar, Selasa (6/10/2020).
Ini menyebabkan pengusaha dapat leluasa menafsirkan frasa ’tidak terlalu lama’ yang berakibat pada semakin minimnya kepastian kerja bagi buruh. Peluang menjadi pekerja tetap minim.
Selama ini, lanjut Timboel, penyusunan rancangan PP dibahas secara sepihak dan tertutup oleh kementerian/lembaga teknis. Ini berbeda dengan RUU yang dibahas bersama DPR dan bisa dikawal oleh masyarakat.
Anggota Panitia Kerja (Panja) RUU Cipta Kerja DPR RI, Hendrawan Supratikno, berpendapat, ketentuan mengenai pekerja kontrak dan alih daya, sebagaimana ketentuan lainnya yang alot, dilempar ke PP karena tarik-menarik kepentingan dalam pembahasan bersama pemerintah.
Ketentuan mengenai pekerja kontrak dan alih daya, sebagaimana ketentuan lainnya yang alot, dilempar ke PP karena tarik-menarik kepentingan dalam pembahasan bersama pemerintah.
Sementara Staf Ahli Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Elen Setiadi beralasan, durasi kerja kontrak tidak perlu diatur lagi, berhubung aspek keamanan dan perlindungan bekerja untuk buruh kontrak akan diatur lewat pemberian kompensasi terhadap pekerja yang kontraknya selesai.
Hal ini ditentang anggota Panja DPR RI, Obon Tabrani, yang menyatakan, kepastian kerja dinilai lebih penting untuk buruh dibandingkan dengan pemberian kompensasi tanpa batasan masa kontrak yang jelas.
Wakil Ketua Konfederasi Persatuan Buruh Indonesia (KPBI) Jumisih mengatakan, ”cek kosong” lewat PP itu memberi ketidakpastian kerja bagi buruh. ”Bisa dibayangkan bagaimana nasib pekerja akibat RUU Cipta Kerja kali ini. Semakin banyak buruh terancam terus-menerus menjadi buruh kontrak atau outsourcing tanpa batas. Padahal, harapan untuk kepastian kerja itu adalah harapan mereka untuk hidup dan menafkahi keluarga,” tuturnya.