Iklim investasi hulu migas Indonesia masih diselimuti ketidakpastian. Revisi UU No 22/2001 tentang Minyak dan Gas Bumi masih berlarut-larut. Kehadiran BUMN khusus diperlukan.
Oleh
ARIS PRASETYO
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Badan usaha milik negara khusus yang menangani hulu minyak dan gas bumi di Indonesia tetap diperlukan. Badan usaha yang sempat dimunculkan dalam draf Rancangan Undang-Undang tentang Cipta Kerja tersebut ditiadakan ketika disahkan menjadi undang-undang. Iklim investasi hulu minyak dan gas bumi dipertaruhkan.
BUMN khusus tersebut disinggung dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Kerja Paragraf 5 Pasal 41. Disebutkan bahwa badan usaha milik negara (BUMN) khusus ini nantinya dapat mengerjakan sendiri wilayah kerja hulu minyak dan gas bumi (migas) atau bekerja sama dengan badan usaha lain.
Kerja sama tersebut berdasarkan kontrak kerja sama. Selama ini, kontrak kerja sama dibuat antara pemerintah, yang direpresentasikan Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas), dan badan usaha.
Direktur Eksekutif ReforMiner Institute Komaidi Notonegoro mengatakan, ditiadakannya rencana pembentukan BUMN khusus bisa menjadi sebuah kemunduran bagi iklim usaha hulu migas di Indonesia. Pasalnya, entitas SKK Migas yang ada saat ini bersifat sementara sembari menunggu hasil revisi Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi.
Mahkamah Konstitusi membubarkan Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (BP Migas) lewat putusannya pada 2012. Kemudian, BP Migas digantikan SKK Migas.
”BUMN khusus tetap diperlukan. Sebab, lazimnya bisnis adalah entitas usaha dengan entitas usaha (business to business/B to B), bukan negara dengan perusahaan (government to business/G to B). Seandainya ada sengketa bisnis, maka badan usaha yang menghadapinya, bukan negara,” ujar Komaidi saat dihubungi, Rabu (7/10/2020).
Ditiadakannya rencana pembentukan BUMN khusus bisa menjadi sebuah kemunduran bagi iklim usaha hulu migas di Indonesia.
Komaidi menambahkan, dalam tataran ideal, wilayah kerja hulu migas di seluruh Indonesia dikelola oleh BUMN khusus tersebut. Selain diperbolehkan mengelola sendiri, BUMN khusus bisa menggandeng badan usaha lain lewat skema kontrak kerja sama. Kondisi tersebut dilakukan oleh Pertamina di masa lalu sebelum terbentuknya UU No 22/2001 tentang Minyak dan Gas Bumi.
Penasihat Ahli SKK Migas Satya Widya Yudha mengemukakan, SKK Migas bisa memaklumi dicabutnya pembahasan BUMN khusus dalam UU tentang Cipta Kerja. Pasalnya, UU No 22/2001 yang menjadi induk tata kelola hulu migas di Indonesia masih dalam proses revisi di DPR. Status pembentukan BUMN khusus diserahkan sepenuhnya kepada pemerintah dan DPR.
”Menurut hemat saya, keberadaan BUMN khusus tetap diperlukan sebagaimana perannya yang saat ini dijalankan oleh SKK Migas. Hanya saja, perannya disempurnakan yang tak hanya mengatur dan mengawasi jalannya kontrak kerja sama hulu migas, tetapi sekaligus bisa berniaga menjual produk migas,” kata Satya.
Hanya saja, perannya disempurnakan yang tak hanya mengatur dan mengawasi jalannya kontrak kerja sama hulu migas, tetapi juga sekaligus bisa berniaga menjual produk migas.
Asosiasi Perminyakan Indonesia (IPA) belum berpendapat mengenai ditiadakannya BUMN khusus di sektor hulu migas Indonesia. Direktur Eksekutif IPA Marjolijn Wajong, saat dihubungi, belum merespons pertanyaan Kompas.
Situasi hulu migas Indonesia kurang menggembirakan. Target investasi mencapai 13,4 miliar dollar AS pada 2019, realisasinya 12,5 miliar dollar AS. Selain itu, realisasi produksi siap jual (lifting) minyak sebesar 775.000 barel per hari hanya tercapai 746.000 barel per hari. Hingga semester I-2020, realisasi investasi hulu migas Indonesia sebesar 4,74 miliar dollar AS atau masih jauh di bawah target tahun ini yang sebesar 13,8 miliar dollar AS.
Sebelumnya, dalam diskusi publik tentang program legislasi nasional sektor energi dan pertambangan di Jakarta, mengemuka bahwa salah satu penyebab memburuknya iklim investasi di Indonesia adalah aturan yang mudah sekali berubah dan tak ramah investasi. Aturan yang mudah berubah menimbulkan ketidakpastian hukum. Aturan itu termasuk proses revisi UU Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi yang sampai saat ini berlarut-larut.