Pemulihan Pendidikan Masih Menjadi Pekerjaan Rumah
Pemulihan pendidikan menjadi fokus untuk menghadirkan layanan pendidikan berkualitas. Pemerintah diharapkan bisa mewujudkan transformasi pendidikan dengan semangat inklusif di semua satuan pendidikan.
Oleh
ESTER LINCE NAPITUPULU
·5 menit baca
Hari Pendidikan Nasional 2 Mei 2022 bertepatan dengan perayaan Idul Fitri 1443 Hijriah. Gegap gempita perayaan Hari Pendidikan Nasional pun sejenak tertunda, hingga diputuskan perayaan secara nasional dimundurkan menjadi tanggal 13 Mei. Tema perayaan Hari Pendidikan Nasional kali ini adalah ”Pimpin Pemulihan, Bergerak untuk Merdeka Belajar”.
Pemulihan pendidikan setelah dua tahun pandemi Covid-19 masih menjadi pekerjaan rumah yang belum selesai, meskipun masalah akut pendidikan nasional muncul jauh sebelum pandemi. Masa pandemi yang membuat pembelajaran di sekolah tidak optimal, digantikan dengan pembelajaran jarak-jauh yang juga belum berkualitas, membuat mutu pendidikan tetap rendah dengan terjadinya learning loss.
Apalagi, dengan adanya data evaluasi dasar atau baseline lewat Asesmen Nasional (AN) 2021 untuk mengevaluasi sistem pendidikan di satuan pendidikan, daerah, dan nasional, nyata benar bawa pendidikan nasional Indonesia punya masalah akut yang harus serius dibenahi. Pendidikan holistik yang menjadi andalan utama penguatan sumber daya manusia Indonesia yang cerdas dan berkarakter untuk mengoptimalkan bonus demografi 2030 dan 100 tahun kemerdekaan Indonesia pada 2045 masih jauh dari harapan.
Pendidikan yang ada saat ini belum mampu membekali kecakapan dasar literasi dan numerasi untuk menjadi fondasi anak-anak Indonesia menjadi pembelajar mandiri dan pembelajar sepanjang hayat. Pendidikan karakter ternyata masih sekadar menyentuh kognitif semata atau hafalan, belum menjadi budaya dalam diri individu maupun satuan pendidikan. Selain itu, layanan pendidikan yang aman, nyaman, bermakna, dan berpusat pada anak belum menjadi kultur keseharian dalam pembelajaran di sekolah yang dinikmati anak-anak Indonesia.
Cita-cita mulia untuk mencerdaskan kehidupan bangsa masih menjadi tanda tanya besar, mungkinkah terwujud? Generasi penerus bangsa yang cerdas dan berkarakter belumlah mampu dipersembahkan sistem pendidikan nasional yang ada saat ini.
Dengan kemampuan literasi, numerasi, penguasaan ilmu pengetahuan, serta teknologi yang masih di bawah standar, juga karakter moral dan kinerja yang belum selaras, akankah pemulihan pendidikan ke depan bisa mengatasi ketertinggalan kualitas pendidikan Indonesia?
Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nadiem Anwar Makarim yang memimpin upaya pemulihan pendidikan nasional menyediakan belasan episode Merdeka Belajar sejak kepemimpinannya, baik di masa pandemi maupun pascapandemi. Nadiem melakukan pembenahan kualitas pendidikan dengan menghapuskan ujian nasional (UN) dan menciptakan evaluasi sistem pendidikan melalui AN. AN bertujuan memotret capaian kompetensi literasi dan numerasi, karakter (Profil Pelajar Pancasila), dan lingkungan belajar di jenjang SD, SMP, dan SMA/SMK derajat serta semua guru dan tenaga kependidikan.
Transformasi mendasar terhadap sistem pendidikan ditempuh lewat beragam kebijakan dengan semangat tidak melakukan penyeragaman supaya anak-anak Indonesia terlepas dari latar belakang sosial, ekonomi, dan budaya. Di mana pun mereka tinggal, mereka bisa mendapat pendidikan berkualitas.
Pembelajaran yang berpusat pada siswa dan menghadirkan pengalaman belajar bermakna lewat Merdeka Belajar memberikan ruang bagi guru dan siswa untuk menjalani proses belajar yang aman, nyaman, dan inklusif. Di sinilah, kompetensi dan karakter siswa terbentuk.
Satuan pendidikan dan pemerintah daerah (pemda) pun kini didorong untuk serius menciptakan pendidikan berkualitas. Rapor pendidikan menjadi panduan untuk mengetahui sejauh mana perkembangan satuan pendidikan dan pemda berkomitmen menyediakan layanan pendidikan bermutu agar peserta didik bisa mencapai standar kompetensi lulusan yang ditetapkan.
Ada kewajiban untuk menyediakan guru dan tenaga kependidikan yang jumlahnya cukup serta profesional. Di sisi lain, satuan pendidikan dan guru diberi kemerdekaan untuk menghadirkan ruang kreativitas dan inovatif dalam pembelajaran.
Lalu, Kurikulum Merdeka yang masih dalam tahap uji coba ini pun menjadi tawaran untuk pemulihan proses pembelajaran di ruang-ruang kelas. Bergerak dari sekolah penggerak, kini lebih dari 100.000 sekolah diajak secara mandiri untuk menjadi bagian implementasi Kurikulum Merdeka.
Upaya pemulihan ditempuh dengan beragam program dan kebijakan, yang kemudian dibuatkan payung hukumnya. Bahkan, terobosan besar kembali ditawarkan untuk pemulihan pendidikan dengan rencana perubahan Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional Nomor 20 Tahun 2003 yang nanti akan menjadi semacam omnibus law pendidikan yang menyatukan tiga undang-undang, yakni UU Sidiknas, UU Guru dan Dosen, serta UU Pendidikan Tinggi, demi mewujudkan adanya satu sistem pendidikan nasional.
Revolusi kualitas pendidikan
Ditambah lagi dengan momentum Indonesia mengawal Presidensi G20 tahun 2022, pemulihan pendidikan menjadi agenda dunia yang ditangani Kelompok Kerja Pendidikan. Pemulihan pendidikan akibat pandemi dibutuhkan untuk tetap memastikan pendidikan berkualitas bagi semua tetap tercapai.
Selain itu, upaya pemulihan pendidikan global juga butuh kolaborasi dan kemitraan bersama lintas sektor guna memastikan layanan pendidikan yang relevan demi masa depan generasi muda, termasuk untuk memasuki dunia kerja yang berubah.
Guru Besar Universitas Pendidikan Indonesia S Hamid Hasan mengatakan, pendidikan berkualitas untuk semua menjadi janji negara yang harus dipenuhi. Pendidikan berkualitas ini harus diwujudkan tanpa membeda-bedakan.
Sayangnya, ujar Hamid, Kemendikbudristek dalam mengimplementasikan transformasi pendidikan tetap saja dengan pendekatan yang mengkotak-kotakkan atau membeda-bedakan. ”Jangan ada diskriminasi antara sekolah penggerak/mandiri/unggul dan sekolah biasa. Ini kebijakan kolonial yang membedakan hak-hak warga terjajah pada masa kolonial. Indonesia negara merdeka dan semua warga negara memiliki hak yang sama untuk pendidikan berkualitas. Jangan berorientasi pada sekolah elite dan mahal serta membelah sistem persekolahan dengan konsep sekolah mandiri dan sekolah biasa,” ujar Hamid.
Hamid menambahkan, Kemendikbudristek seharusnya mengajak semua unsur bangsa (pemda, yayasan pendidikan, hingga organisasi yang memiliki kegiatan pendidikan) untuk bersama membangun pendidikan berkualitas. Tidak perlu ada seleksi seperti pada masa lalu karena semua menginginkan satuan pendidikan berkualitas.
”Kementerian dan semua elemen tersebut bekerja sama dalam suatu gerakan ’revolusi kualitas pendidikan Indonesia’. Semua adalah untuk kepentingan anak bangsa,” katanya.
Hal senada disampaikan Ketua Yayasan Cahaya Guru Henny Supolo yang menyayangkan pendekatan untuk perubahan menuju kualitas masih senang memakai label-label. Akibatnya, ada semacam kastanisasi yang tercipta dalam ekosistem pendidikan yang membuat ketidaksetaraan antara satu sama lain. Sekolah penggerak atau guru penggerak kini dianggap lebih ”super” dari sekolah/guru biasa lainnya.
Mengutip Yayasan Cahaya Guru tentang pemikiran Ki Hadjar Dewantara, dalam rangka menyambut Hari Pendidikan Nasional 2022, pendidikan berkualitas membutuhkan pekerjaan pendidik yang mumpuni ibarat menumbuhkan padi dan mengukir kayu. Butuh kaum pendidik yang menuntun tumbuhnya anak-anak sesuai kodrat mereka dan mengukir kehidupan manusia dengan mengenali anak-anak sebagai manusia.
Disebutkan pendidikan yang teratur, yaitu pendidikan yang bersandar atas pengetahuan, yang dinamakan ilmu pendidikan. Ilmu pendidikan tidak berdiri sendiri, membutuhkan ilmu-ilmu yang terbagi menjadi lima jenis, yakni ilmu hidup batin manusia (ilmu jiwa), ilmu hidup jasmani manusia (fisiologi), ilmu keadaan atau kesopanan (etika moral), ilmu keindahan atau ketertiban lahir (estetika), dan ilmu tambo pendidikan (ikhtisar cara-cara pendidikan).