Pendapatan Tenaga Kerja Perempuan Hanya 24,8 Persen dari Angka Nasional
Pendapatan pekerja perempuan di Indonesia pada 2020 hanya 24,8 persen dari angka nasional. Ketimpangan ini menghambat upaya mencapai kesetaraan jender.
Oleh
SEKAR GANDHAWANGI
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pendapatan tenaga kerja perempuan di Indonesia pada 2020 hanya 24,8 persen dari total pendapatan tenaga kerja nasional. Angka tersebut tidak banyak berubah dalam 30 tahun terakhir. Ini menunjukkan ketimpangan jender di Indonesia masih terjadi.
Pada 1990, pendapatan tenaga kerja perempuan hanya 21 persen dari angka nasional. Angka tersebut naik di tahun-tahun berikutnya, tetapi tidak signifikan, yaitu pada tahun 2000 (23,5 persen), 2010 (23,7 persen), dan 2020 (24,8 persen).
Hal ini sesuai Laporan Ketimpangan Dunia atau World Inequality Report (WIR) 2022. WIR disusun oleh Lab Ketimpangan Dunia bersama Program Pembangunan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNDP). Laporan ini menjabarkan kondisi ketimpangan dari sisi ekonomi, ekologi, dan jender. Situasi ketimpangan di Indonesia juga dijabarkan.
Perempuan bekerja tiga kali lebih lama dari laki-laki di keluarga.
”Dari tahun 1990-2020 atau selama 30 tahun, pendapatan berbasis jender di Indonesia tidak banyak berubah, masih timpang. Angka ketimpangan 24,8 persen ini sedikit lebih tinggi dari negara-negara di Asia, tidak termasuk China, yang angkanya 21 persen,” kata Senior Program Officer SDGs International NGO Forum on Indonesian Development (INFID) Bona Tua secara daring, Jumat (4/3/2022).
Di sisi lain, pendapatan pekerja perempuan di Indonesia masih lebih rendah jika dibandingkan Jepang (28 persen) dan Korea (32 persen). Namun, angka Indonesia lebih tinggi dari India (18 persen).
Kondisi ini bertolak belakang dengan pentingnya peran perempuan untuk perekonomian nasional. Sebelumnya, McKinsey Global Institute memperkirakan produk domestik bruto (PDB) nasional bisa naik 135 miliar dollar AS pada 2024 jika tiga kondisi terpenuhi. Pertama, bila partisipasi perempuan dalam angkatan kerja meningkat. Kedua, bila lebih banyak perempuan bekerja penuh waktu. Ketiga, bila lebih banyak perempuan bekerja di sektor dengan produktivitas tinggi.
Menurut Ketua Badan Pengurus Yayasan Pemberdayaan Perempuan Kepala Keluarga (PEKKA) Nani Zulminarni, perempuan menghadapi sejumlah rintangan. Perempuan memiliki jam kerja yang lebih panjang dari laki-laki. Perempuan juga kerap mengerjakan pekerjaan domestik tidak berbayar. Hal ini dapat mengurangi kualitas hidup perempuan.
”Ini membuat posisi perempuan di keluarga menjadi rentan. Padahal, beban kerja mereka banyak. Perempuan bekerja tiga kali lebih lama dari laki-laki di keluarga,” kata Nani.
Di sisi lain, tidak semua perempuan punya kesempatan mengasah kemampuan dan kualitas dirinya. Ini tampak dari rata-rata lama sekolah untuk perempuan secara nasional, yakni 7,65 tahun pada 2017. Artinya, rata-rata perempuan hanya bersekolah hingga kelas 1 SMP.
Menurut Komisioner Komnas Perempuan Maria Ulfah Anshor, ketimpangan jender juga disebabkan oleh ancaman kekerasan kepada perempuan. Catatan Tahunan Komnas Perempuan 2020 menyebut ada 431.471 kasus kekerasan terhadap perempuan pada 2019. Angka ini naik dari tahun 2018 (406.178 kasus) dan 2017 (348.446 kasus).
Tahun 2020 juga mencatat kekerasan terhadap perempuan di ranah personal mencapai 75,4 persen. Kekerasan di ranah komunitas, termasuk tempat kerja 24,4 persen, sementara kekerasan di ranah negara 0,08 persen.
Angka tersebut naik jika dibandingkan catatan tahun 2021. Kekerasan di ranah personal naik jadi 79 persen, di ranah komunitas 71 persen, dan ranah negara 23 persen. Kekerasan yang dimaksud termasuk kekerasan seksual, fisik, dan psikis.
Maria pun mendesak agar Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS) segera disahkan. RUU TPKS penting karena dapat mengatur pemulihan korban sebelum, selama, dan setelah masa peradilan.
RUU ini juga menambah daftar alat bukti yang bisa digunakan korban kekerasan seksual. Selama ini, korban hanya bisa menggunakan lima alat bukti, yaitu keterangan ahli, keterangan saksi, surat, petunjuk, dan keterangan terdakwa. Apabila RUU TPKS disahkan, alat bukti bertambah antara lain keterangan korban, surat keterangan psikolog atau psikiater, data elektronik, dokumen, dan data rekam medis. Aparat penegak hukum pun akan dilarang merendahkan dan menyalahkan korban seperti yang selama ini terjadi.
”Namun, ada substansi penting dari RUU TPKS yang hilang (dalam proses pembahasan di DPR). Kami merekomendasikan sembilan jenis kekerasan seksual, tapi yang diambil hanya lima. Ada empat lainnya yang tidak masuk dalam RUU ini, antara lain perkawinan anak dan perbudakan seksual,” ucap Maria.
Deputi Bidang Perlindungan Hak Perempuan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Ratna Susianawati, mengatakan, kesetaraan jender mesti diarusutamakan ke berbagai lapis masyarakat. Kesetaraan jender yang dimaksud tidak selalu tentang perempuan, tetapi tentang peran, fungsi, kedudukan, dan pembagian kerja yang setara antara laki-laki dan perempuan.