Ketidaksetaraan Menutup Akses Perempuan dalam Pembangunan
Perjuangan perempuan untuk mewujudkan kesetaraan jender di berbagai bidang pembangunan hingga kini terus berlangsung. Perempuan mandiri secara ekonomi menjadi salah satu jalan untuk menghapus berbagai diskriminasi.
Oleh
Sonya Hellen Sinombor
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Meski mengalami sejumlah kemajuan, hingga kini posisi perempuan di berbagai bidang pembangunan masih jauh tertinggal dari laki-laki. Budaya patriarki yang menjadi akar ketidaksetaraan laki-laki dan perempuan terus langgeng di masyarakat, mempersempit bahkan menutup akses perempuan untuk ikut berperan dan menikmati hasil pembangunan.
Kesenjangan antara perempuan dan laki-laki juga terjadi dalam proses-proses pengambilan keputusan yang belum semuanya berperspektif jender. Kondisi tersebut membuat kebutuhan perempuan kerap tidak terakomodir.
“Kesenjangan perempuan dalam dalam mengakses, berpartisipasi, ikut menentukan arah pembangunan, serta menikmati manfaat pembangunan dapat terlihat dari berbagai indeks dan data,” ujar Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) I Gusti Ayu Bintang Darmawati pada Peluncuran Pelatihan Kewirausahaan Berspektif Jender Bagi Perempuan Rentan dan Kepemimpinan Perempuan Perdesaan, Kamis (5/8/2021) secara daring.
Kesenjangan perempuan dalam dalam mengakses, berpartisipasi, ikut menentukan arah pembangunan, serta menikmati manfaat pembangunan dapat terlihat dari berbagai indeks dan data.(I Gusti Ayu Bintang Darmawati)
Peluncuran dihadiri Woro Srihastuti Sulistyaningrum (Direktur Keluarga, Perempuan, Anak, Pemuda, dan Olahraga Kementerian PPN/Bappenas), Misiyah (Direktur KAPAL Perempuan), dan Fitriani Sunarto (Sekretaris Eksekutif Asosiasi Pusat Pengembangan Sumberdaya Wanita/PPSW).
Bintang menegaskan, pemerintah tentunya menaruh komitmen besar dalam kerja-kerja pemberdayaan perempuan. Karena itu, dia menyatakan prihatin menyaksikan kesenjangan masih terjadi sampai saat ini. “Apalagi menurut berbagai sumber dan hasil penelitian, pandemi Covid-19 yang hingga sekarang masih kita hadapi, juga memperparah jurang ketidaksetaraan jender antara perempuan dan laki-laki,” tegas Bintang.
Ketahanan ekonomi perempuan merupakan hulu dari berbagai permasalahan yang terjadi pada perempuan. Bahkan, ketidakberdayaan perempuan secara ekonomi menjadi salah satu akar masalah terjadinya kekerasan terhadap perempuan dan anak, perdagangan orang, perkawinan anak, dan pekerja anak.
Berdasarkan hal-hal tersebut, Bintang menyakini hanya perempuanlah yang mampu menjadi advokat terbaik bagi diri dan kaumnya sendiri. Karena itulah, potensi perempuan untuk menjadi pemimpin harus dapat didukung, untuk mempersempit, bahkan menutup jurang ketidaksetaraan antara perempuan dan laki-laki.
Mendorong perempuan bangkit
Pelatihan Kewirausahaan dan Kepemimpinan Perempuan di Perdesaan bertujuan memperkuat pemberdayaan ekonomi perempuan dan meningkatkan potensi perempuan dalam kepemimpinan, khususnya bagi perempuan di perdesaan, sekaligus untuk mendukung terwujudnya Desa Ramah Perempuan dan Peduli Anak (DRPPA).
Deputi Bidang Kesetaraan Jender Kementerian PPPA, Lenny N Rosalin mengungkapkan, pelatihan tersebut tidak hanya untuk mengatasi kerentanan perempuan terutama akibat pandemi Covid-19, tapi juga diharapkan dapat membuat perempuan bangkit dan berdaya baik bagi dirinya, keluarga, maupun bangsa.
Untuk penyelenggaran pelatihan, Kementerian PPPA bekerja sama dengan KAPAL Perempuan, Pemberdayaan Perempuan Kepala Keluarga (PEKKA), Asosiasi Pendamping Perempuan Usaha Kecil (ASPPUK), Asosiasi Pusat Pengembangan Sumberdaya Wanita (PPSW), dan Koalisi Perempuan Indonesia (KPI).
Pelatihan ini dilakukan secara bersamaan di 15 provinsi dan 29 kabupaten/kota, mulai dari Agustus 2021 hingga Desember 2021, yang dilakukan di balai-balai desa dengan melibatkan dinas-dinas terkait dan lembaga masyarakat. Desa menjadi target, karena dan 43 persen jumlah perempuan dan anak di Indonesia tinggal di desa.
Pelatihan kewirausahaan ditargetkan pada perempuan rentan seperti perempuan penyintas kekerasan, perempuan penyintas bencana, perempuan kepala keluarga, serta perempuan pelaku usaha mikro di lokasi wisata super prioritas.
Pelatihan tersebut diharapkan menumbuhkan minat berwirausaha pada perempuan perdesaan, menjadikannya calon wirausaha, kemudian naik kelas menjadi wirausaha pemula, dan pada akhirnya menjadi wirausaha mapan. “Sehingga perempuan rentan tersebut dapat mandiri secara ekonomi, dan dapat berkontribusi bagi peningkatan kesejahteraan keluarganya,” ungkap Lenny.
Kepemimpinan perempuan
Misiyah mengungkapkan, pelatihan kepemimpinan perempuan adalah salah satu tahapan mewujudkan perubahan dari lima aspek pemberdayaan perempuan. Kelima perubahan tersebut adalah pertama, aspek kesejahteraan (manfaat), yakni pembangunan dapat dinikmati oleh perempuan di segala bidang, mengalami peningkatan dalam pendapatan, pendidikan, layanan kesehatan reproduksi, pendampingan kasus.
Kedua, aspek akses yakni terbuka kesempatan dan menjangkau yang selama ini tidak terjangkau (kredit, layanan hukum, kepemilikan tanah, forum pengambilan keputusan, posisi strategis desa, informasi publik). Ketiga, aspek kesadaran kritis, yakni memahami dan melakukan usaha keluar dari masalah ketimpangan jender (kekerasan berbasis jender)
“Selain itu, aspek partisipasi yakni hadir, memberikan data memberi usulan, mempengaruhi keputusan agar responsif jender dan inklusif, serta aspek kontrol yakni mengawal hasil-hasil keputusan agar implementasinya sesuai,” ujar Misiyah.
Fitriani mengungkapkan pentingnya membangun perspektif jender pada keluarga. Sebab sejumlah perempuan tidak dapat mengakses dan mengontrol sumber daya untuk menjalankan usaha, karena keluarga tidak mendukung, karena berbagai faktor yakni suami/anak melarang untuk beraktivitas di luar rumah, diperkenankan aktivitas keluar rumah asal semua pekerjaan rumah tangga sudah diselesaikan ( beban ganda).
Namun, ada juga karena kekhawatiran ketika perempuan mandiri , tidak akan menghargai keberadaan laki-laki, atau merasa keluarga sudah mencukupi kebutuhan rumah tangga sehingga tidak perlu berwirausaha.