Putusan PN Bandung terhadap terdakwa Herry Wirawan (36) di Kota Bandung, pelaku kekerasan seksual terhadap 13 anak, terus mengundang perhatian publik. Salah satunya soal pembayaran restitusi pada korban
Oleh
SONYA HELLEN SINOMBOR
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Negara diharapkan secepatnya hadir bagi anak-anak korban kekerasan seksual dari terdakwa Herry Wirawan (36) di Kota Bandung, Jawa Barat. Demi kepentingan korban, putusan Pengadilan Negeri Bandung yang membebankan pembayaran restitusi atau ganti rugi kepada negara melalui Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak seharusnya bisa dilaksanakan lebih dulu.
Sementara proses hukum berlanjut, pemerintah bisa mencari cara atau alternatif lain agar dapat membayar lebih dulu restitusi kepada para korban. Agar tidak menyalahi aturan keuangan negara, pemerintah bisa mengalokasikan anggaran melalui Bagian Anggaran Bendahara Umum Negara (BA BUN), dengan pertimbangan kondisi yang dialami para korban kekerasan seksual sebagai kondisi darurat.
”Jadi, sebetulnya ada alternatif lain, dalam sistem APBN kita itu, kan, ada mata anggaran BA BUN. Mestinya kalau pemerintah fleksibel, anggaran itu bisa digunakan untuk kasus-kasus kedaruratan. Maka, tidak usah terlalu sulit-sulit amat. Jadi, tidak perlu kemudian jalan berliku,” ujar Arsul Sani, Wakil Ketua MPR, saat hadir dalam pertemuan media bertema ”Restitusi Vs Kompensasi bagi Korban Kekerasan Seksual” yang digelar Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), Rabu (23/2/2022).
Arsul yang juga anggota Komisi III DPR menyampaikan penjelasan dari sudut pandang legislatif terkait dengan strategi perundang-undangan terkait pelaksanaan kompensasi dan restitusi. Ia mengatakan, mekanisme pembayaran restitusi tersebut terlihat sulit karena sistem anggaran yang tidak fleksibel. Namun, sebenarnya bisa dicari alternatif melalui alokasi BA BUN.
Restitusi itu bukan hukuman atau alternatif pidana penjara atau denda. Restitusi tidak bisa gantikan pidana lain.
Dalam diskusi media yang dibuka Wakil Ketua LPSK Livia Istania Iskandar, dibahas bagaimana langkah LPSK ke depan terkait dengan tanggung jawab restitusi yang dilaksanakan oleh Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kementerian PPPA) berdasarkan putusan majelis hakim PN Bandung.
Hadir juga sebagai pembicara Nahar (Deputi Perlindungan Khusus Anak Kementerian PPPA), Dhahana Putra (Staf Ahli Menkumham Bidang Hubungan Antarlembaga), Edwin Partogi Pasaribu (Wakil Ketua LPSK), Harkristuti Harkrisnowo (pakar pidana Universitas Indonesia/anggota tim penyusun Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban), dan Erasmus Abraham Todo Napitupulu (Direktur Eksekutif Institute for Criminal Justice Reform/ICJR).
Seperti diberitakan, Herry Wirawan (36) divonis penjara seumur hidup, Selasa (15/2/2022). Sebelumnya, jaksa penuntut umum menuntut terdakwa dihukum mati. Dengan vonis seumur hidup, oleh majelis hakim yang diketuai Yohanes Purnomo Ali, terdakwa tidak dibebani untuk membayar restitusi, bahkan tidak dikebiri. Restitusi dibebankan kepada negara melalui Kementerian PPPA sebesar Rp 331 juta.
Terdakwa dinilai terbukti bersalah karena sejak tahun 2016 hingga 2021 telah memperdaya para korban dengan banyak rayuan, salah satunya dengan menguliahkan para korban jika bersedia memuaskan nafsunya. Para korban mendapatkan pelecehan seksual saat masih di bawah umur.
Dari perbuatan tersebut, lahir sembilan bayi dari delapan korban. Satu korban bahkan melahirkan dua kali. Mereka kini menjadi trauma.
Kejahatan tersebut dilakukan Herry di sekolah yang dikelolanya, yakni Pondok Pesantren Manarul Huda Antapani dan Madani Boarding School di Cibiru, hingga di beberapa hotel dan apartemen di Kota Bandung. Herry ditangkap pada pertengahan 2021 dan menjalani persidangan sejak November 2021 hingga vonis pada 15 Februari 2022.
Dilindungi LPSK
Edwin menyatakan, LPSK masuk pada perkara Herry sejak September 2021 setelah ada permohonan perlindungan yang diajukan oleh Unit Pelayanan Terpadu Daerah (UPTD) Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) Jawa Barat yang mewakili 13 korban (14-20 tahun). Dalam proses pendampingan, salah seorang korban mengundurkan diri dari fasilitasi restitusi.
”LPSK melakukan penilaian kerugian terhadap 12 korban, dengan komponen kerugian berupa kehilangan kekayaan, biaya medis dan psikologis, serta penderitaan. Di antara korban ada yang mengklaim kerusakan organ intim akibat persetubuhan paksa dan ada yang klaim janji pelaku untuk membiyai kuliah korban,” ujar Edwin.
Terhadap putusan hakim, LPSK menilai hakim tidak tepat membebankan pidana tambahan berupa restitusi kepada negara melalui Kementerian PPPA. Alasannya, restitusi merupakan ganti kerugian yang dberikan kepada korban atau keluarganya oleh pelaku atau pihak ketiga.
Selain itu, negara bukanlah pihak ketiga dalam perkara tersebut karena negara tidak ada hubungan dengan perbuatan pidana pelaku. Pihak ketiga haruslah pihak yang jelas hubungan hukumnya dengan pelaku. Secara hukum ganti kerugian oleh negara hanya memungkinkan dalam konteks kompensasi (sejauh ini hanya berlaku bagi korban pelanggaran hak asasi manusia yang berat dan terorisme).
Oleh karena itu, LPSK merekomendasikan pembayaran restitusi dapat dibebankan dari aset yayasan pelaku. Yayasan dibubarkan lebih dahulu, lalu aset disita dan dijual untuk pembayaran restitusi.
Nahar menyatakan, jika nanti putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap, ada tingkat kesulitan yang akan dihadapi ketika akan dieksekusi. Kesulitan tersebut berupa belum adanya payung hukum yang mengatur tata cara dan prosedur jaksa dalam melaksanakan putusan pengadilan untuk melaksanakan pemberian restitusi oleh pemerintah.
”Tidak adanya jaminan bagi korban untuk memperoleh hak atas restitusi. Akan menjadi preseden (yurisprudensi) bagi putusan serupa, dan tidak terpenuhinya rasa keadilan bagi korban,” ujar Nahar.
Harkristuti menegaskan, restitusi adalah program yang ditujukan untuk korban agar bisa pulih. ”Jadi, restitusi itu bukan hukuman atau alternatif pidana penjara atau denda. Restitusi tidak bisa gantikan pidana lain,” katanya.
Oleh karena itu, restitusi diberikan kepada korban yang mengalami penderitaan akibat tindakan yang dilakukan pelaku/terdakwa. Restitusi berbeda dengan kompensasi. Namun, negara punya mandat melindungi warganya. Karena itu, jika pelaku tidak bisa memberikan ganti rugi, negara yang harus memberikan ganti rugi kepada korban.
Erasmus pun menilai ada masalah serius dalam pemenuhan restitusi. Kajian ICJR menemukan masalah administrasi dalam pelaksanaan restitusi. Selain ada beban untuk korban ketika harus mengajukan restitusi, ada juga pengaturan komponen restitusi yang berbeda dan ketidakjelasan mekanisme penghitungan ganti kerugian.
”Kita juga punya problem dalam pelaksanaan restitusi, mulai tuntutan, putusan, dan eksekusi restitusi yang pencapaian minim,” kata Erasmus. Ia pun menegaskan ada masalah lain, yakni kemungkinan pelaku tidak mampu dan tidak mau bayar restistusi.