Herry Wirawan, Pelaku Kekerasan 13 Siswa di Bandung, Dituntut Hukuman Mati
Herry Wirawan (36), terdakwa kekerasan seksual terhadap belasan siswanya di Kota Bandung, menghadapi ancaman hukuman mati. Hukuman ini dinilai bisa memberikan efek jera agar tindakan serupa tidak terulang kembali.
Oleh
MACHRADIN WAHYUDI RITONGA
·3 menit baca
BANDUNG, KOMPAS — Terdakwa kekerasan seksual terhadap 13 anak di Kota Bandung, Herry Wirawan (36), dituntut hukuman mati. Selain melibatkan banyak korban, kejahatan yang dilakukan HW menggunakan simbol agama dan pendidikan untuk memperdaya korban serta dilakukan sistematis.
Kepala Kejaksaan Tinggi Jabar Asep N Mulyana seusai persidangan, Selasa (11/1/2022), menyatakan, terdakwa dituntut hukuman mati serta kebiri kimia. Dia berujar, tuntutan ini menjadi bukti komitmen penegakan hukum untuk memberikan efek jera kepada pelaku.
”Kami menuntut terdakwa dengan hukuman mati. Kami juga meminta hakim menjatuhkan pidana tambahan berupa pengumuman identitas dan hukuman tambahan berupa kebiri kimia,” ujarnya saat ditemui seusai persidangan tuntutan terdakwa HW di Pengadilan Negeri Bandung.
Asep yang bertindak sebagai jaksa penuntut umum (JPU) menyatakan, tuntutan hukuman mati ini diberikan karena kejahatan terdakwa menimbulkan kerugian yang luar biasa bagi para korban. Bahkan, terdakwa menggunakan simbol agama dan pendidikan untuk membenarkan perbuatannya dan memperdaya para korban.
Herry Wirawan adalah terdakwa dari kasus kekerasan seksual yang menimpa 13 perempuan di bawah umur yang menjadi muridnya. Tindakan bejat ini telah berlangsung antara tahun 2016-2021.
Asep menyebutkan, kekerasan ini dilakukan secara terus-menerus dan sistematik. Terdakwa bahkan disebut tidak mengenal waktu dalam melakukan tindakan tidak manusiawinya tersebut. Sebanyak sembilan bayi telah lahir akibat perbuatan keji ini.
Di sisi korban, kejahatan ini memberikan dampak luar biasa. Menurut Asep, tindakan pelaku tidak hanya menyerang fisik, tetapi juga berdampak pada kondisi psikologis dan emosional korban.
”Kejahatan ini akan berpengaruh pada perkembangan kognitif, emosional, sosial dan fisik korban. Perbuatan terdakwa juga berpotensi menimbulkan korban ganda, yaitu kekerasan seksual hingga kekerasan ekonomi dan fisik yang menimbulkan dampak sosial dari berbagai aspek," papar Asep.
Karena tindakan di luar batas kemanusiaan tersebut, lanjut Asep, pihaknya menuntut hukuman berat terhadap terdakwa. Tuntutan ini mengacu pada Pasal 81 Ayat 1, 3 dan Ayat 5 juncto Pasal 76 Undang-Undang No 17 Tahun 2016 Tentang Perubahan Kedua atas UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak menjadi UU juncto Pasal 65 Ayat 1 KUHP.
Hukuman ini lebih berat daripada tuntutan awal dengan hukuman maksimal 20 tahun. Pemberatan dilakukan sesuai ayat 5, yakni tindak pidana menimbulkan korban lebih dari satu orang yang mengakibatkan luka berat, gangguan jiwa, penyakit menular, terganggu atau hilangnya fungsi reproduksi, dan atau korban meninggal. Jika terbukti, pelaku dapat dijerat pidana mati, seumur hidup, atau pidana penjara paling singkat 10 tahun dan paling lama 20 tahun.
Dewan Pembina Komisi Nasional Perlindungan Anak Bimasena puas atas tuntutan itu. JPU disebut telah menggunakan produk hukum yang sesuai untuk menuntut pelaku kejahatan seksual. Dia berharap, tuntutan ini bisa memberikan efek jera bagi para pelaku kekerasan seksual, terutama kepada anak.
”Kami berharap penegak hukum lainnya menjadikan ini contoh untuk berani memberikan hukuman berat kepada para pelaku kejahatan seksual terhadap anak. Ini sesuai dengan harapan kami dan harapan masyarakat yang meminta keadilan atas kasus ini,” ujarnya.