Desakan hukuman mati bagi pelaku kekerasan seksual belasan anak di Bandung, Herry Wirawan (36), terus didorong. Semua itu demi memberikan rasa keadilan bagi korban dan efek jera agar kejadian serupa tidak terulang.
Oleh
MACHRADIN WAHYUDI RITONGA
·3 menit baca
BANDUNG, KOMPAS — Jaksa penuntut umum kasus kekerasan seksual terhadap 13 anak di Kota Bandung berkukuh agar terdakwa Herry Wirawan (36) mendapatkan hukuman mati. Untuk itu, pihaknya melakukan banding atas putusan majelis hakim Pengadilan Negeri Bandung yang menetapkan hukuman seumur hidup. Jaksa menilai kejahatan kemanusiaan yang dilakukan terdakwa dinilai sangat serius sehingga harus mendapatkan hukuman maksimal sehingga mampu memberikan efek jera.
Kepala Kejaksaan Tinggi Jawa Barat Asep N Mulyana di Bandung, Selasa (22/2/2022) menyatakan, dalam kasus ini pihaknya konsisten untuk menuntut terdakwa dengan hukuman mati. Selain itu, dia juga meminta agar restitusi atau ganti rugi tetap dibebankan kepada pelaku.
”Kami tetap menganggap kejahatan yang dilakukan Herry Wirawan ini sangat serius. Kami konsisten tuntutan pidana mati. Kami juga melakukan upaya hukum terkait pembebanan restitusi,” ujarnya seusai peresmian Gedung Kejaksaan Tinggi Jawa Barat di Bandung.
Menurut Asep, terdapat perbedaan mendasar antara restitusi dan kompensasi. Restitusi itu diberikan kepada pihak yang dinyatakan bersalah. Jika restitusi dibebankan kepada negara, lanjutnya, akan membuat negara seperti disalahkan terhadap keadaan tersebut.
”Bagaimana bisa ada restitusi diserahkan kepada negara, seolah-olah negara kemudian yang disalahkan. Ini juga bisa menciptakan pemahaman bahwa negara akan menanggung ganti rugi atas kejahatannya,” tutur Asep.
Sebelumnya, Herry Wirawan, terdakwa kekerasan seksual terhadap 13 santri di sekolahnya, divonis hukuman penjara seumur hidup oleh majelis hakim di Pengadilan Negeri Bandung Kelas 1A Khusus pada Selasa (15/2/2022). Dia juga tidak dibebankan restitusi karena dianggap mendapatkan hukuman maksimal sehingga ganti rugi sebesar Rp 331 juta kepada negara.
Padahal, Herry terbukti dan mengakui melakukan kekerasan seksual dari tahun 2016-2021 terhadap 13 anak di lingkungan sekolah yang dia kelola. Akibat perbuatannya, sebanyak sembilan bayi lahir dari delapan korban. Para korban juga menanggung trauma karena mendapatkan tekanan dari Herry selama melakukan perbuatan bejatnya.
Menurut kuasa hukum Herry, Ira Mambo, pihaknya memberikan pembelaan berdasarkan Pasal 67 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP). Pasal tersebut berisi tentang terdakwa yang divonis hukuman mati dan seumur hidup tidak boleh dijatuhkan pidana lain kecuali pencabutan hak-hak tertentu dan pengumuman majelis hakim.
Namun, menurut kriminolog Universitas Islam Bandung (Unisba), Nandang Sambas, terdakwa Herry bisa mendapatkan hukuman tambahan. Tidak hanya membayar ganti rugi, Herry juga bisa dikenai hukuman kebiri kimia, sesuai Pasal 81 UU Nomor 17 Tahun 2016 terkait Perlindungan Anak.
Nandang berujar, vonis penjara seumur hidup masih bisa dikurangi grasi ataupun remisi. Jika terjadi, hal tersebut bisa dianggap tidak adil oleh para korban yang telah menanggung trauma dan kerugian lainnya. Oleh karena itu, lanjutnya, hukuman mati dinilai tepat atas kasus tersebut.
Meskipun tidak langsung menghilangkan kejahatan, setidaknya hukuman berat membuat orang-orang akan berpikir ribuan kali untuk melakukan kekerasan seksual terhadap anak.
”Restitusi, bahkan kebiri kimia, itu termasuk pidana tambahan, bukanlah pidana pokok. Sementara, menurut saya, Pasal 67 KUHP ini terkait pidana pokok. Jadi, terdakwa Herry bisa saja diberikan hukuman itu,” ujarnya.
Nandang berpendapat, hukuman semaksimal mungkin perlu diterapkan kepada terdakwa Herry dan pelaku kejahatan terhadap anak lainnya. Meskipun tidak langsung menghilangkan kejahatan, setidaknya hukuman berat membuat orang-orang akan berpikir ribuan kali untuk melakukan kekerasan seksual terhadap anak.
”Kalau sudah dikatakan krisis kejahatan terhadap anak. Sementara itu, kondisi pidana berat tidak bisa menjamin calon pelaku kejahatan untuk menghentikan motivasi. Dalam praktiknya, hukuman berat tidak 100 persen membuat orang menjadi jera. Namun, setidaknya itu menjadi salah satu upaya penegakan hukum,” ujarnya.
Menurut Nandang, dari aspek sosial, selain hukuman yang diberikan, pengawasan terhadap masyarakat juga perlu ditingkatkan. Tontonan ataupun sumber-sumber yang mengarahkan motivasi orang-orang untuk melakukan kekerasan seksual juga perlu dibatasi.
”Pencegahan kejahatan tidak bisa hanya mengandalkan hukum pidana. Harus ada pendekatan persuasif. Kebijakan pemerintah juga harus berupaya mengurangi faktor yang mempengaruhi niat seseorang, seperti tontonan internet dan hal-hal yang memprovokasi terhadap niat kejahatan orang-orang,” ujarnya.