Transformasi Pendidikan Menjanjikan Guru yang Merdeka dan Otonom
Kemendikbudristek menyiapkan transformasi pendidikan. Guru sebagai ujung tombak perubahan dijanjikan mendapatkan kemerdekaan dan otonomi dalam berinovasi.
Transformasi pembelajaran yang dimotori para guru di ruang-ruang kelas telah lama dinanti. Berbagai tawaran perubahan kurikulum menjanjikan perubahan dalam metode pendidikan guru kepada peserta didik. Namun, pembelajaran yang berpusat pada siswa, sesuai kemampuan dan potensi siwa, kontekstual, serta mendorong kemampuan berpikir tingkat tinggi, masih jauh dari kenyataan.
Keseragaman atau one size fit for all menjadi gambaran pendidikan yang terpampang di ruang kelas. Acuan pada kurikulum yang disiapkan pemerintah pusat, lalu buku teks, dan kebijakan ujian nasional membuat ruang inovasi dan kemerdekaan guru terampas. Target tuntas kurikulum dan materi menjadi acuan utama, tak peduli apakah para siswa akan terbentuk menjadi pribadi yang berkembang dalam kompetensi, potensi, ataupun kemampuan holistiknya.
Tawaran perubahan untuk mengedepankan profesionalisme guru diberikan dalam Kurikulum Prototipe. Kurikulum ini merupakan penyederhanaan dari Kurikulum 2013 yang sudah diujicobakan di masa pandemi Covid-19 sejak tahun 2020 lewat Kurikulum Darurat. Kurikulum ini menjadi acuan bagi guru untuk meringkaskan beban materi ke yang esensial agar pembelajaran lebih dalam dan fokus pada kompetensi siswa, terutama dalam hal literasi, numerasi, serta karakter.
Lalu, pada tahun 2021, kurikulum darurat diterapkan di sekolah penggerak dengan menambahkan fleksibilitas pada guru atau sekolah untuk membuat kurikulum operasional satuan pendidikan (KOSP). Pada tahun 2022 ini, kurikulum tersebut bakal diluncurkan sebagai Kurikulum Prototipe yang pelaksanaannya diluaskan kepada sekolah atau madrasah yang berminat. Sampai dengan tahun 2024, Kurikulum Prototipe akan dievaluasi untuk menjadi kurikulum baru yang diterapkan di semua sekolah.
Kepala Badan Standar, Kurikulum, dan Asesmen Pendidikan Nasional, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) Anindito Aditomo di akhir Januari lalu, mengatakan, kebijakan Kurikulum Prototipe dan Merdeka Belajar pada dasarnya memberikan kepercayaan kepada guru dan kepala sekolah. Mereka diakui sebagai profesional yang memiliki kewenangan untuk memanfaatkannya dalam memajukan pendidikan di masing-masing sekolah. Hal ini diwujudkan dengan memberikan otonomi pada guru dan sekolah.
Oleh karena itu, pendekatan dalam pengembangan kurikulum diubah. Pemerintah pusat hanya menyiapkan kerangka dasar. Pemerintah pusat tidak boleh menetapkan materi, jam pelajaran, dan metode belajar. Dengan adanya otonomi bagi guru dan sekolah, keberagaman pun akan menghiasi praksis pendidikan di ruang-ruang kelas dan sekolah, serta daerah.
Anindito memaparkan pemberian kepercayaan kepada guru dan sekolah yang lebih besar diwujudkan dengan membuka kunci waktu dan ruang inovasi pembelajaran. ”Kalau kurikulum terlalu rigid di pusat, sekolah inovatif tidak terwadahi dalam kerangka regulasi. Akibatnya, mereka sembunyi-sembunyi dalam melakukan transformasi pendidikan. Padahal, dampaknya lebih nyata pada siswa,” ujar Anindito.
Kebijakan menghapus ujian nasional, lalu digelar asesmen nasional (AN) dengan filosofi yang jauh berbeda, merupakan wujud pemerintah mengembalikan kewenangan pada guru dan sekolah untuk mengevaluasi siswa. ”Prinsip-prinsip dasar untuk menyelenggarakan pendidikan yang baik dan berpusat kepada siswa sebenarnya sudah lama disadari, tetapi perlu penerjemahan dalam kebijakan dan instrumen yang baru. Inilah yang kita pikirkan secara serius sehingga bisa betul-betul muncul dalam keseharian di ruang kelas dan sekolah,” kata Anindito.
Guru menjadi elemen penting dalam transformasi pendidikan yang salah satunya didesain lewat perubahan kurikulum. Namun, kesukseskan implementasinya membutuhkan perubahan paradigma guru sebagai prasyarat transformasi pembelajaran. Sebab, kurikulum hanyalah alat.
Perangkat pusat ini bisa menghidupkan pendidikan yang berpusat pada anak dengan memahami kemampuan awal anak jika guru memiliki perubahan paradigma atau mindset. Hambatan utama dalam implementasi perubahan kurikulum ditengaria bukan masalah teknis. Namun, orientasi atau cara berpikir tentang tugas utama dirinya sebagai pendidik harus dibantu untuk menjadi satu frekuensi dengan harapan pemerintah dan masyarakat yang mendamba pendidikan berkualitas yang sesungguhnya.
Baca juga: Guru Tangguh untuk Kemajuan Pendidikan Indonesia
Anindito menjelaskan, guru harus berubah orientasi dari menuntaskan materi kurikulum ke memperhatikan tumbuh dan berkembangnya anak didik. Guru perlu memastikan agar anak-anak didik lebih cinta membaca, lebih terampil membaca, lebih kritis, atau bisa menerapkan konsep Matematika di kehidupan sehari-hari, lebih peka dengan masalah sosial, toleran, dan hal-hal penting lainnya untuk masa depan mereka.
Waktu guru diharapkan lebih banyak tersita untuk mempertanyakan berkembang atau tidaknya kompetensi dan karakter semua anak didik. Guru bukan lagi mengkhawatirkan buku tuntas atau kurikulum, apalagi beban administratif.
”Pergeseran paradigma guru dalam menjalankan pembelajaran ini salah satunya difasilitasi dengan Asesmen Nasional (AN) yang powerful menggeser paradigma guru. Sebab, guru dituntut menguji kompetensi dan karakter, bukan menguji materi,” kata Anindito.
Guru harus berubah orientasi dari menuntaskan materi kurikulum ke memperhatikan tumbuh dan berkembangnya anak didik.
Otonomi guru dan sekolah yang didambakan telah disiapkan dengan menyediakan desain kurikulum, AN, dan pelatihan guru. Hal ini mulai ditransformasikan pada guru lewat program andalan guru penggerak.
Tak hanya keselarasan yang sama dengan paradigma baru guru, pengawas sekolah dan pemerintah daerah juga harus bisa menggerakkan perubahan di daerah masing-masing. Karena itulah, ke depan ada yang namanya rapor sekolah dan rapor daerah.
Pemerintah pusat memastikan gerak perubahan yang sama dengan instrumen Peraturan Menteri Dalam Negeri tentang standar pelayanan minimum yang untuk indikator pendidikan sudah sejalan dengan transformasi pendidikan yang dirancang. Pemda akan dianggap berhasil memenuhi layanan minimum kalau skor literasi dan numerasi meningkat dari tahun ke tahun dalam kurun dua tahun dan menutup kesenjangan. Kesuksesan pemda bukan lagi diukur dari penyediaan sarana prasarana pendidikan.
Guru penggerak
Transformasi pendidikan dengan mengakui guru sebagai profesi yang merdeka dalam berinovasi karena memiliki otonomi disiapkan dengan program guru pengerak. Mendikbudristek Nadiem Anwar Makarim mengatakan, guru penggerak adalah garda depan dari Merdeka Belajar.
Transformasi pendidikan ada di tangan para guru penggerak yang tidak takut dengan perubahan. Lebih dari itu, mereka menjadi pemimpin perubahan. Selain guru, komponen penting dalam transformasi pendidikan juga terletak pada kurikulum.”Jadi, sudah tidak ada lagi cerita guru didikte kurikulum. Ini adalah bagian dari upaya kita memulihkan pembelajaran, dan tentunya memerdekakan guru dari hal-hal yang membatasi kreativitas dalam mengajar,” kata Nadiem.
Dari survei Indikator Politik Indonesia pada akhir tahun 2021, program guru penggerak Kemendikbudristek dinilai berdampak baik bagi para guru. Hal ini tecermin dari hasil survei kepada 983 responden yang menyambut program guru penggerak dengan positif. Sebanyak 99,9 persen guru (68,5 persen sangat setuju dan 31,4 persen setuju) menilai program guru penggerak berhasil meningkatkan kemampuan guru berinovasi.
Direktur Kepala Sekolah, Pengawas Sekolah, dan Tenaga Kependidikan,Direktorat Jenderal Guru dan Tenaga Kependidikan, Praptono, menegaskan, Merdeka Belajar bertujuan mendukung para guru makin mandiri dan memerdekakan para murid. “Artinya, para guru didorong untuk punya kesadaran dan tanggung jawab terus belajar. Jadi, Merdeka Belajar itu dari sisi guru merdeka mengajar, dan dari sisi anak merdeka belajar,” jelas Praptono.
Hingga saat ini sudah ada lima angkatan guru penggerak. Sebanyak 3.004 guru penggerak Angkatan 2 dinyatakan lulus setelah sembilan bulan mengikuti pendidikan.
Kemendikbudristek telah menerbitkan Permendikbudristek Nomor 40 Tahun 2021 tentang penugasan guru sebagai kepala sekolah sebagai wujud komitmen untuk menempatkan guru penggerak sebagai pemimpin pembelajaran. ”Para gubernur, bupati, dan wali kota agar memberikan kesempatan kepada guru-guru hebat ini supaya bisa menjadi kepala sekolah yang akan siap menciptakan ekosistem belajar yang aman, nyaman, menyenangkan, dan inklusif,” ujar Praptono
Guru penggerak dari SMA Negeri 2 Ambon, Sonya Elly, mengatakan, program guru penggerak telah mengubahnya menjadi lebih baik. ”Pola pikir saya sekarang berubah, jadi lebih optimistis melihat tantangan. Cara saya mengambil keputusan juga berubah,” terang Sonya.
Guru penggerak Kota Banjar, Rifah Radhiyat, mengatakan, setelah mengikuti program guru penggerak, proses pembelajaran dirasakan semakin menarik, tidak membosankan, dan pembelajaran dapat berdiferensiasi.
Baca juga: Mengawal Arah Transformasi Pendidikan
Sementara itu, Bupati Lombok Timur Sukiman Azmi menyampaikan dukungan untuk program guru Penggerak. ”Saya juga mendukung program guru penggerak dan mendukung agar diberikan prioritas untuk menjadi kepala sekolah, pengawas sekolah, dan pelatih bagi guru,” ujarnya.