Tergantung Kesiapan Sekolah, Kurikulum Prototipe Bisa Diterapkan secara Penuh atau Parsial
Sekolah bisa mendaftar untuk mengikuti Kurikulum Prototipe. Pelaksanaan kurikulum ini bisa secara penuh atau parsial, tergantung pada tingkat kesiapan sekolah tersebut.
Oleh
ESTER LINCE NAPITUPULU
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Semua sekolah yang berminat dan mendaftarkan diri bisa mulai menerapkan Kurikulum Prototipe pada tahun ajaran baru 2022/2023. Pelaksanaannya di sekolah dengan tingkat berbeda-beda, yaitu bisa parsial atau penuh, tergantung kesiapan sekolah.
”Penerapan Kurikulum Prototipe ini berdasarkan pendaftaran. Semua yang mendaftar akan boleh menerapkan, dengan tingkat berbeda-beda. Tidak ada seleksi. Sebab seleksi berarti ada yang diterima dan ditolak,” kata Kepala Badan Standar Kurikulum dan Asesmen Pendidikan, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemedikbudristek) Anindito Aditomo di Jakarta, Selasa (11/1/2022).
Untuk menerapkan Kurikulum Prototipe, ada pendaftaran dan survei untuk menentukan level kesiapan sekolah. Nanti akan ada sekolah yang disarankan mulai dengan pelatihan dan penerapan terbatas dulu di tahun ajaran 2022.
Menangani persoalan guru ini harus komprehensif dan terstruktur, jangan hanya jangka pendek dan tambal sulam.
Artinya, sekolah tersebut masih menggunakan Kurikulum 2013, tetapi dengan mencoba beberapa elemen Kurikulum Prototipe. Sekolah yang sudah lebih siap bisa menerapkan secara lebih utuh (Kompas,11/1/ 2022).
Wakil Kepala SMP Labschool Cibubur Bidang Kesiswaan Aqiq Muttaqin mengatakan, sekolahnya menerapkan kurikulum program sekolah penggerak atau kini disebut Kurikulum Prototipe untuk kelas VII, sedangkan kelas VIII dan IX menggunakan Kurikulum 2013. Ada ciri khas di Kurikulum Prototipe yaitu mata pelajaran wajib berkolaborasi untuk membuat proyek. Ada 10 tema yang ditawarkan, tetapi dalam satu tahun sekolah mengerjakan tiga tema yang disepakati.
”Untuk sekolah yang biasa melakukan pembelajaran berbasis proyek dengan Kurikulum Prototipe ini kini proyek pembelajaran semacam ada ’rumahnya’. Bahkan untuk proyek ini ada rapornya di akhir semester dua,” ujar Aqiq.
Untuk proyek Profil Pelajar Pancasila, penerapannya butuh kolaborasi dari guru-guru mata pelajaran. Pelaksanaannya bisa dalam bentuk blok, misalnya dilakukan dalam waktu tertentu. Bisa juga dikerjakan di akhir semester satu atau dua. Boleh juga dilakukan setiap hari, misalnya, satu jam sebelum sekolah berakhir.
Untuk mata pelajaran Teknologi Informasi dan Komunikasi yang tadinya pilihan di Kurikulum 2013, kini menjadi wajib. Untuk materi pembelajaran di tiap mata pelajaran ada fleksibilitas bagi guru untuk menyederhanakan materi.
Menurut Aqiq, sekolah penggerak melakukan learning by doing dalam mewujudkan kurikulum program sekolah penggerak. Ada satu instruktur nasional yang disiapkan untuk mendampingi lima sekolah. Pendampingannya bisa dijalankan secara intensif sesuai kebutuhan guru/sekolah.
”Memang butuh guru yang mau keluar dari zona nyaman untuk menerapkan perubahan. Adanya Kurikulum Prototipe ini guru jadi didorong terus belajar untuk mengeksplorasi pembelajaran yang berkualitas dan disampaikan dengan baik. Juga didorong berkolaborasi dalam menciptakan proyek pembelajaran di sekolah,” ujar Aqiq.
Pastikan aktualisasi
Secara terpisah, Guru Besar Matematika Institut Teknologi Bandung Iwan Pranoto mengatakan, perubahan kurikulum senantiasa dijanjikan memberi harapan untuk perubahan kualitas pendidikan di sekolah. Ini perlu dipastikan aktualisasi dan implementasinya secara tepat dan efektif.
Ia menuturkan, ketika Kurikulum 2013 dijalankan ada pujian dan dukungan walaupun dalam kenyataannya ada kelemahan. ”Kali ini Kurikulum Prototipe juga menjanjikan impian dan tujuan baik, walaupun dokumen tertulisnya kita belum tahu. Yang penting bagaimana merumuskan semua perubahan itu dalam dokumen dan naskah akademik yang bisa dikaji publik. Terserah pemerintah mau menerima masukan tersebut atau tidak,” kata Iwan.
Terkait dengan kompetensi dasar numerasi yang ditekankan di Kurikulum Prototipe, Iwan mengatakan definisi numerasi harus jelas. Dia menilai justru saat ini Indonesia mengalami degradasi dari Matematika kenumerasi. Justru literasi Matematika seperti di PISA melampaui dari literasi numerasi (hanya terbatas angka atau yang ada aplikasi).
Direktur Eksekutif Yayasan Nusantara Sejati Eka Simanjuntak yang bergiat dalam program peningkatan mutu guru dan sekolah terutama di Papua dan wilayah Indonesia Timur mengatakan, ada masalah klasik dalam mewujudkan perubahan pendidikan berkualitas. Ia menyebut soal mindset (cara pandang) pejabat dan staf pemerintah yang masih ”sempit” dan ditambah lagi dengan kompetensi dan kinerja (motivasi) kepala sekolah dan guru yang masih lemah.
”Pendekatan kementerian ini agak salah prioritas. Harusnya pembenahan kompetensi dan kinerja dulu yang jadi prioritas utama, setelah itu barulah otonomi/kemerdekaan itu diberikan secara bertahap,” katanya.
Eka mengatakan, kurikulum kontekstual itu memang solusi. Namun, ia mempertanyakan pemahaman dan kemampuan daerah dalam menyusun kurikulum kontekstual itu.
”Ini kan persoalannya lebih pada the man behind the gun. Jadi, mau sebagus apa pun konsep kurikulumnya, yang akan menerapkan di lapangan, sudah mampu apa belum? Menangani persoalan guru ini harus komprehensif dan terstruktur, jangan hanya jangka pendek dan tambal sulam,” ujar Eka.
Kalau kementerian menyadari pentingnya peranan tenaga kependidikan dalam proses transformasi yang mereka janjikan, kata Eka, seharusnya Kemendikbudristek menyusun dulu grand design atau cetak biru (blue print) pembenahan tenaga pendidikan. Sekolah Penggerak dan segala hal yang terkait dengan penggerak itu seharusnya menjadi salah satu strategi saja.
”Mana mungkin kebijakan guru penggerak atau program organisasi penggerak itu mampu menyelesaikan semua persoalan terkait tenaga pendidikan yang jumlahnya banyak sekali itu. Termasuk sangat penting untuk benar-benar membenahi LPTK yang menghasilkan guru,” kata Eka.