Utak-atik Kurikulum, Sudahkah Mengubah Wajah Pendidikan?
Kurikulum pendidikan sudah sering berubah. Tanpa perbaikan kualitas guru yang akan menerapkan kurikulum di ruang kelas, tujuan perubahan akan sulit dicapai.
Pemulihan pendidikan akibat kehilangan pembelajaran di masa pandemi Covid-19 ditawarkan dengan satu opsi bagi sekolah, berlakukan Kurikulum Prototipe. Sebagai opsi, Kurikulum Prototipe yang sudah diujicobakan di sekolah penggerak oleh Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi ini bersifat pilihan bagi sekolah lain, tidak ada paksaan.
Pada kegiatan Sosialisasi Buku dan Kurikulum dalam Rangka Pemulihan Pembelajaran di Lembaga Penjaminan Mutu Pendidikan (LPMP) Lampung, Kota Bandar Lampung, Kamis (23/12/2021), Pelaksana Tugas Kepala Pusat Kurikulum dan Pembelajaran Kemendikbudristek Zulfikri Anas menerangkan, Kurikulum Prototipe akan menjadi salah satu pilihan untuk membantu pemulihan pembelajaran.
”Kurikulum Prototipe memiliki beberapa karakteristik utama yang mendukung pemulihan pembelajaran, antara lain pengembangan soft skills dan karakter, fokus pada materi esensial, serta fleksibilitas bagi guru untuk melakukan pembelajaran yang sesuai dengan kemampuan murid atau teach at the right level,” kata Zulfikri.
Selain itu, Kurikulum Prototipe juga diharapkan dapat membantu anak dalam mengembangkan potensi dan bakatnya. ”Kurikulum Prototipe ini bagian dari pembelajaran yang artinya melanjutkan arah pengembangan kurikulum sebelumnya, yaitu orientasi holistik, berbasis kompetensi bukan konten, serta dirancang sesuai kebutuhan sekolah dan peserta didik,” kata Zulfikri.
Baca juga : Kurikulum Prototipe Mulai Diterapkan di Sekolah-sekolah Penggerak
Pilihan sekolah
Kurikulum Prototipe mendorong pembelajaran yang sesuai dengan kemampuan siswa serta memberi ruang lebih luas pada pengembangan karakter dan kompetensi dasar. Kurikulum ini telah diimplementasikan di sekolah penggerak dan sekolah menengah kejuruan pusat keunggulan (SMK PK) sejak tahun 2020. Kurikulum Prototipe juga disebut sebagai kurikulum dengan paradigma baru. Menurut Zulfikri, sekolah akan diberikan kebebasan apakah akan menggunakan kurikulum ini atau tidak.
Secara terpisah, Mendikbudristek Nadiem Anwar Makarim mengatakan, Kurikulum Prototipe merupakan penyederhanaan Kurikulum 2013 yang diujicobakan sebagai Kurikulum Darurat di masa pandemi lalu dikembangkan. Sekolah bebas memilih menggunakan opsi Kurikulum Prototipe atau Kurikulum 2013 atau kurikulum mandiri.
Dengan Kurikulum Prototipe, ada keleluasaan untuk sekolah bisa bergerak cepat atau lambat sesuai dengan kemampuan berlajar siswa. Ada istilah fase yang menggambarkan kemampuan siswa, guru bisa menyesuaikan. Yang dikejar bukan lagi banyak materi yang diajarkan, tetapi memastikan kompetensi siswa, terutama dalam penguasaan literasi, numerasi, dan karakakter profil pelajar Pancasila. Dalam Kurikulum Prototipe ada penguatan pembelajaran berbasis masalah.
Kurikulum Prototipe ini bagian dari pembelajaran yang artinya melanjutkan arah pengembangan kurikulum sebelumnya, yaitu orientasi holistik, berbasis kompetensi bukan konten, serta dirancang sesuai kebutuhan sekolah dan peserta didik.
Ketua Komisi X DPR Syaiful Huda mengapresiasi serta mendukung opsi Kurikulum Prototipe. Menurut dia, Kurikulum 2013 padat konten. ”Saat ini, dengan perubahan yang sangat cepat terutama adanya pandemi Covid-19, sangat tidak mungkin bertahan dengan konsep pembelajaran yang padat konten sehingga tidak memberikan ruang menumbuhkan potensi peserta didik,” kata Syaiful.
Menurut Syaiful, Komisi X mendukung Kurikulum Prototipe yang mengedepankan penyederhanaan materi pembelajaran. Selain itu, Kurikulum Prototipe ini juga bersifat pilihan dan tidak diwajibkan secara nasional sehingga sekolah memiliki kebebasan. Ini menjadi bagian dari Merdeka Belajar.
Syaiful berpesan agar Kemendikbudristek dapat memfasilitasi sekolah-sekolah yang tidak memilih melaksanakan Kurikulum Prototipe. Koordinasi dengan pemerintah daerah perlu dilakukan secara intens untuk mengantisipasi terjadinya kesenjangan. ”Perlu diantisipasi oleh pemerintah provinsi/kabupaten/kota dalam mengatasi kesenjangan antarsekolah yang melaksanakan dan sekolah yang tidak melaksanakan Kurikulum Prototipe guna penyelesaian berbagai isu yang mungkin timbul,” ujar Syaiful.
Baca juga : Nadiem Makarim: Sekolah Masa Depan yang Menyenangkan dan Relevan Disiapkan
Menurut Satriwan Salim, guru di SMA Labschool Rawamangun Jakarta, di tingkat SMA ada sejumlah perubahan dalam Kurikulum Prototipe. Peminatan yang sebelumnya dilakukan mulai dari kelas X sekarang dilakukan di kelas XI. Nilai pelajaran Biologi, Fisika, dan Kimia yang dalam Kurikulum 2013 dipisah atau berdiri sendiri kini digabung menjadi satu nilai ilmu pengetahuan alam (IPA).
Sementara itu, nilai pelajaran sosiologi, geografi, dan ekonomi digabung menjadi satu nilai dalam ilmu pengetahuan sosial (IPS), sebelumnya berdiri sendiri. Nilai pengetahuan, sikap, dan keterampilan digabung menjadi satu nilai.
”Anak IPA di kelas XI wajib mengambil dua mata pelajaran minat IPA dan berhak memilih satu mata pelajaran IPS. Begitu pula sebaliknya,” ujar Satriwan.
Menurut Satriwan, saat ini guru repot karena Kemendikbudristek belum kunjung merilis format rapor Semester 1 Kurikulum Sekolah Penggerak/Prototipe. Padahal, siswa akan menerima rapor. “Alhasil, sekolah ‘ngarang’ membuat desain sendiri format rapor siswa. Ini, kan, bukti tidak adanya harmonisasi dan sinergi antara Badan Standar, Kurikulum, dan Asesmen Pendidikan dengan Ditjen Pendidikan PAUD, Dasar, dan Menengah,” kata Satriwan.
Taman Firdaus dari SMAN 1 Kota Bima, Nusa Tenggara Barat mengatakan, dalam Kurikulum Prototipe pembelajaran jadi fleksibel karena ada pembagian fase sesuai kemampuan siswa. Fase A (Kelas 1-2 SD), B (Kelas 3-4 SD), C (Kelas 5-6 SD), D (SMP), E (Kelas 10), dan F (kelas 11-12). Pembelajaran dibagi jadi dua kegiatan utama, yakni kegitan pembelajaran reguler (intrakurikuluer) dan proyek penguatan Pelajar Pancasila (30 persen dari total jam pembelajaran).
Di kelas X belum terdapat peminatan. Semua menerima mata pelajaran wajib yang jumlahnya sekitar 16 mata pelajaran. Sekolah diberi fleksibilitas mengorganisasikan kelas XI sesuai peminatan. Terdapat kelompok peminatan IPA, IPS, bahasa, dan prakarya. Untuk mata pelajaran teknologi informasi dan komuniaksi wajib di kelas X.
Sementara proyek penguatan Pelajar Pancasila mengikuti tujuh tema besar yang diberikan pemerintah pusat. “Kami mengambil tiga dan merincinya dengan melibatkan guru, peserta didik, dan sesuai konteks sekitar. Proyek ini tidak diarahkan untuk capaian pembelajaran. Selama satu semester transfer nilai terjadi untuk enam dimensi profil Pelajar Pancasila. Proyek merupakan pembelajaran yang fleksibel. Pelaksanaannya tidak inheren dalam pembelajaran reguler,” tutur Firdaus.
Baca juga: Kurikulum Sekolah Penggerak Diimplementasikan Terbatas
Firdaus menyadari kurikulum akan berjalan dengan baik kalau kesiapan sumber daya manusia memadai. Ada proses pendampingan dan kebijakan afirmasi. “Masalah teknis masih dihadapi para guru dalam menerapkan Kurikulum Prototipe. Masih ada masalah dengan sertifikasi guru karena nanti terkait data di Data Pokok Pendidikan. Hal-hal teknis ini butuh bisa diatasi,” kata Firdaus.
Masa depan
Di acara Ngobrol Pintar sekitar Kebijakan Edukasi bertajuk Ganti Menteri Ganti Kurikulum pada pekan lalu, Guru Besar Universitas Pendidikan Indonesia Dinn Wahyudin mengatakan, di Indonesia setidaknya terjadi 11 kali pergantian kurikulum. “Esensi kurikulum adalah perubahan. Sesuai kondisi zaman, aspirasi masyarakat, harapan-harapan dalam berbangsa dan bernegara. Kalau dibilang ganti menteri, ganti kurikulum, ya sebagai pembantu presiden, menteri menyesuaikan dengan kebijakan pemerintah,” kata Dinn.
Menurut Dinn, dalam perubahan kurikulum ada aspek yang luas. “Tapi perubahan ini juga harus sampai ke mikro, yakni apa yang terjadi di sekolah, di ruang kelas,” ujar Dinn.
Kurikulum, lanjut Dinn, sebenarnya tidak pernah berubah secara radikal. Masih ada irisan dengan kurikulum sebelumnya. Konteks perubahan kurikulum tidak bisa dielakkan, tapi dipengaruhi berbagai kepentingan. Kurikum jadi acuan untuk menyusun kompetensi yang harus dimiliki generasi muda dan sistem penyampaiannya.
”Jika akan diterapkan kurikulum baru yang disebut Kurikulum Prototipe, tentu harus dijelaskan apa yang jadi urgensinya? Yang terpenting dari perubahan kurikulum, kuncinya apa yang harus dilakukan di kelas, apa yang terjadi di kelas? Bagaimana kualitas pendidikan, bagaimana guru mengelola kelasnya masing-masing dengan panggilan jiwanya. Ini modal dasar bagi upaya meningkatkan SDM Indonesia. Kalau guru bingung dan kemampuan terbatas, terjadi mismatch. Tantangan yang krusial saat ini bagaimana meningatkan kualitas rata-rata guru di Indonesia,” papar Dinn.
Baca juga : Guru Berharap Dialog Terbuka Tentang Rencana Perubahan Kurikulum
Sementara itu, Praktisi Pendidikan Aulia Wijiasih mengatakan, tiap ganti kurikulum, terjadi pelatihan guru. Namun, perubahan yang diharapkan dalam proses pembelajaran dan kualitas guru belum seperti yang diharapkan. Salah satu penyebabnya, instruktur atau fasilitator pelatihan kurikulum yang disediakan seringkali tidak memadai kualitasnya. Akibatnya, perubahan kurikulum selalu dimaknai secara kaku oleh para guru.
Aulia mengapresiasi jika pendidikan yang kontekstual dan menghargai kearifan lokal kini diberi ruang. ”Jika dikaji dari aturan-aturan dan standar pendidikan yang ada, sebenarnya hal-hal mendasar dalam sistem pendidikan yang holistik, berpusat pada siswa, mengembangkan kompetensi, sudah ada. Namun, mengapa sampai saat ini belum bisa terwujud. Bagaimana pengawasannya supaya implementasinya bisa berjalan sesuai yang diharapkan,” kata Aulia.
Aulia menilai utak-atik perubahan kurikulum belum mendorong pada perubahan proses pembelajaran yang diterapkan guru di ruang kelas secara masif. Hal ini akibat ketidakjelasan visi, konsep, dan filosofi perubahan pendidikan yang tidak dipahami guru.
Kualitas guru
Wakil Sekretris Jenderal Pengurus Besar Persatuan Guru Repubik Indonesia Dudung Koswara mengatakan, di tahun 2022 disebutkan akan ada kurikulum baru. ”Jika sudah sesuai dengan tahapan dan mekanisme dalam pola pengembangan kurikulum, pasti kami akan mendukung. Tetapi, kami melihat perubahan kurikulum ini belum jelas urgensi dan alasannya,” kata Dudung.
Baca juga : Guru, antara Kuantitas, Pemerataan, dan Kompetensi
Menurut Dudung, ada hal penting saat ini, yaitu bagaimana memetakan kualitas guru untuk pembinaan. ”Bagi kami yang penting adalah bagaimana pemerintah mengoptimalkan peran guru, kepala sekolah, pengawas, dan birokrasi pendidikan sehingga dapat mendukung perubahan proses pembelajaran hingga di ruang kelas. Utak-atik kurikulum yang beraroma proyek tiap ganti menterilah yang membuat perubahan pendidikan tidak kunjung mampu dilakukan guru,” kata Dudung.
Guru Besar Universitas Pendidikan Indonesia Said Hamid Hasan mengatakan, perubahan kurikulum biasa terjadi. Akan tetapi, sejumlah aspek pengembangan kurikulum dari aspek legal hingga aspek akademik harus dipenuhi.
”Ada pertanyaan juga dari segi moral, mengapa Mendikbudristek mengatakan Kurikulum Prototipe? Kalau dalam suatu pengembangan, prototipe itu barang belum jadi. Bagaimana hasil penerapan di sekolah penggerak? Menteri harus melaporkan ke masyarakat sebagai pertanggungjawaban moral pejabat negara yang menggunakan uang negara mengapa ini sebagai Kurikulum Prototipe,” ujar Said.