Kurikulum Sekolah Penggerak Diimplementasikan Terbatas
Kurikulum sekolah penggerak yang diterapkan terbatas mengalokasikan 20-30 persen waktunya untuk melakukan proyek yang dipilih sendiri oleh siswa. Namun, banyak sekolah penggerak yang belum paham akan kurikulumnya.
JAKARTA, KOMPAS — Kurikulum Sekolah Penggerak diimplementasikan secara terbatas hanya di sekolah-sekolah penggerak. Pembelajaran berbasis proyek dengan multidisiplin ilmu diberi alokasi khusus untuk dilakukan guru dan siswa dengan tema yang relevan untuk memperkuat Profil Pelajar Pancasila.
Pembelajaran berbasis proyek dimaksud, salah satunya, ditampilkan siswa kelas X SMA Labschool Rawamangun Jakarta dalam acara Nobar Hasyek alias Nonton Bareng Hasil Proyek SMA Labschool Rawamangun, Jakarta secara virtual, Rabu (27/10/2021). Siswa mengerjakan proyek bertema besar kearifan lokal yang kemudian dibagi dalam tujuh subtema dengan pendampingan guru. Hasilnya berbentuk video seputar kearifan lokal di DKI Jakarta yang ditayangkan di kanal Youtube.
Kepala SMA Labschool Jakarta Suparno Sastra mengatakan, hasil video yang diselesaikaikan siswa kelas X menjadi hasil dari proyek holistik yang menggabungkan proyek berbagai ilmu dan unsur sebagai proyek penguatan Profil Pelajar Pancasila. ”Pembelajaran berbasis proyek ini memperkuat pengalaman belajar langsung di lapangan, menggunakan situasi informal dan nyaman buat siswa untuk belajar. Ini multidisiplin. Seluruh kemampuan yang diharapkan dalam Profil Pelajar Pancasila akan dimiliki siswa,” kata Suparno.
Pembelajaran berbasis proyek ini memperkuat pengalaman belajar langsung di lapangan, menggunakan situasi informal dan nyaman buat siswa untuk belajar.
Profil Pelajar Pancasila merupakan program pendidikan karakter di masa Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nadiem Makarim yang merupakan bagian dari Merdeka Belajar. Adapun kualitas Profil Pelajar Pancasila yang ingin dibentuk adalah beriman, bertakwa kepada Tuhan Yang maha Esa dan berakhlak mulia, mandiri, bernalar kritis, berkebinekaan global, bergotong royong, dan kreatif.
Guru Pendidikan Pancasila dan Kewarganegraan SMA Labcschool Jakarta Satriwan Salim mengatakan, sekolah penggerak menerapkan kurikulum sekolah penggerak (KSP) di mana 20-30 persen porsinya dialokasikan untuk mengerjakan proyek yang dipilih siswa. Dalam setahun, terdapat minimal tiga proyek. Di SMA Labschool, pembelajaran berbasis proyek yang dipilih antara kearifan lokal dan gaya hidup berkelanjutan.
Kemdikbudristek memberi tujuh tema proyek penguatan Profil Pelajar Pancasila pada jenjang SD-SMA. Tema tersebut meliputi kearifan lokal, bangunlah jiwa dan raganya, perubahan iklim global, kewirausahaan, Bhineneka Tunggal Ika, suara demokrasi, serta berekayasa dan berteknologi membangun Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Baca Juga: Nadiem Makarim: Program Sekolah Penggerak Digelar hingga 2024
”Untuk yang pertama ini, siswa mengerjakan proyek dengan tema kearifan lokal. Lalu dikembangkan lagi dalam subtema yang dikerjakan siswa dalam kelompok kelas. Siswa kelas X yang belum pernah ketemu karena belajar daring, bisa bertemu dan bekerja sama membuat proyek ini. Tentu saja dengan protokol kesehatan, mereka sudah divaksin dan tes antigen,” kata Satriwan.
Menikmati Proses
Siswa kelas X SMA Labschool menyajikan hasil proyek bertema kearifan lokal DKI Jakarta berbentuk video. Tiap kelas mengerjakan dengan pendekatan yang berbeda, ada yang melihat dari tempat bersejarah, obyek wisata, keberagaman, kuliner, ekonomi kerakyatan, hingga transportasi di DKI Jakarta.
Pemenang pertama dari proyek kearifan lokal diraih Kelas XA yang menyajikan video berjudul Tri. Video mengisahkan tiga sahabat yang berbeda, yaitu agama Islam, Kristen, dan Hindu yang saling mendukung dan menghormati. Perbedaan agama tak menghalangi ketiga siswa ini untuk berteman, bahkan mendukung sahabatnya untuk menjalankan ibadah dengan baik. Di akhir video, ada semacam renungan yang menyatakan bahwa mereka percaya dengan yang mereka percayai. Akankah perbedaan agama itu akan melepaskan gandengan tangan mereka.
”Di kelas kami, kan, hanya ada siswa Islam dan Hindu. Nah, ada salah satu teman yang bersedia memerankan sebagai teman Kristen. Situasi ini realitas kehidupan di Jakarta yang bisa berteman dengan siapa saja yang berbeda agama,” kata Alisya Geza, siswa kelas XA.
Sementara siswa Kelas XC yang meraih juara 2 menyajikan video berjudul Wisata Tempo Doeloe yang mengangkat desa budaya Betawi Setu Babakan. Bahkan, di dalam video tim ini mampu menghadirkan Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Sandiaga Uno yang menjelaskan tentang program Desa Budaya dan menyebut Setu Babakan menjadi satu desa di 50 besar Anugerah Desa Wisata 2021.
”Kami berdiskusi panjang dengan teman satu kelas untuk memutuskan memilih Setu Babakan. Kami juga belajar menghadapi kendala untuk berkoordinasi dan berkomunikasi dengan pihak Setu Babakan dan Pak Menteri,” kata Saniya Azzahra, pimpinan proyek kelas XC.
Siswa Kelas XE Felicia Humaira menyatakan, dirinya menyukai proses pembelajaran berbasis proyek ini. Para siswa harus berkolaborasi, melakukan riset, berdiskusi, dan berbagi tugas. ”Dengan kegiatan seperti ini, kami jadi merasa dekat satu sama lain. Kami yang belum pernah ketemu karena selama ini belajar daring, pas mengerjakan proyek jadi merasa semakin mengenal dan dekat,” ujar Felicia.
Kendala implementasi
Di acara Ngobrol Pintar Seputar Kebijakan Edukasi bertajuk ”Evaluasi Program Sekolah, Guru, dan Organisasi Penggerak”, pekan lalu, Kepala SMAN 2 Bayan, Lombok Utara, Nusa Tenggara Barat, Moch Fatkoer Rohman mengatakan, sebenarnya, ide berbagai program penggerak mulai dari sekolah penggerak, guru penggerak, dan organisasi penggerak adalah mendorong pembelajaran aktif di kelas yang sudah digaungkan sejak zaman Cara Belajar Siswa Aktif (CBSA), Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan, hingga Kurikulum 2013. Namun, implementasinya selama ini tidak berjalan, guru masih lebih banyak mengembangkan pembelajaran satu arah dengan model ceramah dan siswa mendengarkan.
”Saya mendaftar untuk ikut sekolah penggerak, karena ingin tahu kelemahan dan kelebihannya. Untuk sekolah penggerak, yang dipoles sekolahnya lewat kepemimpinan kepala sekolah supaya eksosistem Merdeka Belajar bisa diwujudkan, siswa dan guru tidak terbelenggu. Di sekolah penggerak ada kurikulum khusus untuk sekolah penggerak. Faktanya memang berubah untuk standar kelulusan, penilaian, dan proses,” kata Fatkoer.
Koordinator Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G) Nasional Satriwan Salim mengatakan, sekitar 2.500 sekolah penggerak yang memakai Kurikulum Sekolah Penggerak banyak yang belum memahami esensi dan administrasi sekolah penggerak ini. ”Kami banyak menemukan dan menerima laporan konteks implementasi KSP ini dari guru-guru,” kata Satriwan.
Materi pelajaran/ konten tidak lagi diajarkan tiap kelas I-XII, tetapi dibagi berdasarkan fase A-F. Penjabarannya, Fase A (Kelas I dan II SD), Fase B (Kelas III dan IV SD), Fase C (Kelas V dan VI SD), Fase D (Kelas VII, VIII, dan IX SMP), Fase E (Kelas X SMA), serta Fase F (Kelas XI dan XII SMA).
Baca Juga: Guru Berharap Dialog Terbuka Tentang Rencana Perubahan Kurikulum
”Guru diberikan kemerdekaan untuk menentukan materi/ konten apa yang ingin diberikan/ diajarkan di setiap fase. Kemdikbudristek hanya membuat skema capaian pembelajaran atau learning outcomes dan alur tujuan pembelajaran yang harus dicapai siswa selama satu fase,” kata Satriwan.
Level fase ini berdasarkan aspek perkembangan psikologis siswa. Dalam satu fase guru diberikan kemerdekaan oleh Kemdikbudristek untuk menentukan materi apa yang tepat atau sesuai kebutuhan siswa. Namun, guru tidak memiliki kemampuan dasar pengembangan kurikulum dalam menentukan satu materi ditaruh di kelas berapa, apalagi jenjang SMP, mengingat jenjang SMP kelas VII-IX ada di satu fase.
”Dalam Kurikulum 2013 guru memang \'diatur\' menentukan materi apa di semester berapa dalam satu tahun. Adapun di KSP, guru yang sepenuhnya menentukan,” kata Satriwan.
Terkait pembelajaran model proyek, ujar Satriwan, tentu akan sangat bermanfaat bagi siswa. Sebab, siswa terlibat langsung dan merasa punya keterikatan langsung dengan aktivitas belajar berbasis proyek. Apalagi ada alokasi waktu khusus proyek dalam KSP yang membedakannya dengan Kurikulum 2013.
Baca Juga: Puluhan Ribu Sukarelawan Daftar Program Merdeka Belajar
Menurut Satriwan, bagi sekolah-sekolah yang belum merasa ”merdeka” atau ”otonom” tentu akan banyak kendala. Sebenarnya, model proyek ini sebagai variasi, bahkan pengembangan ke arah metode pembelajaran yang lebih kompleks dari sekadar metode ceramah satu arah dan buku teks. Sebab, dalam proyek, siswa melakukan pembelajaran berbasis proyek, pembelajaran berbasis masalah, pembelajaran dan pengajaran kontekstual.
Sementara itu, Wakil Sekretaris Jenderal Pengurus Besar Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) Dudung Abdul Qodir mengatakan, belum jelas apakah kurikulum sekolah penggerak ini akan menjadi perubahan dari Kurikulum 2013. Sebab, pelaksanaannya masih terbatas di sekolah penggerak dan belum ada diskusi publik yang terbuka. Selain itu, sampai saat ini juga belum ada hasil kajian yang dipaparkan mengenai implementasi Kurikulum 2013 yang saat ini masih berlaku.
”Ide untuk transformasi pendidikan selama ini baik. Sayangnya, kita selalu lemah di implementasi. Perubahan pembelajaran di ruang kelas yang diharapkan akhirnya tidak terjadi,” kata Dudung.
Menurut Dudung, adanya berbagai program penggerak juga perlu dikritisi. Berbagai program untuk transformasi pendidikan terus melanggengkan praktik eksklusivisme sehingga tidak cepat berdampak pada perubahan pendidikan di semua sekolah dan daerah, serta tidak berkelanjutan.