Kurikulum Prototipe Mulai Diterapkan di Sekolah-sekolah Penggerak
Kurikulum prototipe mulai diterapkan di sekolah-sekolah penggerak dengan mengalokasikan 20-30 persen dari jam pembelajaran dalam satu tahun untuk mengerjakan proyek kelompok guna mengatasi masalah nyata.
JAKARTA, KOMPAS — Kurikulum prototipe yang digodok Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi mulai diterapkan di 2.500-3.500 sekolah penggerak. Pemberlakuan kurikulum ini bertujuan mewujudkan program Merdeka Belajar bagi siswa dan guru.
Kepala Badan Standar, Kurikulum, dan Asesmen Pendidikan Kemendikbudristek Anindito Aditomo mengatakan, soal perubahan kebijakan dan kurikulum setiap pergantian menteri memang sering menjadi sorotan. ”
Kalau tidak ganti kurikulum bagaimana mau memperbaiki kurikulum supaya menaruh perhatian pada isu kotemporer,” kata Anindito di acara diskusi publik ”Ngobrol Bareng Mas Menteri: Aspirasi Anak Muda” soal Pendidikan Iklim yang digelar Change.org, Rabu (17/11/2021).
Tujuan pembelajaran di semua jenjang pendidikan anak usia dini hingga pendidikan tinggi dirumuskan dalam Profil Pelajar Pancasila sebagai wujud Merdeka Belajar. ”Jadi, pendidikan harus bisa memberikan pengalaman belajar seperti apa yang bisa membentuk Pelajar Pancasila,” kata Anindito
Profil Pelajar Pancasila dijabarkan dalam enam karakter. Karakter beriman, yaitu bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan berakhlak memiliki elemen akhlak beragama, akhlak pribadi, akhlak kepada manusia, akhlak kepada alam, dan akhlak bernegara. Lalu, bergotong royong (kolaborasi, kepedulian, dan berbagi); bernalar kritis (memperoleh dan memproses informasi dan gagasan, menganalisis dan mengevaluasi penalaran, merefleksikan pemikiran dan proses berpikir mengambil keputusan).
Selanjutnya, berkebinekaan global (mengenal dan menghargai budaya, kemampuan berkomunikasi interkultural dalam berinteraksi dengan sesama, dan refleksi, tanggung jawab terhadap pengalaman kebinekaan); mandiri (kesadaran akan diri dan situasi yang dihadapi serta regulasi diri); dan kreatif (menghasilkan gagasan orisinal serta menghasilkan karya dan tindakan yang orisinal).
Baca juga : Nadiem Makarim: Sekolah Masa Depan yang Menyenangkan dan Relevan Disiapkan
Menurut Anindito, proses pembelajaran saat ini menghadapi tantangan dalam pengembangan nalar karena berbasis konten. Akibatnya, guru kejar tayang dalam menyampaikan materi.
”Yang penting materi sudah disampaikan, hafal, pas ujian siswa bisa menjawab. Tidak masalah setelah itu lupa. Pendidikan sekarang ini bukan banyaknya informasi yang disampaikan guru di tiap mata pelajaran karena semua itu sudah banyak di internet. Justru kemampuan berpikir dan kepedulian, kompetensi dan karakter yang dibutuhkan. Merdeka Belajar menuju ke situ, yakni mentransformasi pembelajaran dari penyampaian materi dan ujian menjadi proses dan kualitas pembelajaran untuk membangun kompetensi, nalar, dan karakter,” jelas Anindito.
Perbaikan di kurikulum prototipe, antara lain, diterapkan dengan adanya 20-30 persen dari jam pembelajaran dalam satu tahun yang mengerjakan proyek dalam kelompok untuk mengatasi masalah nyata di sekitar. Salah satu contoh proyek terkait lingkungan di sekolah dasar dicontohkan Kemendikbudristek dengan nama Cerdik Kelola Sampah Plastik. Proyek satu semester ini dimulai dari pengenalan sampah plastik dan dampaknya, daur ulang, sampai pengumpulan data dan asesmen formatif tentang penyajian data.
Siswa melakukan observasi untuk mengumpulkan data dan memaknai problem sampah plastik di sekitar mereka. ”Jadi siswa mengalami sendiri isu yang dipelajari secara langsung,” kata Anindito.
Dukungan untuk pembelajaran yang merdeka dan memberi otonomi bagi guru dalam mengembangkan kreativitas pembelajaran dan penilaian juga diwujudkan dengan merubah evaluasi. Kewenangan menilai siswa diberikan kepada guru yang memahami proses belajar siswa selama di sekolah. Adapun pemerintah mengevaluasi sistem pendidikan lewat asesmen nasional (AN).
Kebijakan AN memotret pengukuran keberhasilan pembelajaran di sekolah berdasarkan pengalaman belajar yang diberikan kepada siswa. Hasil AN akan menjadi rapor pendidikan bagi sekolah dan daerah serta sebagai informasi dan evalusi seberapa baik pendidik dan pemerintah daerah memfasilitasi pembelajaran demi mendorong perubahan positif untuk pembelajaran yang berfokus pada kompetensi dan karakter.
Perbaikan buku teks yang benar juga dibutuhkan dengan memandu guru untuk berpikir merdeka. Buku teks diikuti secara merdeka, bukan sebagai resep yang harus diikuti secara baku. Sebab, buku teks hanyalah salah satu sumber pembelajaran.
Penyederhanaan kurikulum
Dalam kunjungan ke redaksi harian Kompas beberapa waktu lalu, Mendikbudristek Nadiem Anwar Makarim mengatakan, ada penyederhanaan Kurikulum 2013 dengan melaksanakan kurikulum piloting/prototipe di sekolah penggerak. Pendekatan dalam mendesain kurikulum pun diubah bukan lagi dari hasil pemikiran akademisi yang dipaksakan diberlakukan pada semua sekolah.
Kini, pendekatan yang dipakai dengan pendekatan kurikulum dari guru dan untuk guru dengan menguji coba, mengevaluasi, dan memperbaiki sehingga para guru dan sekolah yang akan melaksanakan kurikulum merasa senang dan cocok.
”Penyederhanaan kurikulum bukanlah merombak total kurikulum yang ada, melainkan memberi fleksibilitas yang meskipun kepada guru dan sekolah sehingga sesuai dengan kebutuhan belajar siswa,” kata Nadiem.
Di acara Ngobrol Pintar Seputar Kebijakan Edukasi bertajuk ”Mengupas Kurikulum Baru Nadiem Makarim”, beberapa waktu lalu, Kepala Sekolah Penggerak SMA Katolik Yos Sudarso Batam, Christina Sumiyati, mengatakan, sekolah penggerak menerapkan kurikulum sekolah penggerak. Ada perbedaan dengan Kurikulum 2013. Semisal untuk kelas X tidak lagi ada peminatan, namun digeser ke kelas XI. Adapun di Kurikulum 2013 peminatan siswa SMA mulai dari kelas X.
Mata pelajaran di kelas X masih serupa degan yang ada di SMP, ada Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) terpadu dan Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) terpadu. Pelaksanaan kurikulum diserahkan ke sekolah, mau terpadu seperti di SMP, berdiri sendiri, atau blok. Bisa disesuaikan dengan kondisi sumber daya manusia di setiap sekolah.
”Dalam struktur kurikulum, siswa tidak terbebani dari sisi konten karena sudah banyak berkurang. Pembelajaran fokus pada kompetensi. Beban belajar anak di kelas X berkurang karena model berbabasis proyek atau based project, harapannya anak dan guru punya waktu mengembangkan softskills yang penting untuk kehidupan,” kata Christina.
Di SMA ada pengurangan jam pembelajaran, dari 42 jam pelajaran menjadi 32 jam pelajaran. Tapi ada jam khusus untuk pelaksanaan proyek dengan porsi 25-33 persen dari jam pembelajaran selama satu tahun.
Sementara itu, Satriwan Salim guru PPKN di sekolah penggerak SMA Labscool Rawamangun Jakarta mengatakan, kurikulum sekolah penggerak ini sifatnya tertutup. Bahkan ada ketentuan tidak boleh menyebarluaskan materi-materi terkait kurikulum sekolah penggerak kepada publik.
Di kurikulum yang diberlakukan di sekolah penggerak, ada istilah-istilah baru seperti modul ajar sebagai pengganti rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP). Tidak ada lagi istilah kompetensi dasar dan kompetensi inti karena dilebur menjadi capaian pembelajaran.
Capaian pembelajaran menjadi sebuah kompetensi yang tidak memisahkan sikap, keterampilan, dan pengetahuan sehingga menjadi satu. Capaian pembelajaran ini juga ada fase-fase yang dibagi dari A-F. Untuk SMA kelas X dimulai di fase E, sedangkan kelas XI dan XII di fase F. ”Semacam mengajar di level yang tepat atau teaching at the right level. Guru diberi kemerdekaan untuk menentukan yang mau diajarkan,” kata Satriwan.
Guru Besar Kurikulum dari Universitas Pendidikan Indonesia Said Hamid Hasan mengatakan, perubahan kurikulum hal yang bisa dan tidak ada aturan baku harus dalam berapa lama. Perubahan dan perkembangan yang terjadi memang harus diantisipasi dunia pendidikan, salah satunya merubah kurikulum.
”Tetapi ada hal-hal yang harus diperhatikan, harus yang mengerti kurikulum. Sebab, kurikulum bukan daftar mata pelajaran,” kata Said.
Baca juga : Kurikulum Sekolah Penggerak Diimplementasikan Terbatas
Dalam uji coba kurikulum dengan melaksanakan di sekolah penggerak, perlu dicermati dasar hukumnya dan karakteristik sekolah-sekolahnya. Bagaimana nanti implementasinya pada sekolah lain harus jelas dalam rancangan rencana implementasi. Harus dilihat dari segi hukum dan prosedur pengembangan kurikulum, baik yang secara prinsip maupun teknis.