Guru, antara Kuantitas, Pemerataan, dan Kompetensi
Apalagi pada masa pandemi, saat sektor pendidikan di seluruh dunia menghadapi tantangan disrupsi teknologi yang begitu cepat, guru tetap harus bertanggung jawab pada keberlangsungan pendidikan siswanya.
Jerih payah dan usaha keras guru menggerakkan roda pendidikan selama pandemi patut mendapat apresiasi. Namun, di sisi lain guru masih menghadapi tantangan untuk meningkatkan kompetensi.
Peringatan Hari Guru Sedunia setiap tanggal 5 Oktober mengingatkan kita betapa mulia dan beratnya tugas seorang guru. Apalagi di masa pandemi, saat sektor pendidikan di seluruh dunia menghadapi tantangan disrupsi teknologi yang begitu cepat, guru tetap harus bertanggung jawab pada keberlangsungan pendidikan siswanya.
Awal pandemi 20 bulan lalu, ketika kondisi memaksa kegiatan belajar-mengajar di sekolah harus dihentikan dan diganti dengan pembelajaran jarak jauh dari rumah, guru harus cepat beradaptasi menyusun pembelajaran secara daring (dalam jaringan). Kurang lebih 3 juta guru di Indonesia harus bertanggung jawab pada nasib pendidikan sekitar 52 juta siswa dari PAUD hingga tingkat menengah atas.
Ibarat sebuah lilin, guru rela ”terbakar” demi menerangi jalan anak didiknya. Guru rela bersusah payah, belajar beradaptasi menggunakan teknologi, meningkatkan kapasitas dan kreativitas menyusun materi, demi pembelajaran tetap berjalan di tengah pandemi.
Tak sedikit cerita yang kita dengar bagaimana susahnya perjuangan guru-guru di pelosok yang tak tersentuh teknologi, harus mengunjungi muridnya satu per satu agar tidak ketinggalan pelajaran.
Bahkan, di tengah ancaman paparan Covid-19, guru juga menanggung beban ganda. Tak hanya menjalankan tugas sebagai pendidik, di sisi lain juga sebagai orangtua yang dituntut untuk mendampingi proses belajar dari rumah putra putrinya yang masih membutuhkan bimbingan.
Apalagi, pembelajaran daring menuntut kreativitas guru dalam menyampaikan bahan ajar, yang tentu saja membutuhkan waktu lebih banyak.
Oleh sebab itu, tak berlebihan jika di situasi pandemi yang luar biasa ini kita memberikan apresiasi yang setinggi-tingginya pada guru.
Baca Juga: Oh Guru Honorer Tua, Nasibmu...
Pembaruan kompetensi
20 bulan pandemi, proses pembelajaran jarak jauh dengan segala keterbatasannya dikhawatirkan banyak pihak akan menimbulkan ”Learning Loss”, yaitu kehilangan capaian pembelajaran.
Pembelajaran daring dinilai tidak efektif. Hal ini membuktikan, sehebat apa pun metode pembelajaran dan secanggih apapun teknologi yang digunakan tak dapat menggantikan sentuhan langsung kehadiran sosok seorang guru dalam mendidik dan membentuk karakter peserta didik.
Oleh karena itu, pembelajaran tatap muka terbatas di sekolah terus diupayakan secara bertahap dengan tetap mengutamakan kesehatan dan keselamatan siswa dan guru. Paling tidak interaksi guru dan murid secara langsung perlahan bisa dilakukan.
Hal ini menunjukkan guru merupakan elemen penting dalam pendidikan. Bahkan, pentingnya peran dan tanggung jawab guru dijelaskan dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen yang menyebutkan guru sebagai agen pembelajaran. Artinya guru harus menjadi fasilitator, motivator, pemacu, perekayasa pembelajaran, dan pemberi inspirasi belajar bagi peserta didik.
Untuk itu seorang pendidik dituntut harus kompeten agar tercapai kualitas pendidikan yang baik. Paling tidak guru harus memiliki kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi sosial, dan kompetensi profesional sebagai standar kompetensi yang menunjang para guru agar dapat mengajar dengan baik dan benar sebagaimana diamanatkan UU No 14/2005.
Sebagai salah satu kunci penting dalam meningkatkan mutu pendidikan, kompetensi guru di Indonesia masih menghadapi tantangan berat. Pasalnya, capaian kompetensi guru masih jauh dari harapan.
Menurut data UNESCO dalam Global Education Monitoring (GEM) Report 2016, kualitas guru di Indonesia tergolong memprihatinkan, berada di urutan ke-14 dari 14 negara berkembang di dunia.
Lalu dalam studi Research on Improving Systems of Education (RISE) terhadap 360 guru kelas sekolah dasar di Indonesia pada 2018, ditemukan hanya 12,43 persen guru yang menganggap dirinya menguasai materi pengajaran literasi baca tulis dan 21,27 persen yang menguasai materi pengajaran matematika.
Demikian juga dengan hasil Uji Kompetensi Guru (UKG) tahun 2019. Berdasarkan data Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud), capaian rata-rata kompetensi guru di 34 provinsi tidak ada yang mencapai standar kompetensi minimum di angka 75.
Skor rata-rata lima provinsi terbaik masih di angka 60-an. Dari dua kompetensi yang di uji yaitu kompetensi pedagogik dan profesional, skor tertinggi dicapai Provinsi DI Yogyakarta dengan nilai rata-rata 67,02 dan UKG guru SMA mencapai 73,78. Diikuti Provinsi Jawa Tengah (63,30 ), DKI Jakarta (62,58 ), Jawa Timur (60,75 ), dan Bali (60,12 ). Di luar kelima provinsi tersebut, nilai rata-rata UKG di bawah 60.
Bahkan lima provinsi di urutan terbawah, skornya masih belum mencapai angka 50. Terendah adalah Maluku Utara dengan nilai rata-rata 44,79. Provinsi lainnya yang mendapat skor rata-rata di bawah 50 yaitu Papua Barat (49,47), Papua (49,09), Aceh (48,33), dan Maluku (47,38).
Hal ini tentu harus mendapat perhatian serius dari pemerintah, mengingat peran dan tanggungjawab guru yang begitu besar dalam mencerdaskan generasi penerus bangsa. Apalagi perkembangan zaman terjadi begitu cepat.
Dunia pendidikan harus menyelaraskan perkembangan Revolusi Industri 4.0 yang sarat dengan teknologi. Penguasaan teknologi oleh guru menjadi suatu keniscayaan.
Pembaruan model kompetensi guru perlu dilakukan untuk menjawab tantangan terhadap kualitas pendidikan yang terus berkembang tersebut, baik di tingkat regional maupun global. Tantangannya, sebanyak 60 persen guru masih gagap dengan kemajuan di era digital ini (hasil survei Pustekkom Kemendikbud 2018).
Baca Juga: Urgensi Meningkatkan Partisipasi Pendidikan Anak Usia Dini
Pemerataan
Permasalahan guru memang kompleks. Selain masalah kualitas, kuantitas, dan pemerataan guru di Tanah Air juga masih menjadi problem klasik yang belum terpecahkan.
Kemendikbud memprediksi sekolah di Indonesia kekurangan 1 juta guru setiap tahun sepanjang kurun waktu 2020-2024. Bahkan, ditaksir akan terus meningkat setiap tahun.
Kemendikbud memprediksi sekolah di Indonesia kekurangan 1 juta guru setiap tahun sepanjang kurun waktu 2020-2024. Bahkan, ditaksir akan terus meningkat setiap tahun.
Dari data Neraca Pendidikan Daerah Kemendikbud tahun 2019, tergambar hampir semua jenjang pendidikan di 34 provinsi kekurangan jumlah guru negeri, kecuali guru SD di sebagian besar wilayah Sumatera yang justru kelebihan guru, termasuk sekolah menengah kejuruan (SMK) yang membutuhkan guru-guru produktif sesuai bidangnya, masih kurang dari cukup.
Kekurangan guru ini selain menggambarkan tidak adanya pemerataan juga berdampak pada capaian kualitas pendidikan karena tak sedikit guru yang harus merangkap mengajar beberapa kelas atau mengajar tidak sesuai bidangnya. Dan dipersulit lagi dalam situasi pandemi.
Hal ini juga terlihat dari Indeks Pemerataan Guru PNS 2019, di mana skor indeks semakin mendekati O semakin merata distribusinya. Terlihat hanya guru jenjang SD yang hampir meratapenyebarannya dengan skor Indeks Pemerataan Guru PNS 0,24 untuk guru kelas, sedangkan guru mata pelajarannya belum merata (skor 0,45).
Sementara penyebaran guru jenjang SMP, SMA, dan SMK belum merata dengan indeks yang semakin jauh dari 0.
Permasalahan kuantitas guru juga menjadi pekerjaan rumah besar karena beban guru akan semakin bertambah dengan banyaknya guru yang akan memasuki masa pensiun.
Mengingat guru sebagai pilar pendidikan dan peran strategisnya sangat berpengaruh pada keberhasilan pendidikan. Oleh sebab itu, persoalan kuantitas, pemerataan, dan kualitas guru yang saling berkelindan sehingga berimplikasi pada potret kompetensi guru serta capaian pembelajaran, harus menjadi prioritas kebijakan. (Litbang Kompas)
Baca Juga: Terbatasnya Pembelajaran Tatap Muka Terbatas