Mendambakan Guru Profesional
Evaluasi program pendidikan profesi guru prajabatan perlu dilakukan karena dampaknya tidak signifikan pada kualitas guru dan hasil capaian belajar siswa dibandingkan dengan guru yang hanya lulusan sarjana.
Kompetensi guru menentukan mutu pendidikan anak-anak Indonesia. Karena itu, para guru dituntut terus meningkatkan kompetensi diri, salah satunya dengan meningkatkan kualifikasi pendidikan.
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen menuntut guru sebagai profesi yang tak hanya cukup dengan pendidikan sarjana. Guru juga harus memiliki sertifikat pendidik yang didapat melalui pendidikan profesi guru.
Atas dasar itu, pendidikan profesi guru (PPG) prajabatan diberlakukan bagi mahasiswa lulusan lembaga pendidikan tenaga kependidikan (LPTK) dari 421 LPTK yang meliputi 380 LPTK swasta dan 41 perguruan tinggi negeri. Namun, izin penyelenggaraan PPG prajabatan hanya diberikan kepada sekitar 75 LPTK.
Lulusan program sarjana pendidikan dan nonkependidikan bisa mengajar di sekolah setelah mendapatkan sertifikat pendidik yang diperoleh melalui PPG prajabatan. Tujuannya, untuk menghasilkan guru profesional demi mendukung lahirnya siswa berkualitas.
Namun, riset yang dilakukan tim peneliti program Research on Improving System of Education (RISE) di Indonesia-SMERU Research Institute justru memperlihatkan lulusan PPG prajabatan tak berbeda kualitasnya dengan guru yang hanya lulusan S-1 pendidikan.
Seperti tidak ada hubungan dari pendidikan S-1 dan PPG. Memang perlu dievaluasi lagi supaya PPG ini punya makna yang signifikan.
Dalam webinar bertajuk ”Guru Muda untuk Generasi Masa Depan Indonesia: Siapkah Mereka?”, Kamis (11/11/2021), Astri Yusrina, peneliti program RISE di Indonesia, menyampaikan, hasil riset dampak PPG prajabatan bagi calon guru muda cukup mengejutkan.
Program PPG prajabatan untuk lulusan LPTK yang pendidikan S-1 kependidikannya bagus, tak berbeda dengan lulusan dari lembaga sama yang tidak mengikuti PPG.
Menurut Astri, riset ini meneliti lulusan PPG prajabatan dari tujuh LPTK berkualitas di Pulau Jawa dan lulusan S-1 pendidikan dari LPTK yang sama yang juga mengajar di sekolah. Data diambil tahun 2018 saat guru muda menjalani PPG. Lalu, pada tahun 2019 dan 2020 (sebelum pandemi Covid-19), praktik mengajar dengan observsi kelas guru sampel divideokan. Pada tahun 2021, tim peneliti datang ke sekolah untuk mewawancarai guru dan kepala sekolah serta melakukan tes guru dan tes murid.
Baca juga : Negara Harus Hadir dalam Perbaikan Mutu Guru
Hasilnya, tes pengetahuan konten dan aspek pedagogi guru PPG lebih tinggi dari non-PPG. Namun, jika melihat nilai tes siswa yang diajar guru PPG dan non-PPG ternyata tidak ada perbedaan signifikan. Hal ini, menurut Astri, bisa jadi karena sampel penelitian sama-sama dari lulusan LPTK dengan kualitas terbaik. Artinya, dengan hanya mengantongi gelar S-1 sudah memadai untuk jadi guru sehingga dampak PPG prajabatan tidak terlalu signifikan.
Riset ini juga menemukan, guru PPG dapat menggunakan waktu lebih efektif dalam mengelola kelas serta mempraktikkan penggunaan media pembelajaran dan tidak banyak meminta siswa menyalin materi. Saat praktik pengajaran, terlihat bahwa guru non-PPG justru banyak melakukan pembelajaran kontekstual dan memberikan pertanyaan terbuka.
Ketika mengukur hasil capaian belajar literasi dan numerasi, ternyata guru PPG juga belum memiliki kecakapan yang memadai. Penguasaan materi pengajaran numerasi para guru muda lulusan PPG rendah dan lebih rendah lagi untuk literasi. Selain itu, kecakapan pembuatan instrumen penilaian murid juga rendah. Para guru muda ini kuat dalam kemampuan penguasaan kelas, penggunaan teknologi dalam pembelajaran, pembuatan strategi pengajaran, serta pembuatan media pembelajaran.
Butuh evaluasi
Shintia Revina, anggota tim studi RISE, menambahkan, kurikulum S-1 dan PPG prajabatan ternyata tidak terintegrasi. Materi selama PPG banyak mengulang materi yang sudah dipelajari di jenjang sarjana. ”Seperti tidak ada hubungan dari pendidikan S-1 dan PPG. Memang perlu dievaluasi lagi supaya PPG ini punya makna yang signifikan,” kata Shintia.
Baca juga : Penyiapan Guru Muda Belum Memadai
Koordinator Pengembangan Konten dan Pelatihan Gerakan Nasional Pemberantasan Buta Matematika (Gernas Tastaka) yang juga dosen pendidikan Matematika di Universitas Sampoerna Jakarta, Dhitta Puti Sarasvati, mengatakan, sebenarnya, jika proses pendidikan di LPTK dilaksanakan dengan baik dan berkualitas, akan melahirkan lulusan yang siap menjadi guru pemula. Ini terlihat dari hasil riset RISE bahwa tidak ada perbedaan signifikan capaian hasil belajar siswa yang mengikuti pembelajaran guru lulusan dari LPTK berkualitas, baik yang ikut PPG maupun tidak.
”Apabila PPG prajabatan dianggap sebagai pendidikan profesi, salah satu keterampilan paling penting yang perlu dikembangkan adalah kemampuan mengambil keputusan berdasarkan ilmu-ilmu profesi. Selain itu, berkaca dari hasil studi Catatan Perjalanan Guru, adanya bimbingan yang suportif dari guru yang lebih berpengalaman dan terampil bisa menjadi kunci,” kata Dhitta.
Perjalanan mendampingi para guru SD mengajarkan matematika selama tiga tahun dan kini masuk ke literasi membaca memperlihatkan banyak guru lulusan LPTK belum memahami konsep pengajaran yang benar sesuai tahapan perkembangan anak. Bahkan, mereka mengaku belum mendapatkan materi itu saat kuliah di LPTK.
Ketua Program Studi PPG Universitas Sanata Dharma Yogyakarta Yuliana Setyaningsih mengatakan, fakta-fakta yang disebutkan oleh studi RISE harus jadi refleksi bagi para penyelenggara program PPG. Pendidikan PPG seharusnya menghasilkan hasil belajar numerasi murid yang lebih tinggi. Kemampuan literasi para mahasiswa PPG harus menjadi perhatian para penyelenggara program PPG karena sangat berkaitan dengan literasi teknologi digital.
Baca juga : Kualitas Sebagian Guru Masih Rendah, Hasil Pendidikan Belum Merata
”PPG harus membangun jiwa guru. Mereka akan menjadi guru yang mau mengembangkan diri sepanjang hayat. Membangun jiwa guru tidak mudah dan tidak dalam waktu singkat. Masih banyak pembenahan yang bisa dilakukan dan ini bisa dievaluasi kembali,” kata Yuliana.
Sementara itu, Guru Besar Universitas Negeri Jakarta Ilza Mayuni mengatakan, PPG tidak hanya untuk lulusan LPTK. Kurikulum PPG dibuat sedemikian rupa supaya peserta sarjana pendidikan dan nonkependidikan mendapat bekal yang lengkap. Pada saat yang sama, LPTK pun sudah melakukan pembaruan agar lulusannya siap terjun di dunia kerja dengan atau tanpa PPG. Oleh karena itu, lulusan LPTK yang menjalani PPG bisa merasa bosan kalau tidak mendapatkan hal baru atau penguatan.
”Ini jadi refleksi bagi LPTK, perlu ada integrasi, saling menguatkan bagaimana kurikulum S-1 dan PPG saling membantu penyiapan guru berkualitas,” kata Ilza.
Pemerhati pendidikan Doni Koesoema menyebutkan, tidak adanya perbedaan hasil belajar siswa dari guru PPG dan non-PPG perlu dipertanyakan lebih jauh. Padahal, lulusan guru PPG memiliki sejumlah keunggulan. Bisa jadi ada faktor lain, seperti kurikulum dan lingkungan sekolah, yang menjadi penghambat.
”Seharusnya PPG jadi awal untuk menyeleksi guru karena banyak lulusan LPTK yang belum berkualitas. Seharusnya kita semakin membuat profesi guru di negeri ini prestisius dan dibayar mahal negara,” kata Doni.
Baca juga : Pelatihan Guru Akan Mengakselerasi Kualitas Pendidikan
Fasli Jalal, mantan Wakil Menteri Pendidikan Nasional, mengatakan, PPG memang diharapkan jadi cara untuk menguatkan calon guru dalam aspek pedagogi dan penguasaan konten yang masih belum memadai. Selain itu, dengan menjadikan guru sebagai profesi, kesejahteraan pendidik dapat ditingkatkan dengan tambahan tunjangan profesi guru selain gaji. Bagi guru swasta juga ada gaji yang setara guru PNS.
”Kita tercengang dan perlu berpikir keras karena hasil yang diharapkan tidak sebaik kenyataannya. Namun, kita tidak bisa mundur. PPG harus jadi awal seleksi yang lebih kuat dari sisi passion atau panggilan menjadi pendidik dan kompetensi, lalu diikuti dengan program induksi bagi guru muda dan pengembangan guru berkelanjutan,” kata Fasli.
Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nadiem Anwar Makarim mengatakan, guru sebagai fondasi transformasi pendidikan berkualitas. Namun, masih banyak masalah yang ditemui guru untuk menjadi guru mumpuni.
Nadiem menyebutkan, peningkatan kualitas guru yang sudah ada dilakukan dengan program guru penggerak. Tujuannya, untuk menyiapkan regenerasi guru yang memiliki pola pikir dan jiwa kepemimpinan untuk perubahan. Sementara untuk ”darah baru” diperkuat lewat PPG. Lulusan akan ditempa untuk menjadi guru tangguh dan kreatif dengan membangun karier sebagai pendidik yang dimulai di daerah terpencil, terdepan, dan terluar.