Naskah ”La Galigo” belum banyak diketahui masyarakat, khususnya generasi muda. Penyebaran informasi dan edukasi tentang sastra kuno Bugis ini dinilai perlu diperkuat.
Oleh
SEKAR GANDHAWANGI
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Naskah La Galigo telah diakui sebagai Memori Kolektif Dunia oleh Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa atau UNESCO selama satu dekade. Namun, sastra Bugis itu dinilai belum banyak diketahui publik, khususnya generasi muda. Pemahaman terhadap naskah itu perlu diperkuat agar tidak punah.
Guru Besar Fakultas Ilmu Budaya Universitas Hasanuddin, Makassar, Nurhayati Rahman, mengatakan, saat ini tidak banyak orang mampu membaca La Galigo. Ini karena naskah berusia ratusan tahun tersebut ditulis dalam aksara Lontaraq yang kini sangat jarang digunakan masyarakat. Padahal, La Galigo dulu hidup dalam keseharian masyarakat, misalnya dalam bentuk kesenian.
Anak muda pun dinilai kesulitan memahami naskah itu karena kendala bahasa. Nurhayati mengatakan, sebagian bahasa di naskah itu sudah mati atau tidak digunakan lagi.
”Tantangan lain adalah naskah ini terlalu panjang, sekitar 400-500 halaman dalam satu jilid. Belum lagi, karya sastra lama banyak pengulangan yang dikhawatirkan membuat (anak muda) bosan,” kata Nurhayati pada diskusi daring, Senin (1/11/2021).
La Galigo terdiri atas 6.000 halaman atau setara 300.000 baris teks. Naskah ini dibagi dalam 12 jilid dan merupakan sastra terpanjang di dunia. Peneliti memperkirakan itu hanya satu per tiga dari naskah La Galigo asli.
Naskah tersebut dimiliki secara acak oleh penduduk zaman dulu. Penginjil dari Belanda, BF Matthes, kemudian menginisiasi pencatatan La Galigo saat datang ke Makassar, Sulawesi Selatan. Matthes dibantu Retna Kencana Colliq Pujie, perempuan Bugis yang juga tahanan politik Belanda di Makassar, untuk meminjam naskah La Galigo dari warga dan menyalinnya. Proyek itu tidak selesai karena Matthes harus kembali ke Belanda.
Terjemahkan naskah
Menurut Nurhayati, naskah ini perlu diterjemahkan agar dapat dibaca generasi muda. Konten pada naskah dinilai sebagai sumber berkarya bagi generasi muda, baik untuk film, musik, animasi, maupun gim.
Naskah tersebut juga mengandung nilai-nilai luhur, seperti kejujuran, keberanian, dan kecerdasan. Ia berharap hal itu dapat ditransformasikan menjadi nilai yang hidup di masyarakat.
”Pengakuan dari UNESCO perlu ditransformasikan dan diinterpretasi terus-menerus. Dengan demikian, karya ini dapat spirit untuk hidup. Jika karya ini tidak dimaknai sesuai zaman (yang sedang berlangsung), ia hanya akan jadi pajangan di museum,” tutur Nurhayati.
Hingga kini, ada tiga jilid La Galigo yang sudah diterjemahkan. Hasil terjemahan pertama terbit pada tahun 1995, disusul terjemahan kedua pada 2000 dan ketiga pada 2017. Penerjemahan penting karena La Galigo dinilai sebagai aset budaya yang perlu diwariskan ke generasi penerus.
Sebelumnya, Kepala Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Endang Aminudin Aziz mengatakan, migrasi generasi muda ke kota berpengaruh ke pelestarian bahasa daerah. Sebab, bahasa daerah jarang digunakan di kota. Penutur bahasa daerah pun menghilang.
Karya
Pembuat film dokumenter La Galigo: Literasi, Seni dan Memori, M Yunus Patawari, mengatakan, film itu dibuat dari perspektif orang awam. Tujuannya agar publik dapat mengenal dan memahami naskah tersebut secara mudah.
”Saya berasumsi bahwa tidak banyak orang tahu. Naskah ini umumnya dikenal di lingkup ilmiah yang forumnya terbatas (untuk orang awam). Informasi dan pengetahuan ini perlu disebarluaskan dalam bentuk media lain. Saya pikir film media yang tepat,” kata Yunus.
Film tersebut kini dapat ditonton di kanal Youtube Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). Agar mudah dipahami, Yunus membuat beberapa bab pada film. Bab-bab itu dibagi dalam tiga kelompok besar, yaitu literasi, seni, dan memori.