Saat ini banyak anak muda tidak lagi bisa berbahasa daerah. Akan tetapi, upaya untuk melestarikan bahasa daerah masih bisa dilakukan, antara lain melalui musik dan media sosial.
Oleh
Sekar Gandhawangi
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Penutur bahasa daerah dinilai semakin sulit dijumpai, khususnya anak muda yang tinggal di kota. Berbagai upaya mengarusutamakan kembali bahasa daerah pun dilakukan, antara lain melalui pendidikan di sekolah hingga festival bahasa.
Menurut salah satu penggagas Festival Aksara Lontaraq yang berlangsung di Makassar, Sulawesi Selatan, Upi Asmaradhana, tidak banyak masyarakat yang berbahasa daerah di kehidupan sehari-hari. Anak muda pun demikian. Selain asing dengan bahasa daerah, anak-anak muda di Sulsel, kata Upi, cukup asing dengan aksara asli di sana, yakni aksara Lontaraq.
Adapun Lontaraq merupakan aksara bagi empat etnis di Sulsel, yakni Makassar, Bugis, Mandar, dan Toraja. Lontaraq merupakan dasar mengenal empat bahasa daerah tersebut. Pelestarian aksara dan bahasa daerah pun sama-sama penting.
Kami ada kekhawatiran bahwa anak-anak muda, baik generasi Z atau milenial, tidak akan mengenal lagi bahasa dan aksaranya. Sekarang sedikit sekali menemui orang yang berbahasa Makassar, Bugis, Mandar, dan Toraja.
“Kami ada kekhawatiran bahwa anak-anak muda, baik generasi Z atau milenial, tidak akan mengenal lagi bahasa dan aksaranya. Sekarang sedikit sekali menemui orang yang berbahasa Makassar, Bugis, Mandar, dan Toraja,” kata Upi saat dihubungi dari Jakarta, Sabtu (23/10/2021).
Ia menambahkan, sebagian anak muda di Sulsel tidak paham akar budayanya, termasuk bahasa daerah. Padahal, mengenal akar budaya sama dengan mengenal jati diri. Ini modal penting dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Hal tersebut jadi alasan penyelenggaraan Festival Aksara Lontaraq. Festival ini digelar pertama kali pada 2020 hingga 2021 secara hibrida. Pelaksanaannya melibatkan pegiat bahasa daerah, budayawan, akademisi, hingga lembaga pemerintah daerah. Festival ini menjadi media pengenalan aksara Lontaraq dan bahasa daerah bagi siswa sekolah dan mahasiswa.
Sejumlah lomba digelar selama festival, misalnya pidato bahasa daerah untuk siswa SMA. Namun, Upi mengatakan bahwa tidak ada peserta yang mengikuti lomba ini. Menurutnya, ini salah satu indikator bahwa bahasa daerah mulai ditinggalkan.
Media sosial
Upi lalu mengenalkan bahasa daerah dari hal sederhana, seperti mengakhiri setiap unggahannya di media sosial dengan kalimat kurru sumanga’. Kalimat ini merupakan ungkapan terima kasih orang Sulsel. Namun, kalimat ini sulit ditemukan di dialog warga sehari-hari.
“Jadi, mengenalkan bahasa daerah bisa mulai dari diri sendiri. Saat orang tanya apa artinya, saya jelaskan,” tuturnya.
Musisi asal Makassar M Alifi (25) juga menggunakan platform digital untuk berbahasa daerah. Ia mengunggah sejumlah video saat bermusik sejak 2019. Musik yang ia mainkan berbahasa Makassar. Musik itu hasil ciptaan sendiri, tapi ada pula hasil aransemen dari lagu-lagu yang sudah ada.
Ia bekerja sama dengan sejumlah teman. Temannya yang menulis lirik lagu, sedangkan ia membuat musik. Mereka juga menggali lagu-lagu Makassar yang kini, menurut Alifi, sudah jarang didengarkan publik, khususnya anak muda.
“Jika ada 1.000 pemuda yang tidak senang lagu Makassar, maka saya termasuk yang senang. Saya melengkapi kekurangan dari yang tidak ada,” ucap Alifi.
Musiknya kerap dinikmati perantau dari Makassar yang rindu rumah. Alifi mengatakan, ada pula orang dari pulau Jawa yang tidak mengerti bahasa Makassar, tapi turut menikmati musiknya. Menurut dia, ini jadi salah satu media mengenalkan bahasa daerah.
Menurut Kepala Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Endang Aminudin Aziz, pelestarian bahasa daerah menghadapi sejumlah tantangan. Pertama, hilangnya sikap positif publik terhadap bahasa daerah, misalnya anggapan bahwa bahasa daerah tidak bergengsi.
Kedua, migrasi generasi muda ke kota. Adapun bahasa daerah jarang digunakan di kota sehingga penutur bahasa daerah perlahan hilang. Tantangan ketiga adalah adanya kawin campur antara dua penutur bahasa daerah yang berbeda.
“Bisa ada ‘konflik’ ingin membesarkan anak dalam bahasa ayah atau ibu. Jika tidak ada kompromi, solusinya adalah menggunakan bahasa ketiga, yaitu bahasa Indonesia. Satu generasi penutur bahasa daerah pun hilang,” ucap Aminudin.
Tantangan lain pelestarian bahasa adalah adanya bencana alam atau perang yang menewaskan penutur bahasa daerah. Selain itu, pengembangan teknologi pun mendorong orang belajar bahasa yang sering digunakan seperti bahasa Inggris. Penggunaan bahasa daerah pun kian minim.
“Tahun ini kami membuat program revitalisasi bahasa daerah di tiga provinsi, yaitu Sulsel, Jawa Tengah, dan Jawa Barat. Bahasa daerah diajarkan di sekolah. Materinya disesuaikan dengan selera anak-anak. program ini melibatkan komunitas, pegiat bahasa daerah, dan profesional,” kata Aminudin.
Program serupa juga akan berlangsung di 2022. Cakupan wilayah akan diperluas menjadi 12 provinsi, antara lain Sumatera Utara, Kalimantan Timur, Kalimantan Tengah, Maluku, Maluku Utara, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Papua, dan Bali.