Dunia sastra dan literasi sejatinya bukan lagi sesuatu yang baru di Sulawesi Selatan. Warisan naskah kuno ”La Galigo” menjadi bukti sekaligus tonggak peradaban di wilayah ini sejak ratusan tahun silam.
Oleh
Reny Sri Ayu
·4 menit baca
Epos terpanjang dunia, La Galigo, yang ditulis dalam aksara Lontara menjadi bukti penciptaan dan peradaban Bugis di Sulawesi Selatan sejak ratusan tahun lampau. Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNESCO) juga mengakui karya sastra ini dan mencatatnya sebagai bagian ingatan kolektif dunia pada 2011 lalu. La Galigo adalah titik awal sekaligus akar kecintaan Sulawesi Selatan pada sastra.
La Galigo tak sekadar naskah kuno yang berisi cerita kehidupan manusia dengan Sawerigading sebagai tokoh utamanya. Susunan naskah yang diperkirakan berasal dari tradisi lisan abad ke-14 ini juga berisi kalimat indah dalam bentuk puisi, di mana setiap penggal frasa terdiri dari lima suku kata. La Galigo bisa disebut juga naskah sastra kuno atau puisi kuno dalam bentuk sajak bersuku lima.
Ditulis pada media daun lontar dalam aksara Lontara, banyak naskah yang sudah hilang. Sebelumnya, naskah ini terserak di berbagai tempat dalam bentuk nyanyian, mantra, doa, dongeng, dan lagu pengantar tidur hingga lagu pada sejumlah ritual dan tradisi. Naskah ini terus direproduksi dalam tradisi lisan dari generasi ke generasi.
Dalam berbagai catatan disebutkan, naskah-naskah yang terserak ini dikumpulkan oleh sastrawan Bugis Colliq Pujie bersama seorang Belanda, BF Matthes, pada pertengahan abad ke-19. Setidaknya ada 6.000 halaman atau 300.000 baris teks yang berhasil diselamatkan dan diawetkan. Naskah ini terdiri atas 12 jilid. Ini pula yang membuat La Galigo kemudian menggeser karya sastra dunia, seperti Mahabarata, sebagai naskah sastra terpanjang.
”Banyak peneliti yang sepakat menyimpulkan bahwa meski La Galigo adalah naskah kuno, sudah ditulis dalam bentuk kontemporer,” kata Prof Nurhayati Rahman, ahli filologi Universitas Hasanuddin, Makassar, yang menghabiskan banyak waktu meneliti dan menerjemahkan naskah kuno La Galigo.
Karena itu, tidak berlebihan jika menyebut bahwa dunia sastra atau kesusastraan di Sulsel bukan hal baru lagi. La Galigo adalah bukti sekaligus warisan karya sastra besar itu. Naskah ini, antara lain, memuat hal terkait penciptaan bumi, manusia, demokrasi, kepemimpinan, kesetaraan jender, hingga transjender.
”Maka, tidak heran jika literasi dan kesusastraan berkembang di Sulsel karena cikal bakalnya sudah ada. Warisan kesusastraan itu adalah naskah La Galigo. Naskah ini unik bukan hanya bentuknya dalam frasa lima suku kata, melainkan juga pengisahannya berisi kisah balik hingga yang akan terjadi di masa depan,” kata Nurhayati.
Soal La Galigo, Ketua Forum Lintas Pena Sulsel Andi Batara Al Isra punya kisah sendiri. Baginya, La Galigo adalah pelecut semangatnya mengembangkan bakat menulis cerpen dan puisi.
Mengambil jurusan antropologi pada jenjang S-1 dan kini menempuh jenjang S-2 dengan jurusan sama pada University of Auckland di Selandia Baru, Batara tak pernah berhenti membuat karya sastra. Buku kumpulan puisinya yang berjudul Di Seberang Gelombang diterbitkan pada akhir 2019.
”Memang saya masuk kuliah di jurusan antropologi, tetapi minat pada penulisan fiksi dan membuat puisi sudah ada sejak lama. Saat mengetahui soal naskah La Galigo, saya sungguh tercengang. Ternyata, kita punya warisan naskah sastra kuno yang diakui dunia. Ini melecut semangat saya untuk belajar sastra lebih jauh,” katanya.
Nurhayati Rahman mengatakan, tantangan terbesar saat ini adalah membuat La Galigo lebih dekat dan dikenali generasi saat ini. Sebab, faktanya, dalam perkembangan kekinian, tidak semua generasi muda mengetahui tentang La Galigo.
Untuk mendapat pengakuan, syaratnya adalah aksara itu masih digunakan dan dilindungi pemerintah.
”Bahkan, huruf Lontara pun sudah tak digunakan sehati-hari. Bahasa Bugis juga mulai hilang di generasi sekarang, terutama di perkotaan. Ini yang menjadi tugas berat sekarang,” katanya.
Keberpihakan pemerintah
Saat ini, Nurhayati berusaha mendaftarkan Lontara sebagai salah satu aksara dunia. ”Untuk mendapat pengakuan, syaratnya adalah aksara itu masih digunakan dan dilindungi pemerintah. Saya dan sejumlah orang sedang berjuang agar Lontara bisa dimasukkan dalam pelajaran, tak lagi sekadar muatan lokal,” ujarnya.
Dia menambahkan, ini bisa dilakukan jika pemerintah punya keberpihakan. Dalam hal ini, Nurhayati berharap ada peraturan daerah yang menguatkan. Namun, perjuangan Nurhayati bukan sekadar membuat aksara lontara masuk dalam pelajaran, tapi juga upaya melanjutkan menerjemahkan naskah La Galigo.
”Sejauh ini baru tiga jilid yang telah diterjemahkan. Saya sebenarnya sudah dijanjikan pusat untuk menerjemahkan sembilan jilid lainnya. Entah mengapa kelanjutannya menjadi tidak jelas. Padahal, menerjemahkan dan menerbitkan La Galigo juga menjadi salah satu upaya menyelamatkan dan mengabadikan naskah besar ini,” katanya.
Sastrawan Makassar, Aslan Abidin, mengatakan, pelestarian La Galigo penting bukan sekadar bahwa ini adalah naskah sastra kuno, melainkan La Galigo telah menjadi tonggak peradaban. ”La Galigo adalah penciptaan luar biasa yang bisa menjadi spirit intelektual untuk berkarya dan berkreasi. Naskah ini adalah harta kebudayaan yang bernilai tinggi. Sudah selayaknya naskah ini diselamatkan dan diabadikan,” kata Aslan.
Menurut dia, harus ada satu kebijakan yang mengharuskan kita mempelajarinya lebih dari sekadar ilmu pengetahuan. La Galigo bisa jadi pelajaran di sekolah, bisa jadi pelajaran di bangku kuliah. ”Intinya, naskah ini harus terus direproduksi dan diabadikan dalam ingatan sehingga tak hilang ditelan zaman,” katanya.