Digitalisasi Aksara Nusantara Terhambat Keterbatasan Penggunaan Aksara
Indonesia pada masa lampau kaya akan aksara Nusantara. Tapi, kini keberadaan aksara Nusantara terancam punah jika tidak dilestarikan.
Oleh
SEKAR GANDHAWANGI
·4 menit baca
KOMPAS/RIZA FATHONI
Mural dari beragam daerah dari dalam dan luar negeri terlukis di dinding jalanan di kawasan Sunter, Jakarta Utara, Minggu (2/8/2020). Mural tersebut selain menghiasi dinding juga dapat menjadi edukasi bagi warga yang melintas.
JAKARTA, KOMPAS – Upaya digitalisasi aksara Nusantara terus dilakukan. Digitalisasi tidak hanya untuk mengarsipkan aksara, tetapi juga diaplikasikan pada gawai dan menjadi nama domain internet. Namun, digitalisasi aksara terkendala karena penggunaannya yang masih terbatas.
Hingga kini, ada tujuh aksara Nusantara yang terdaftar pada Unicode, yaitu standar teknis agar teks dan simbol dari seluruh dunia dapat digunakan di komputer. Ketujuh aksara itu meliputi aksara Jawa, Sunda Kuno (yang digunakan di era Kerajaan Padjajaran), Bali, Batak, Rejang, Lontaraq, dan Jangang-jangang.
Wakil Ketua Pengelola Nama Domain Internet Indonesia (Pandi) Heru Nugroho pada, Selasa (7/9/2021) mengatakan, pada pertengahan 2020, aksara Jawa didaftarkan agar bisa menjadi nama domain internet. Hal itu diajukan ke Internet Corporation for Assigned Names and Numbers (ICANN), yaitu lembaga pengelola internet dunia.
Upaya itu ditolak ICANN karena status penggunaan aksara Jawa masih terbatas atau limited use script. Status itu direkomendasikan oleh Unicode.
“Kami sedang mengupayakan agar levelnya dinaikkan sehingga mendapat rekomendasi. Selain Jawa, aksara lain yang terdaftar di Unicode juga ditargetkan agar naik level. Ini akan menjadi acuan bagi industri untuk mengakomodasi aksara (Nusantara) di gawai yang akan didistribusikan di Indonesia,” kata Heru.
Selain rekomendasi Unicode, aksara Nusantara juga diajukan ke Badan Standardisasi Nasional (BSN) agar memperoleh Standar Nasional Indonesia (SNI). SNI digunakan untuk mendapat standar internasional ISO 10646. ISO akan jadi acuan untuk membuat, salah satunya, papan ketik dan fon aksara Nusantara pada gawai. Pandi telah berkoordinasi dengan sejumlah kementerian dan lembaga untuk ini.
Heru mengatakan, hingga kini ada tiga aksara yang sedang didaftarkan ke BSN hingga akhir September 2021, yakni Jawa, Bali, dan Sunda Kuno. Pembahasan aksara ini untuk memperoleh SNI akan dibahas pada Oktober 2021.
Selain itu, Pandi juga mengupayakan agar aksara-aksara lain terdaftar di Unicode. Beberapa di antaranya adalah aksara Lampung, Incung, Pegon, Kawi, Bima, Ende, dan Satera Jontal. Sejumlah aksara lain punya sedikit referensi sehingga sulit didigitalisasi, seperti Bolaang, Sangir, Gayo, Malesung, dan Minang.
KOMPAS/VINA OKTAVIA
Meizano Ardhi Muhammad (40), dosen Program Studi Teknik Informatika, Fakultas Teknik, Universitas Lampung, menunjukkan cara penggunaan papan ketik aksara Lampung di rumahnya, Jumat (12/2/2021) di Bandar Lampung. Pembuatan "keyboard" aksara Lampung itu sebagai salah satu inovasi dan upaya pelestarian aksara daerah.
Tantangan
Adapun tantangan terbesar saat ini adalah mengarusutamakan penggunaan aksara Nusantara. Namun, menurut Heru, belum semua pemerintah daerah paham keberadaan dan penggunaan aksara Nusantara. Hal ini memengaruhi pelestarian aksara.
Kendala lain pelestarian aksara Nusantara adalah tidak banyak orang yang masih bisa berbahasa dan membaca aksara Nusantara. Heru mencontohkan, aksara Sasak kini sudah tidak lagi digunakan sehingga sulit didokumentasikan.
Aksara Pallawa juga sulit didigitalisasi karena datanya tidak lengkap. Padahal, aksara Pallawa tercatat sebagai aksara tertua di Nusantara sejauh ini. Aksara Pallawa ditemukan di tujuh yupa (tiang batu penambat tali kekang sapi) pada masa kekuasaan Mulawarman, Raja Kutai di Kalimantan Timur. Aksara itu membentuk kalimat dalam Bahasa Sansekerta. Peneliti memperkirakan yupa itu berasal dari abad ke-4.
“Menurut data yang pernah kami himpun, varian aksara di Indonesia mencapai ratusan, tapi yang bisa didigitalisasi mungkin hanya sekitar 30 buah,” kata Heru. “Repositori penting untuk mencatat jejak bangsa dan bahwa leluhur pernah menciptakan aksara. Aksara leluhur Mesir, Hieroglif, sudah tercatat,” tambahnya.
KOMPAS/FERGANATA INDRA RIATMOKO
-- ilustrasi koming-- Seorang murid mempelajari materi pelajaran tentang aksara Jawa di Salatiga, Jawa Tengah, Jumat (24/2/2020) malam.
Tidak digunakan lagi
Mengutip laman indonesia.go.id, aksara Nusantara berkembang pesat sejak abad ke-15. Penggunaannya menurun di abad ke-20. Aksara Nusantara kemudian hanya digunakan pada konteks yang terbatas.
Menurut pembina Yayasan Aksara Lontaraq Nusantara (YALN) Nurhayati Rahman, aksara Lontaraq dipelajari dan digunakan hingga tahun 1950-an. Ini tampak dari sejumlah literatur yang menggunakan aksara tersebut. Penggunaan aksara Lontaraq menurun sejak pemerintahan Orde Baru. Penyeragaman interpretasi Pancasila pada penataran Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4) dinilai tidak memberi tempat untuk kearifan lokal.
“Akibatnya ada generasi yang terputus. Di masa reformasi, kebanyakan generasi yang menguasai aksara sudah meninggal. Generasi ini mau disambung lagi, namun butuh waktu dan kesabaran, terlebih untuk disambung ke milenial. Jika tidak, ya, akan mati (aksara dan bahasanya),” kata Nurhayati yang juga Guru Besar Fakultas Ilmu Budaya Universitas Hasanuddin, Makassar.
KOMPAS/RIZA FATHONI
Mural dari beragam daerah dari dalam dan luar negeri terlukis di dinding jalanan di kawasan Sunter, Jakarta Utara, Minggu (2/8/2020). Mural tersebut selain menghiasi dinding juga dapat menjadi edukasi bagi warga yang melintas.
Sejumlah komunitas bahasa yang terdiri dari generasi muda di Sulawesi Selatan, menurut Nurhayati, kini menggencarkan aksara Nusantara. Mereka menjadi relawan untuk mengajarkan aksara Lontaraq ke guru-guru. Guru diharapkan mengajarkan ini ke anak didik.
Ia menambahkan, publik sedang menanti peraturan daerah agar aksara Lontaraq diajarkan di seluruh jenjang pendidikan. Adapun mengenal aksara Lontaraq penting untuk menggali naskah kuno Nusantara, antara lain sastra Bugis I La Galigo yang disimpan di Belanda.
Sementara itu, Ketua Program Studi Sastra Batak Universitas Sumatera Utara (USU) Warisman Sinaga mengatakan, semua mahasiswa Sastra Batak USU wajib menulis pengantar skripsi dalam aksara Batak. Namun, mahasiswa tidak serta-merta menggunakan aksara Batak di kehidupan sehari-hari karena medianya tidak ada (Kompas, 27/4/2021).
KOMPAS/ARSIP Wakil Ketua Pengelola Nama Domain Internet Indonesia (Pandi) Heru Nugroho
Sri Sultan Hamengku Buwono X (kanan) pada acara Selebrasi Digitalisasi Aksara Jawa di Yogyakarta, Sabtu (5/12/2020).