Guru Pendidikan Agama Kristen Memperjuangkan Kesetaraan
Ketersediaan guru agama Kristen di sekolah masih sangat terbatas. Ini membuat sejumlah sekolah menyerahkan penilaian pelajaran agama pada gereja atau institusi non-pendidikan.
Oleh
ESTER LINCE NAPITUPULU
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Guru-guru Pendidikan Agama Kristen dan Budi Pekerti yang mengajar di sekolah milik pemerintah memperjuangkan kesetaraan. Para guru umumnya berstatus guru honorer akibat minimnya pengangkatan guru pegawai negeri sipil dan kurang mendapatkan dukungan dalam pembelajaran kepada siswa akibat masih dipandang sebagai kaum minoritas.
Persoalan yang menimpa guru-guru yang mengampu Pendidikan Agama Kristen dan Budi Pekerti (PAK) di sekolah negeri ini mengemuka dalam webinar seri kedua bertajuk ”Pendidikan Agama Kristen di Sekolah Negeri di Indonesia-Merdeka Belajar?” yang digelar Forum Komunikasi Alumni Kristiani Universitas Indonesia (Forkom AKUI), Sabtu (28/8/2021).
Hadir dalam diskusi Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Kristen Kementerian Agama Thomas Pentury; Staf Ahli Bidang Hukum dan Kesatuan Bangsa Kementerian Dalam Negeri Eko Prasetyanto Purnomo; dari Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemdikbudristek) Fuad Wiyono; Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil; dan Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo.
Ketua Panitia Iman Hutabarat memaparkan, jumlah guru PAK dan Budi Pekerti di sekolah negeri di bawah Kemdikbudristek berdasarkan Data Pokok Pendidikan (Dapodik) 2020 sebanyak 24.432 guru. Padahal, jumlah sekolah milik pemerintah 208.524 sekolah. Rasionya 1 guru PAK untuk 8 atau 9 sekolah.
Seharusnya PAK dilaksanakan di lembaga pendidikan resmi pemerintah dan swasta karena pembelajaran mengikuti kurikulum.
Berdasarkan penelitian Mary M Nainggolan di kawasan Jabodetabek untuk jenjang SD, SMP, dan SMA/SMK kekurangan guru PAK sebesar 75,5 persen. Dari setiap 10 sekolah negeri yang memenuhi syarat ada guru PAK, hanya ada 2 atau 3 guru PAK. Ketidaktersediaan guru PAK ini tertinggi di level SD (75,1 persen), SMP (71,6 persen), dan SMA/SMK (40,9 persen).
”Pengadaan guru PAK itu keharusan, bukan pilihan, sebagaimana diatur UU. Pengabaian merupakan perbuatan melawan hukum. Penyediaan guru PAK di SD, SMP, dan SMA/SMK penting karena pendidikan agama untuk setiap anak krusial. Kami berharap di sekolah negeri bisa lebih sinergi, adil, dan berintegritas,” kata Iman.
Guru PAK dari sejumlah daerah mengeluhkan sulit mendapat nomor unik pendidik dan tenaga kependidikan (NUPTK). Padahal, sebagai guru honorer yang sudah mengajar lama, mereka berharap bisa diakui sehingga ada kesempatan ikut tes sebagai guru pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja (PPPK/PNS) ataupun mendapatkan bantuan subsidi upah.
Banyak guru PAK honorer ini dibayar oleh komite sekolah atau tidak dibayar. Sekolah enggan membayar honor dari dana bantuan operasional sekolah.
Minimnya formasi guru PAK dalam rencana pengangkatan 1 juta guru PPPK tahun 2021 juga disorot. Sejumlah guru honorer PAK di sekolah negeri mendaftar dan lolos seleksi administrasi untuk ujian. ”Namun, tidak ada formasinya. Kami bingung. Padahal, guru PAK di sekolah negeri kurang,” ujar Yuliana Hanna Jaya, guru PAK di Jawa Barat.
Para guru PAK ini juga mengkhawatirkan sikap sejumlah sekolah yang menolak kehadiran guru PAK untuk melayani pendidikan siswa Kristen/Katolik di sekolah yang jumlah siswanya sedikit. Banyak sekolah yang kemudian menyuruh siswa untuk meminta saja nilai ke gereja dan diserahkan ke sekolah. Proses belajar pendidikan agama sesuai kurikulum yang jadi hak siswa tidak terjadi.
Seorang guru di salah satu SMP negeri di Tangerang Selatan, Banten, mengatakan, dirinya yang guru Bahasa Inggris dan beragama Kristen terpaksa tiap Jumat mendampingi 20 siswa dari berbagai agama non-Muslim di sekolah. ”Saya merasa kasihan, anak-anak ini tiap Jumat dikumpulkan di satu kelas, tidak mendapatkan pelajaran agama. Sampai saat ini, sekolah tidak memberikan solusi,” kata guru tersebut.
Kewenangan pengangkatan
Persoalan tentang pengangkatan guru agama di sekolah negeri di bawah Kemdikbidristek ini ternyata belum dipahami secara jelas oleh pemerintah daerah. Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil mengatakan, untuk memenuhi guru PAK dan Budi Pekerti, pemda tidak diberi kewenangan dalam merekrut guru pendidikan agama.
”Kewenangan tidak di pemda, tetapi problem di pemda, sehingga perlu cari solusi praktis. Sambil menunggu Kementerian Agama dan Kemdikbudristek memenuhi kebutuhan guru PAK sehingga bisa adil bagi siswa di sekolah negeri agar mendapatkan pendidikan agama yang memadai, kami menjembatani dialog kepancasilaan lewat Jabar Masagi yang menggali nilai-nilai budaya lokal,” kata Ridwan.
Sementara itu, Thomas Pentury mengatakan perekrutan guru agama berstatus pegawai pemerintah yang dilakukan Kementerian Agama untuk memenuhi sekolah-sekolah di bawah Kemenag. Ada sejumlah sekolah Kristen di bawah Kemenag, selain madrasah.
”Ada ketentuan pegangkatan guru ASN hanya bisa ditempatkan untuk sekolah negeri,” kata Thomas.
Thomas menegaskan, pendidikan agama wajib disediakan pemerintah atau penyelenggara pendidikan. ”Setiap sekolah wajib menyelenggarakan pendidikan agama. Bukan di gereja atau kelompok masyarakat. Seharusnya PAK dilaksanakan di lembaga pendidikan resmi pemerintah dan swasta karena pembelajaran mengikuti kurikulum,” paparnya.
Menurut Thomas, pengangkatan guru PAK berstatus ASN di sekolah umum di bawah Kemdikbudristek menjadi tugas Kemdikbudristek. Adapun Kemenag memang untuk melakukan sertifikasi guru agama di sekolah Kemenag dan Kemdikbudristek.
“Kami menerima banyak laporan pendidikan agama Kristen di sekolah negeri yang tidak berjalan baik. Kami berjuang untuk mencari solusinya bersama Kemdikbudristek,” ujar Thomas.
Fuad Wiyono dari Kemdikbudristek mengatakan Direktorat Jenderal Guru dan Tenaga Kependidikan (GTK) Kemdikbudristek terus didorong untuk bisa merespons kebutuhan guru PAK di masing-masing daerah. “Tapi sepanjang tidak difasilitasi daerah, ya sulit juga. Dengan otonomi daerah, kebutuhan guru PAK diusulkan dari pemerintah kabupaten/kota/provinsi. Pemerintah pusat membuat regulasi kebutuhan guru PAK yang diusulkan dari pemda,” ujar Fuad.
Eko Prasetyanto Purnomo mengatakan, adanya otonomi daerah butuh kemauan baik dan politik dari pemda untuk memberikan pelayanan tanpa diskriminasi bagi masyarakat di daerah masing-masing. Secara aturan sudah jelas bahwa tiap anak di sekolah berhak mendapatkan pendidikan agama sesuai agama yang dianut, tinggal implementasinya.
”Tentang isu minoritas yang tidak mendapatkan pelayanan yang baik, memang memunculkan keluhan. Namun, itu nyata dan mengganggu eksistensi keindonesiaan. Kemendagri juga mengawasi pemda supaya patuh pada UU,” ujar Eko.
Ganjar Pranowo mengatakan, Kemdikbudristek dan Kementerian Agama harus punya keputusan yang jelas tentang pemenuhan guru agama, termasuk PAK. Harus ada kemauan politik untuk menuntaskan masalah ini.