Semua jenjang pendidikan kini mengalami kekurangan guru pendidikan agama baik dari sisi kuantitas maupun kualitas.
Oleh
Mediana
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS-Kebutuhan guru pendidikan agama Islam saat ini mencapai 175.400 orang di jenjang sekolah dasar, sekolah menengah pertama, sekolah menengah atas, dan sekolah menengah kejuruan. Akan tetapi, jumlah guru yang ada baru 104.138 orang sehingga kekurangan guru pendidikan agama Islam mencapai 72.340 orang.
Ketua Umum Dewan Pengurus Pusat Asosiasi Guru Pendidikan Agama Islam (AGPAI) Mahnan Marbawi mengatakan, kuota pendidikan profesi guru (PPG) guru pendidikan agama Islam sedikit, sekitar 1.000-5.000 orang setiap tahun. Sementara itu, jumlah individu yang sudah lulus pra tes sebanyak 32.000 orang dan yang belum lulus pra tes 60.000 orang.
Sepanjang tahun 2020 bahkan tidak ada PPG khusus guru pendidikan agama Islam. Padahal, antrean kebutuhan guru agama semakin bertambah.
Menyikapi rencana pemerintah merekrut satu juta guru berstatus pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja (PPPK), menurut Mahnan, penyediaan guru pendidikan agama Islam semestinya dimasukkan di dalamnya.
"Paling tidak, guru pendidikan agama Islam bukan pegawai negeri sipil (PNS) mendapat keadilan dan kesempatan mengikuti seleksi PPPK. Jika tidak lulus seleksi, mereka masih bisa mengajar dengan penyesuaian kebijakan dari sekolah. Hampir semua sekolah sekarang butuh guru agama," ujarnya, Jumat (25/12/2020) di Jakarta.
Kepala Bidang Kajian Guru Perhimpunan untuk Pendidikan dan Guru (P2G) Agus Setiawan saat dihubungi terpisah mengatakan, para guru agama mengajar di sekolah umum di bawah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) tetapi pembinaannya di bawah Kementerian Agama (Kemenag).
Pendidikan agama penting mengajarkan kepada anak untuk membuka diri terhadap perbedaan, memahami, dan menghargai. Idealnya, guru yang mengajar harus berlatar pendidikan dan harus disertifikasi. Kekurangan ini kami khawatirkan disalahgunakan untuk semakin menyemai radikalisme.(Agus Setiawan)
"Pendidikan agama penting mengajarkan kepada anak untuk membuka diri terhadap perbedaan, memahami, dan menghargai. Idealnya, guru yang mengajar harus berlatar pendidikan dan harus disertifikasi. Kekurangan ini kami khawatirkan disalahgunakan untuk semakin menyemai radikalisme," kata dia.
Berdasarkan survei Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta dengan tema "Pelita yang Meredup:Potret Keberagaman Guru di Indonesia (2018)" ditemukan sejumlah fenomena, misalnya 21 persen guru yang disurvei tidak setuju bahwa tetangga yang berbeda agama boleh mengadakan acara keagamaan. Lalu, 56 persen guru tidak setuju bahwa non muslim boleh mendirikan sekolah berbasis agama di sekitar mereka. Sampel survei adalah 2.237 orang guru muslim di semua jenjang.
Menurut Agus, kondisi sama terjadi di mata pelajaran pendidikan agama lainnya. Banyak guru yang tidak berlatar belakang pendidikan agama tertentu.
Sesuai data Kemenag tahun 2018, kekurangan guru pendidikan agama kristen mencapai 14.161 orang, guru agama Katolik 6.164 orang, guru agama Hindu 2.303 orang, dan guru agama Buddha 1.275 orang.
Agus menekankan, apapun latar belakang agama, pendidikan agama seharusnya mengajarkan tentang toleransi dan keberagaman. Hal itu bisa diperoleh jika gurunya kompeten, berkualitas, serta berwawasan inklusif. Untuk itu, Kemenag dan Kemendikbud perlu bersinergi membuat satu sistem yang memudahkan administrasi dan pembinaan guru pendidikan agama serta pemetaan kebutuhan jumlah dan kualitas guru pendidikan agama.
Direktur Jenderal Pendidikan Agama Islam Kemenag M Ali Ramdhani menjelaskan, untuk mengurangi kesenjangan antara kebutuhan dan ketersediaan guru agama, pemerintah melakukan pengadaan dengan skema PNS dan PPPK. "Pemetaan guru madrasah dan guru agama masih berlangsung. Kami berharap bisa segera keluar hasil. Kami juga melakukan asesmen kompetensi bulan November dan segera akan kami umumkan hasilnya," kata dia.