Pendidikan agama berperan penting dalam menumbuhkan nilai-nilai toleransi antarumat beragama. Karena itu, materi pelajaran agama hendaknya mengedepankan nilai-nilai universal agama dan budi pekerti.
Oleh
Mediana
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pendidikan agama semestinya perlu mendukung kerukunan antarumat beragama. Karena itu, nilai-nilai universal dari agama dan budi pekerti perlu dimasukkan dalam pelajaran agama yang disampaikan kepada peserta didik di sekolah.
Kepala Pusat Kurikulum dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) Maman Fathurrohman, Minggu (28/2/2021), di Jakarta, menegaskan, Kemendikbud selalu menjunjung tinggi semangat persatuan dan kesatuan antarumat beragama.
Dengan demikian, Kemendikbud menyambut baik tanggapan dan ajakan Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI) untuk mengutamakan persatuan insan beragama dengan cara pelajaran agama mesti diisi dengan substansi budi pekerti dan nilai-nilai universal dari agama.
”Kami terus mengevaluasi terkait penyusunan dan pembaruan buku teks peserta didik di satuan pendidikan. Kami juga berkoordinasi secara intensif dengan Kementerian Agama apabila memang butuh kajian ulang untuk materi pelajaran agama yang mendesak dilakukan,” kata Maman.
Sebelumnya, dalam laman resmi PGI, Jumat (26/2/2021), Ketua Umum PGI Pendeta Gomar Gultom menyayangkan masih beredarnya buku pelajaran Pendidikan Agama Islam dan Budi Pekerti bagi siswa kelas VIII SMP dan XI SMA terbitan Kemendikbud.
Kami terus mengevaluasi terkait penyusunan dan pembaruan buku teks peserta didik di satuan pendidikan.
Terbitan pertama buku ini tahun 2014. Buku ini masih jadi perbincangan masyarakat karena dinilai menyinggung agama lain. Meski demikian, dia mengimbau masyarakat tidak menanggapi hal itu secara berlebihan.
”Buku itu adalah mata pelajaran agama Islam. Isinya tentu mengenai pemahaman dan ajaran Islam, termasuk agama lain, seperti Kristen dan Injil. Tidak perlu ditanggapi. Tugas kita adalah memberikan informasi yang otentik tentang ajaran Kristen kepada murid-murid beragama Kristen, bukan menggugat isi pengajaran agama yang lain,” tuturnya.
Ia berharap, isi pelajaran agama di sekolah lebih mengutamakan pelajaran budi pekerti dan nilai-nilai universal dari agama. Pelajaran agama yang dogmatis di ruang publik hanya akan menciptakan segregasi dan permusuhan.
Selama ini, dalam penyusunan kurikulum pendidikan agama, negara semestinya cukup mengacu kepada konstitusi dan tafsir hukum. Negara tidak perlu masuk ke ranah teologi yang memiliki ragam mazhab atau denominasi.
PGI berharap, pemerintah segera menindaklanjuti isu tersebut agar pelajaran agama di sekolah tidak menjadi ganjalan serius di tengah upaya menjaga kerukunan antarumat beragama.
Menghormati
Kepala Bidang Kajian Guru Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G) Agus Setiawan saat dihubungi, Minggu, di Jakarta, mengatakan, pemahaman setiap pemeluk agama berbeda, tergantung dari sudut pandang agamanya. Hal itu harus dipahami dari pemeluk atau tokoh agama sehingga bisa menghormati ajaran agama lain.
Sebagai contoh, ajaran Kristen menyebutkan bahwa nabi yang paling dicintai adalah Isa bin Maryam, bukan Nabi Muhammad. Maka, pemeluk agama Islam tidak perlu kecewa dan marah.
”Sebagai umat beragama mesti pandai memosisikan diri. Jangan sebentar-sebentar kecewa atau marah, bahkan lapor-melaporkan masalah yang sebenarnya bisa dipahami atau dibicarakan,” ujarnya.
Menurut Agus, buku pelajaran Pendidikan Agama Islam dan Budi Pekerti bagi siswa kelas VIII SMP dan XI SMA terbitan Kemendikbud ditulis oleh pendidik beragama Islam. Sasarannya pun siswa Muslim. Reaksi yang masih muncul di masyarakat dinilai berlebihan.
Dia sepakat, apabila ada konten yang menghina atau menjelekkan agama lain, perlu diklarifikasi atau ditinjau ulang. Namun, jika ada konten mengenai ajaran agama masing-masing, benar salahnya menjadi relatif.