Kewirausahaan Berperspektif Jender Menjadi Perhatian
Perempuan dan anak terus berada dalam situasi rentan terhadap kekerasan. Bahkan, di masa pandemi Covid-19, berbagai kasus kekerasan terus menimpa perempuan dan anak.
Oleh
Sonya Hellen Sinombo
·4 menit baca
KOMPAS/SONYA HELLEN SINOMBOR
Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) I Gusti Ayu Bintang Darmawati pada Pembukaan Rarat Koordinasi Nasional PPPA, Rabu (16/6/2021), yang berlangsung secara daring dan luring di Denpasar, Bali.
DENPASAR, KOMPAS — Ketidakberdayaan perempuan secara ekonomi menjadi salah satu akar masalah terjadinya kekerasan terhadap perempuan dan anak, perdagangan orang, perkawinan anak, dan pekerja anak. Oleh karena itu, peningkatan pemberdayaan perempuan dalam kewirausahaan yang berperspektif jender menjadi penting untuk meningkatkan posisi tawar perempuan dalam keluarga.
Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) I Gusti Ayu Bintang Darmawati menyampaikan hal itu pada Pembukaan Rapat Koordinasi Nasional PPPA, Rabu (16/6/2021), yang berlangsung secara daring dan luring di Denpasar, Bali.
Pemberdayaan perempuan dalam kewirausahaan berperspektif jender merupakan satu dari lima isu prioritas yang harus diselesaikan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kementerian PPPA) dalam periode 2020-2024.
Empat isu prioritas lainnya ialah peningkatan peran ibu dan keluarga dalam pendidikan/pengasuhan anak, penurunan kekerasan terhadap perempuan dan anak, penurunan pekerja anak, dan pencegahan perkawinan anak.
Untuk mempercepat terwujudnya keempat isu tersebut, sejak tahun 2021 Kementerian PPPA bersinergi dengan Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi menginisiasi pembentukan model Desa Ramah Perempuan dan Peduli Anak (Desa RPPA).
KOMPAS/SONYA HELLEN SINOMBOR
Mendes PDTT Abdul Halim Iskandar dan Menteri PPPA I Gusti Ayu Bintang Puspayoga membacakan deklarasi Desa Ramah Perempuan dan Desa Peduli Anak, Rabu (11/11/2020).
”Hadirnya model Desa RPPA ini diharapkan menjadi contoh pembangunan berbasis pemenuhan hak perempuan dan anak secara riil dan terintegrasi di tingkat pemerintahan paling bawah, yakni desa,” kata Bintang Darmawati.
Desa menjadi perhatian karena berdasarkan data Badan Pusat Statistik tahun 2020, dari 270,20 juta penduduk di Indonesia, sekitar 43 persen tinggal di desa (74.957 desa). Dari jumlah tersebut, sekitar 49,5 persen kaum perempuan dan 30,1 persen adalah usia anak.
Hadirnya model Desa RPPA diharapkan jadi contoh pembangunan berbasis pemenuhan hak perempuan dan anak secara riil dan terintegrasi di tingkat pemerintahan paling bawah, yakni desa.
”Jumlah perempuan dan anak yang besar ini menjadi penentu keberhasilan pembangunan mengingat posisinya sebagai pelaku sekaligus penerima manfaat hasil-hasil pembangunan,” kata Bintang Darmawati.
Karena memiliki potensi dan peran besar dalam pembangunan desa, perempuan dan anak perlu dilibatkan dalam proses pembangunan desa, serta memberikan kesempatan keterwakilan perempuan di struktur desa dan di Badan Permusyawaratan Desa.
”Kesetaraan jender, pemberdayaan, dan perlindungan perempuan menjadi faktor penting untuk memastikan keterlibatan peran perempuan serta manfaat pembangunan yang setara,” ujar Bintang.
Selain itu, pemenuhan hak dan perlindungan khusus anak juga sangat penting untuk memastikan anak dapat tumbuh dan berkembang secara optimal, serta terlindungi dari berbagai tindak kekerasan, diskriminasi, dan eksploitasi.
KOMPAS/SONYA HELLEN SINOMBOR
Paparan pada deputi dan staf ahli Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) pada Pembukaan Rarat Koordinasi Nasional PPPA, Rabu (16/6/2021), yang berlangsung secara daring dan luring di Denpasar, Bali.
Alokasi anggaran
Pada rakornas tersebut, Menteri PPPA juga menyampaikan, mulai tahun 2021 pemerintah mengalokasikan dana alokasi khusus nonfisik perlindungan perempuan dan anak (DAK NF PPA) Rp 101,7 miliar bagi 34 Provinsi dan 216 kabupaten/kota.
Dana tersebut untuk membantu pelaksanaan kewenangan daerah dalam mencapai prioritas pembangunan nasional, yaitu menurunkan kekerasan terhadap perempuan dan anak serta meningkatkan layanan bagi perempuan dan anak korban kekerasan.
”Saya berharap DAK NF PPA dimanfaatkan optimal dan efektif di daerah untuk memberikan pelayanan lebih baik bagi perempuan dan anak korban kekerasan, dan tindak pidana perdagangan orang. Bukan untuk kepentingan lain,” ujar Bintang Darmawati.
Terkait tugas dan fungsi baru Kementerian PPPA, yakni penyediaan layanan rujukan akhir bagi perempuan korban kekerasan dan penyediaan layanan bagi anak yang memerlukan perlindungan khusus, Bintang Darmawati meminta agar sejumlah aksi konkret dilakukan.
Selain prioritaskan aksi pencegahan kekerasan terhadap anak yang melibatkan semua pihak, sistem pelaporan dan layanan pengaduan kekerasan terhadap anak pun perlu dibenahi. ”Korban, keluarga, dan masyarakat harus tahu ke mana harus melapor. Akses mudah, dan mendapat respons cepat,” katanya.
Pada rakornas tersebut, Sekretaris Menteri PPPA Pribudiarta memaparkan kondisi perempuan dan anak hingga tahun 2020. Di bidang kesehatan, derajat kesehatan perempuan lebih tinggi dibandingkan dengan laki-laki. Begitu juga dengan pendidikan. Namun, di bidang ekonomi, terjadi ketimpangan signifikan pada perempuan dibandingkan dengan laki-laki.
”Pada tahun 2020, pengeluaran per kapita perempuan hanya Rp. 9.004.000 per orang per tahun dari pengeluaran per kapita laki-laki yang telah mencapai Rp 15.463.000 per orang per tahun,” kata Pribudiarta.
Sementara upaya perlindungan anak juga membutuhkan perhatian serius dan kerja keras dari semua pihak, baik pemerintah maupun masyarakat, guna mencapai hasil optimal. Sebab, indeks perlindungan anak (IPA) Indonesia tahun 2020 meningkat 0,6 poin dibandingkan tahun 2019, tetapi capaian itu jauh dari target.
Direktur Keluarga, Perempuan, Anak, Pemuda, dan Olahraga Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencananan Pembangunan Nasional (Kementerian PPN/Bappenas) Woro Srihastuti Sulistyaningrum memaparkan, selain sinergi dan koordinasi, penguatan data dasar sebagai baseline penyusunan perencanaan dan penganggaran yang berbasis bukti juga sangat penting.
Selain itu, untuk memastikan korban mendapat layanan komprehensif, perlu dibangun sistem data kekerasan berbasis manajemen kasus secara terpadu, termasuk input data kekerasan tepat waktu.