Mereka Melawan Kejahatan Daring dengan Berbagai Cara
Pandemi Covid-19 membuat akses masyarakat untuk berkomunikasi melalui media sosial semakin terbuka. Namun, ancaman kekerasan berbasis jender daring membayangi sejumlah perempuan, termasuk anak-anak.
Oleh
MEDIANA/SONYA HELLEN SINOMBOR
·5 menit baca
KOMPAS/PRIYOMBODO
Peserta aksi membentangkan poster protes dalam aksi damai memperingati Hari Perempuan Sedunia (International Women’s Day) 2020 bersama Aliansi Gerakan Perempuan Antikekerasan (Gerak Perempuan) di Jalan MH. Thamrin, Jakarta Pusat, Minggu (8/3/2020).
Kekerasan berbasis jender daring bisa menimpa siapa saja dan bisa menjadi ”teror baru” yang menakutkan bagi para perempuan yang menjadi korban. Mayoritas korban tidak berani bersuara, apalagi melaporkan kasus yang menimpanya. Namun, sejumlah korban dan komunitas-komunitas anak muda memilih melawan dan berkampanye ke publik agar kejahatan daring bisa dicegah.
Aktris Prilly Latuconsina, misalnya. Beberapa tahun yang lalu, saat masih berusia sekitar 19 tahun, Prilly pernah menjumpai salah satu follower media sosialnya selalu mengomentari setiap unggahannya dengan kalimat-kalimat yang menyerang wilayah pribadinya, seperti ”Prilly tidak perawan” dan ”Prilly itu suka berganti-ganti pacar”.
Bahkan, saat dia mengunggah aktivitas latihan pole dance dan akhirnya menerima banyak komentar yang menyebut dirinya sebagai perempuan tidak benar. Tak hanya sebatas kata-kata di media sosial, Prilly juga pernah mendapati foto dirinya dimanipulasi menjadi bugil oleh seorang tak dikenal, lalu disebarluaskan di ruang virtual.
Pengalaman seperti itu tentu saja sempat membuatnya stres karena menganggu kondisi psikologisnya. ”Kejadian seperti itu, meski obyeknya adalah tubuh, sejatinya menyerang mental. Saya membangun kesadaran bahwa nilai perempuan berharga, bukan hanya pada tubuh, itu membutuhkan waktu. Saya pun berani berbicara karena saya ingin semakin banyak orang peduli isu ini,” papar Prilly dalam sesi webinar ”#Freetobeonline: Girls Support Girls”, Sabtu (12/12/2020), di Jakarta,
Atas berbagai kejadian tersebut, Prilly pun selalu mengingatkan kepada para penggemar dan follower media sosialnya agar jangan sampai mengumbar sesuatu yang personal dan privat di ruang virtual. Mawas diri itu penting. Itu kata kunci yang dibagikan Prilly. Kalaupun sampai mengalami kekerasan daring, dia mendorong para korban agar mereka berani melapor dan berbicara.
Kampanye komunitas
Kesadaran untuk melawan praktik-praktik kekerasan berbasis jender daring juga dilakukan sejumlah komunitas melalui media sosial. Seperti Podcast Baper ClubHouse yang dikelola oleh organisasi komunitas Reprodukasi yang memang bergelut di pendidikan seksual dan reproduksi. Komunitas ini berdiri pada Juli 2020 yang sejak awal semangatnya mengatasi kesenjangan akses pendidikan seksual dan reproduksi.
Contohnya dengan mengunggah pernyataan melalui podcast seperti: ”Apa, sih, yang elo cari dengan berkirim pesan langsung (direct message) berupa gambar ’dicks’? Pujian? Elo mau gue memuji bentuk dan ukurannnya? Elo aja enggak kenal gue. Motifnya apa coba dan sumpah ga ngerti banget dengan perilaku seperti itu.”
Cuplikan dari podcast milik Baper ClubHouse episode ”Nudes Gue Disebar Mantan Gue” diputar di Spotify pada 27 November 2020. Episode itu diawali dengan dialog mengenai pentingnya konsensus seksual, yang belum banyak dipahami remaja ataupun orang dewasa.
Apalagi, jika konsep konsensus seksual dikaitkan dengan ruang virtual beserta kasus-kasus berbasis jender daring atau sering disebut juga kekerasan berbasis gender daring (KBGO). Semuanya dikemas dengan bahasa campuran antara bahasa Indonesia dan bahasa Inggris.
Dialog tersebut juga menjadi pintu masuk untuk mengedukasi publik, terutama perempuan-perempuan korban kekerasan daring. Jennifer dan Indigo Keyla (Public Relations of Reprodukasi), dalam dialog konsensus digital di Instagram Live dengan Communication Specialist Yayasan Plan International Indonesia Hanna Vanya, pada 7 Desember 2020 lalu juga bercerita seputar kekerasan berbasis jender daring.
Jeniffer membagikan cerita teman sekolahnya (perempuan) yang pernah berfoto tak senonoh dan dikirim ke pacarnya secara daring. Padahal, sebelumnya dia sudah mengingatkan risikonya meskipun temannya percaya pacarnya orang baik. Ternyata, belakangan foto itu disebarluarkan pacarnya ketika mereka putus.
Siapa pun harus belajar berkata tidak ketika sudah merasa terancam mengalami KBGO. Kita sendiri yang harus bisa membatasi diri sebab pengabaian digital content berdampak ke psikologi sampai kriminalitas.
”Siapa pun harus belajar berkata tidak ketika sudah merasa terancam mengalami KBGO. Kita sendiri yang harus bisa membatasi diri sebab pengabaian digital content berdampak ke psikologi sampai kriminalitas,” ujar Indigo dalam dialog konsensus digital di Instagram Live dengan Communication Specialist Yayasan Plan International Indonesia Hanna Vanya, pada waktu terpisah, yaitu 7 Desember 2020.
KOMPAS/SONYA HELLEN SINOMBOR
Selain kelompok pendukung, kelompok yang menolak RUU Penghapusan Kekerasan Seksual juga menggelar aksi di depan gerbang Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (17/9/2019).
Kampanye mengedukasi publik agar tidak terjerat kekerasan berbasis daring juga dilakukan Gerakan Indonesia Anti Perudungan ”Sudah Dong” melalui ruang virtual, seperti media sosial. Salah satu sukarelawan ”Sudah Dong” Fabelyn Baby, Sabtu (12/12/2020), di Jakarta, menceritakan, salah satu rekan sukarelawan saat masih SMP pernah masuk di grup media sosial tertentu dan dirudung habis-habisan sehingga stres dan sampai menyakiti dirinya sendiri.
”Kami menerima banyak pesan langsung tentang curahan hati pengalaman KBGO, seperti perudungan seksual, komentar pelecehan seksual di unggahan media sosial, dan aplikasi percakapan. Kebanyakan pelajar dan kasus yang mereka alami berkali-kali. Dampak nyata adalah korban menjadi susah mengekspresikan diri,” kata Fabelyn.
Di beberapa unggahan akun resminya, Sudah Dong menyertakan edukasi pencegahan dan penanganan dampak kekerasan. Misalnya, unggahan ”Bangkit dari Cyberbullying memang bukan hal mudah, tetapi bukan berarti kamu tak bisa melakukannya.” Unggahan terdiri atas sejumlah saran, antara lain kenali dirimu sendiri, cintai dirimu sendiri, dan tingkatkan kepercayaan dirimu.
Gerakan melawan kekerasan berbasis jender daring juga dilakukan para remaja di Nusa Tenggara Timur yang tergabung dalam Youth Coalition for Girls Kupang. Mereka mengampanyekan anti-KBGO dan menggelar kompetisi membuat kampanye antikekerasan jender dan seksual yang diperuntukkan bagi remaja perempuan. Konten wajib diunggah di media sosial.
Bahkan, tahun 2019, mereka melakukan survei kecil-kecilan untuk mengetahui jenis kekerasan berbasis jender daring. Hasilnya, mereka menemukan kasus kekerasan yang banyak dialami anak perempuan adalah tindakan stalking (pacar memaksa mengetahui password akun media sosial dan yang bersangkutan harus terus melaporkan keadaannya). Selain itu, sejumlah anak perempuan juga mengalami kekerasan fisik dari pacarnya.
”Yakinkan diri sendiri bahwa kamu spesial dan layak dicintai dan dihargai oleh siapa pun. Beranikan diri untuk bisa melawan dan menolak karena tidak ada yang berhak menyentuh tubuhmu tanpa izin darimu,” kata Renya Reka dari Youth Coalition for Girls Kota Kupang dalam satu seminar beberapa waktu lalu.