Rencana pemerintah mempermudah pengangkatan guru honorer menjadi ASN melalui mekanisme pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja atau PPPK bak angin segar. Mimpi kesejahteraan terasa kian dekat.
Oleh
INSAN ALFAJRI
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sejumlah guru honorer sangat senang mendengar rencana pemerintah mempermudah pengangkatan mereka menjadi aparatur sipil negara melalui mekanisme pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja atau PPPK. Peran mereka sebagai ujung tombak sistem pendidikan mulai dihargai dengan pengangkatan ini.
Teman Setia Nduru (35), guru honorer di salah satu SMK di Nias Selatan, Sumatera Utara, bekerja di dua bidang. Dia mengajar di depan kelas dari pagi hingga siang. Menjelang sore, dia menjadi petani kapulaga (Cardamom). Aktivitas itu dia jalani sejak 2009. ”Berkebun itu untuk tambah pemasukan supaya cukup untuk membiayai keluarga,” ujarnya, Selasa (17/11/2020), saat dihubungi dari Jakarta.
Sebagai guru honorer, dia mengajar 24 jam per minggu. Beban kerja ini setara dengan guru pegawai negeri sipil (PNS) dengan tunjangan sertifikasi profesi.
Selama setahun terakhir, Setia menerima upah Rp 2 juta per bulan setelah pemerintah daerah menambah insentif kepada guru honorer. ”Sebelumnya, aduh. Paling banyak Rp 600.000 sebulan,” ujar ayah empat anak ini.
Berangkat dari minimnya pendapatan itu, Setia berharap rencana pemerintah untuk mempermudah pengangkatan guru honorer menjadi ASN dengan mekanisme PPPK pada tahun 2021 tak sebatas wacana. Jika lulus sebagai ASN PPPK, pendapatannya per bulan akan setara dengan guru PNS.
Saat ini, dia sudah melakukan verval ijazah. Pengalaman tujuh kali mengikuti tes calon PNS di masa lalu dirasa cukup untuk menjadi modal mengikuti tes PPPK. Akan tetapi, ada yang masih dia khawatirkan, yakni internet di tempatnya tak stabil.
”Kalau listrik mati, internet ikut mati. Sementara PPPK katanya tes online. Berarti ketika tes, saya harus berangkat ke kota (Gunungsitoli) biar tidak terkendala jaringan internet,” ujarnya.
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan akan merekrut 1 juta guru honorer menjadi ASN melalui mekanisme PPPK. Semua guru honorer bisa mengikuti seleksi tersebut tanpa ada persyaratan khusus, dengan kesempatan hingga tiga kali tes.
Kalau listrik mati, internet ikut mati. Sementara PPPK katanya tes online. Berarti ketika tes, saya harus berangkat ke kota (Gunungsitoli) biar tidak terkendala jaringan internet.
Kemendikbud juga akan memberikan bantuan dan panduan bagi guru honorer agar siap mengikuti tes seleksi yang akan diselenggarakan secara daring. Saat ini, ada 1.516.072 guru honorer, terdiri dari 847.973 guru honorer di sekolah negeri dan 668.099 guru honorer di sekolah swasta.
Mendikbud Nadiem Makarim dalam rapat kerja dengan Komisi X DPR di Kompleks Parlemen, Jakarta, kemarin, menjelaskan, pengangkatan guru honorer menjadi pegawai ASN selama ini terkendala sejumlah hal, seperti minimnya formasi dan anggaran. Dengan skema baru ini, tidak ada lagi kendala untuk mengangkat guru honorer menjadi ASN PPPK. Pemerintah pusat menjamin anggaran gaji untuk guru honorer yang lolos seleksi ini dalam APBN.
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara menjelaskan, pegawai ASN terdiri dari dua jenis: PNS dan PPPK. PNS diangkat sebagai pegawai tetap dan memiliki nomor induk pegawai secara nasional. Sementara PPPK diangkat sebagai pegawai dengan perjanjian kerja sesuai dengan kebutuhan instansi pemerintah. PNS dan PPPK sama-sama mendapat gaji dan tunjangan. Hanya saja, PPPK tidak mendapat jaminan pensiun dan jaminan hari tua.
Jalan kesejahteraan
Bagi guru honorer di Padang Pariaman, Sumatera Barat, Juli Erneti (35), menjadi ASN melalui jalur PPPK adalah jalan paling dekat menuju kesejahteraan. Sebagai lulusan Universitas Terbuka dengan indeks prestasi kumulatif (IPK) 2,4, sulit baginya untuk berkompetisi dalam tes CPNS.
Dalam tes CPNS dua tahun terakhir, dia harus mencari daerah pelosok yang bisa menerima IPK 2,40. Daerah itu adalah Rengat dan Dumai. Keduanya berada di Provinsi Riau. Jika lewat darat, butuh satu hari perjalanan dari Padang Pariaman sampai ke dua wilayah itu.
”Kalau di Sumatera Barat, sudah tak ada instansi yang memungkinkan untuk melamar dengan IPK 2,4. Belum lagi saingannya. Kampus-kampus di sini rata-rata lulusannya sarjana pendidikan yang sudah pasti lebih update soal pengetahuan terbaru,” jelasnya.
Neti sudah menjadi guru honorer sejak 2006. Dia mulai menjadi guru saat lulus SMA. Di tengah menjalani masa bakti di sekolah, dia melanjutkan kuliah di Universitas Terbuka.
Kini, dia menjadi guru kelas I SD. Di wilayahnya, guru kelas I SD mengajar murid dari nol. Dari 20 murid, hanya dua orang lulusan pendidikan anak usia dini (PAUD). Sisanya, murid sama sekali tidak tahu tentang baca tulis. ”Kami harus mulai mengajarkan mereka dari cara duduk di kelas hingga cara memegang pensil,” kata guru yang menerima upah Rp 1,05 juta per bulan ini.
Di Jakarta, guru honorer Yogo (27) juga bersiap mengikuti seleksi PPPK. Menurut dia, seleksi PPPK akan memperkecil ketimpangan antara guru honorer dan guru PNS. ”Jangankan di daerah, di Jakarta saja masih ada guru honorer, terutama guru honorer di sekolah swasta nonbonafide, yang menerima upah ratusan ribu rupiah per bulan,” ujar guru di salah satu SMK di Jakarta Selatan ini.
Menurut Yogo, di DKI ada dua jenis guru honorer, yakni guru honorer murni dan guru honorer berstatus kontrak kerja individu (KKI). Guru honorer murni dibayar per jam pelajaran. Upahnya dianggarkan dari dana bantuan operasional sekolah. Sementara guru honorer KKI dibayar oleh pemerintah daerah dengan besaran setara UMR.
”Yang guru honorer murni ini kasihan. Apalagi kalau mereka mengajar di sekolah swasta biasa yang jumlah muridnya tidak banyak. Bisa-bisa buat kebutuhan sehari-hari saja tidak cukup,” kata guru honorer KKI ini.