Guru merupakan pendidik profesional, tetapi dalam praktiknya belum diperlakukan secara profesional. Rekrutmen guru belum dilakukan secara profesional, demikian juga dalam pengelolaan guru.
Oleh
Yovita Arika
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen menyatakan bahwa guru adalah pendidik profesional. Namun selama ini guru belum diperlakukan secara profesional, mulai dari sistem perekrutannya hingga peningkatan kualifikasi dan kompetensinya.
Perekrutan guru pegawai negeri sipil/aparatur sipil negara (ASN) disamakan dengan perekrutan ASN lainnya, tanpa mempertimbangkan kualifikasi khusus sebagai guru. Meski guru adalah pendidik profesional, tetapi syarat menjadi guru tidak harus sarjana pendidikan yang telah memiliki bekal ilmu pedagogi.
“Status guru telah dinaikkan menjadi sebuah profesi, jenjang kualifikasinya (sesuai Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia) berada di level 7 (setara profesi), tetapi perekrutannya masih di level 6 (setara sarjana),” kata Feriansyah, dosen Universitas Negeri Medan yang juga pengurus Perhimpunan untuk Pendidikan dan Guru (P2G) dalam diskusi daring yang diselenggarakan P2G, Jumat (13/11/2020).
Perekrutan guru juga tidak sesuai kebutuhan sehingga dari tahun ke tahun terus terjadi kekurangan guru. Moratorium perekrutan calon PNS (CPNS) yang juga berdampak pada perekrutan guru semakin menambah defisit guru.
Koordinator P2G Satriwan Salim mengatakan, pada tahun 2019 Indonesia kekurangan sekitar 1 juta guru. Mengacu data Direktur Jenderal Guru dan Tenaga Kependidikan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, jumlah guru PNS yang akan pensiun hingga 2024 mencapai 316.535 orang.
Semua daerah rata-rata kekurangan guru. Hasil seleksi CPNS/P3K (Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja) untuk formasi guru pada 2019, yang lulus hanya 63.000 CPNS dan 21.000 P3K. Padahal kita butuhnya 1 juta.(Satriwan Salim)
“Semua daerah rata-rata kekurangan guru. Hasil seleksi CPNS/P3K (Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja) untuk formasi guru pada 2019, yang lulus hanya 63.000 CPNS dan 21.000 P3K. Padahal kita butuhnya 1 juta,” kata Satriwan.
Guru honorer
Kekurangan guru selama ini diatasi dengan merekrut guru honorer. Namun, pola perekrutan guru honorer tidak jelas, honor atau upahnya pun sangat rendah yang berdampak pada kesejahteraan guru.
“Rata-rata di bawah UMP (Upah Minimum Provinsi), mungkin hanya di DKI Jakarta yang mengacu UMP. Apa yang bisa diharapkan dengan upah yang rendah? Guru Honorer membantu kekurangan guru, tetapi belum dimanusiakan oleh negara,” ujar Satriwan.
Berdasar data Kemendikbud, jumlah guru honorer sekolah mencapai 728.461 orang atau 21,69 persen total jumlah guru yang sekitar 3,35 juta. Adapun upah atau honor guru honorer, berdasar survei Ikatan Guru Indonesia pada Juli 2020, berkisar Rp 250.000 hingga Rp 4 juta per bulan. Namun hanya 5,8 persen guru honorer yang honornya Rp 2 juta-Rp 4 juta per bulan, sebagian besar honornya Rp 250.000-Rp 500.000 per bulan.
Masalah guru honorer tidak hanya terkait upah, tetapi juga profesionalitas mereka yang seringkali belum dihargai. Guru honorer di sekolah negeri yang telah memiliki sertifikat pendidik sulit memperoleh penyetaraan golongan dan kepangkatan dengan guru PNS (impassing).
“Padahal tidak mudah bagi guru honorer mendapatkan sertifikat profesi (pendidik). Setelah mendapat sertifikat profesi, kami yang di negeri belum bisa impassing, padahal guru honorer di sekolah swasta sudah bisa impassing. Saat rekrutmen P3K pun, ternyata sertifikat profesi ini tidak dihargai,” kata Sri Hariyati, guru SMPN 1 Kademangan, Blitar, Jawa Timur, yang sudah 23 tahun menjadi guru honorer.
Sertifikat pendidik merupakan merupakan bukti formal sebagai pengakuan yang diberikan kepada guru sebagai tenaga profesional. Untuk mendapatkan sertifikat pendidik, saat ini guru harus mengikuti Pendidikan Profesi Guru (PPG) dalam Jabatan untuk guru yang sudah mengajar dan PPG Prajabatan bagi mereka yang ingin menjadi guru.
Namun setelah guru mengikuti PPG dan mendapatkan sertifikat pendidik, kata Feriansyah, seringkali tidak ada tindak lanjutnya. “Peningkatan profesi guru sangat lemah sehingga banyak guru tertinggal secara kompetensi karena tidak dikelola,” kata dia.
Satriwan mengatakan, harus ada pembenahan secara menyeluruh untuk mendukung guru sebagai pendidik profesional. Perekrutan guru seharusnya dilakukan secara khusus, tidak disamakan dengan perekrutan CPNS, dan sesuai kebutuhan. Peningkatan kompetensi guru harus dilakukan secara sistematis dan terstruktur, dan sesuai permasalahan yang dihadapi guru.