Layanan Terpadu bagi Pemulihan Korban Masih Terbatas
Kekerasan terhadap perempuan hingga kini masih menjadi fenomena gunung es. Bahkan di masa pandemi Covid-19 pun, kekerasan tetap terjadi. Maka, keberadaan lembaga layanan, termasuk rumah aman menjadi harapan para korban.
Oleh
Sonya Hellen Sinombor
·4 menit baca
Kendati kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan terus meningkat dari waktu ke waktu dengan berbagai modus, hingga kini layanan terpadu terutama pemulihan bagi perempuan korban kekerasan masih belum jauh dari harapan. Sampai saat ini belum ada konsep layanan terpadu belum secara utuh yang diintegrasikan ke dalam kebijakan daerah tentang layanan bagi perempuan korban kekerasan.
Selain belum semua daerah memiliki kebijakan tentang konsep layanan terpadu, di tingkat operasional layanan pun masih sangat terbatas. Perhatian terhadap korban kekerasan masih sebatas kebijakan, dan belum diikuti dengan pembentukan kelembagaan, layanan, dan kerjasama. Pelaksanaan hal-hal penting terkait konsep layanan terpadu di dalam kebijakan daerah seperti perlindungan, akses pada hukum berkeadilan, pemulihan, dan pencegahan juga masih minim. Bahkan belum ada inovasi untuk memperkuat peran serta masyarakat sipil, khususnya kelompok perempuan
Hal ini terungkap dalam Laporan Komisi Nasional Antikekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) tentang Kajian Kebijakan tentang Layanan Bagi Perempuan Korban Kekerasan dalam Kerangka Pemenuhan Tanggung Jawab Negara pada Hak Asasi Manusia, yang diluncurkan, Jumat (6/11/2020), secara daring.
”Harus dikatakan ada kelalaian serius dalam memberikan perhatian pada kerentanan-kerentanan khusus akibat diskriminasi berlapis guna memastikan layanan dapat diakses dengan mudah oleh perempuan korban kekerasan,” ujar Retty Ratnawati, Komisioner Komnas Perempuan, saat memaparkan kajian tersebut.
Peluncuran kajian yang dibuka Ketua Komnas Perempuan Andi Yentriyani, juga menghadirkan pembicara Vennetia R Danes, Deputi Bidang Perlindungan Hak Perempuan, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA), Zanariah (Direktur Sinkronisasi Urusan Pemerintahan Daerah IV Kementerian Dalam Negeri), Sri Dewi Indrajati (Kabid Kualitas Hidup dan Perlindungan Perempuan, Dinas Perempuan dan Anak Provinsi Jawa Tengah), dan Suharti (Dewan Pengarah Nasional Forum Pengada Layanan bagi Perempuan Korban Kekerasan/FPL).
Dalam kajian tersebut, Komnas Perempuan menemukan kebijakan terkait layanan untuk perempuan korban kekerasan tidak disertai langkah-langkah konkret. Misalnya, layanan rumah aman. Dari 285 kebijakan yang diterbitkan di daerah, hanya ada 96 kajian yang mengatur penyediaan rumah aman bagi perempuan korban. Itupun yang paling rumah aman hanya di Pulau Jawa.
Begitu juga dengan layanan medikolegal termasuk visum, lebih banyak ada di Jawa. Itu pun baru ada enam daerah yang secara khusus mengeluarkan kebijakan tentang pembebasan biaya visum/medikolegal bagi perempuan korban, antara lain Kabupaten Bima dan Kabupaten Lombok (Nusa Tenggara Barat), dan DKI Jakarta. “Sementara di 88 kebijakan lainnya, terkait biaya visum/medikolegal tidak dijelaskan secara spesifik tentang siapa yang akan menanggung biaya yang dikeluarkan untuk visum,” ujar Retty.
Dari kajian tersebut, Komnas Perempuan menyampaikan rekomendasi kepada kementerian/lembaga terkait, termasuk pemerintah daerah (pemda). KemenPPPA misalnya, diharapkan menguatkan kebijakan di tingkat kementerian pada pelaksanaan layanan terpadu, mengembangkan program-program pengembangan kapasitas, dan mengembangkan sistem monitoring kebijakan, serta memperluas layanan terpadu.
Adapun Kemendagri diminta untuk mendorong pemda untuk mengkaji ulang, memperkuat dan memproduksi kebijakan daerah, melakukan koordinasi berkala dengan kementerian terkait untuk memastikan substansi kebijakan layanan betul-betul mencerminkan konsep layanan terpadu.
Banyak tantangan
Kajian Komnas Perempuan selaras dengan laporan dari FPL yang melihat masih banyak tantangan dari sisi kualitas layanan mulai dari keterpaduan, perspektif, dan anggaran. Kajian FPL tahun 2017 menemukan, kapasitas kelembagaan (perspektif dan keterampilan sumber daya manusia) yang masih lemah, ketidakpuasan korban, mekanisme monitoring lemah, anggaran Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A sangat terbatas), serta partisipasi masyarakat lemah.
”Ada kesenjangan antara prevalensi kasus kekerasan terhadap perempuan dengan korban mengakses layanan. Hingga kini, para perempuan korban tidak mendapatkan layanan pendampingan yang memadai dan akses keadilan,” ujar Suharti.
Catatan FPL, 85 persen korban tidak pernah meminta bantuan dari lembaga formal atau petugas berwenang. Dari data Rifka Annisa tahun 2016, hanya 7 persen perempuan korban kekerasan di Papua yang meminta bantuan polisi. Di Sleman, 52,3 persen korban tidak memberitahukan ke siapapun. Bahkan, hanya 2,6 persen yang meminta bantuan polisi, dan 2,6 persen yang meminta bantuan konselor.
Dari sisi proses hukum, ada sejumlah tantangan yang dihadapi seperti keharusan menghadirkan saksi yang melihat kejadian, pembebanan pembuktian pada korban, perbedaan pendapat aparat penegak hukum dalam memaknai bukti, hak atas informasi tidak diberikan, dan tidak tersedia penerjemah bagi disabilitas. Selain itu, masih terjadi kriminalisasi dan tidak tersedia perlindungan bagi korban, tidak ada jaminan dari ancaman kehilangan pekerjaan, tidak ada mekanisme pemulihan bagi lansut usia, serta tidak ada layanan pemulihan.
Menanggapi kajian tersebut, Vennetia Danes dan Zanariah menyampaikan apresiasi kepada Komnas Perempuan dan akan berusaha melaksanakan apa yang menjadi rekomendasi dari kajian tersebut. ”Kami sangat beruntung karena kami sudah diberikan kajian, sebetulnya tinggal menindaklanjuti rekomendasi apa yang menjadi kekurangan kami, terutama penanganan kekerasaan terhadap perempuan sehingga negara hadir bisa bagi para korban. Karena kondisi kekerasan ini sudah sangat menakutkan,” papar Vennetia.
Hal senada juga disampaikan Zanariah, yang menyatakan kajian tersebut akan menjadi referensi bagi Kemendagri untuk mengambil kebijakan.