Imlek dan Kenangan Belajar Seni di China
Meski Chen sudah meminta kami untuk tenang, tetap saja deg-degan. Kalau boleh memilih, mending meliput konflik, bencana alam, atau meliput Kongres Partai Komunis China, ketimbang harus belajar melukis karakter China.
Datangnya Tahun Baru China atau Imlek, mengingatkan saya akan pengalaman enam bulan di China. Banyak hal saya alami dan pelajari, di antaranya seni dan budaya China.
"Pelan-pelan saja dan lemaskan jari-jarinya. Tak perlu buru-buru. Tenang dan sabar saja”. Begitu kata Chen Chen, guru seni kaligrafi dan seni seduh teh dari Beijing Language and Cultural Center for Diplomatic Missions (LCC). Kalimat itu ia tujukan kepada 32 wartawan asing dari Asia, Pasifik, dan Afrika yang mengikuti program pelatihan dari China Asia-Pacific Press Center (CAPPC), awal Juli 2022.
Pelatihan melukis dan menuliskan karakter China ini merupakan bagian dari program pelatihan untuk wartawan. Selain melukis, kami juga mendapat pelajaran membuat atau mengukir segel stempel berkarakter China dari batu.
Ada juga pelajaran senam taichi dan seni beladiri yang tak berhasil kami kuasai karena hanya diberikan satu kali. Rupanya, hanya perkenalan saja. Seterusnya kami disuruh belajar sendiri.
Sesuai saran Chen yang juga lulusan Departemen Jepang di Beijing Foreign Studies University itu, kami mulai menggoreskan kuas pelan-pelan ke atas kertas beras, kertas khusus untuk melukis.
Bahan bulu kuasnya juga ternyata berbeda-beda sesuai peruntukan tebal atau tipis. Ada bulu kuas yang terbuat dari bulu musang yang lebih keras dan elastis, ada pula yang dari bulu kambing yang lebih lembut. Sementara batang kuasnya terbuat dari bambu. Untuk tintanya, didapat dari tinta yang berbentuk batangan kecil-kecil.
Dahulu, cara pakainya adalah dengan mencampur batang tinta dengan air lalu digosok-gosokkan ke batu tempat tinta. Batu tinta terbaik yang digunakan sebagai tempat untuk mencampur tinta dan air, jelas Chen, adalah batu tinta sutra merah dari Qingzhou, Provinsi Shandong, batu tinta Duan dari Zhaoqing, Provinsi Guangdong, batu tinta She dari Shezhou, Provinsi Anhui, dan batu tinta Taohe dari Zhuoni, Provinsi Gansu.
Baca juga: Uniknya Seni Ukir Kayu Berusia 1000 Tahun
Proses "membuat" tinta ini butuh waktu lama dan repot. Zaman sekarang sudah lebih gampang karena sudah ada tinta berbentuk cair. Tinggal mencelup kuas lalu lukis. Begitu teorinya. Terkesan mudah tetapi tidak demikian aslinya.
Meski Chen sudah meminta kami untuk tenang, tetap saja deg-degan. Apalagi buat saya yang relatif kurang berbakat pada segala urusan seni lukis. Gerakan jari masih kaku karena bergerak ragu. Takut keliru dan meleset tak sesuai harapan.
Mustinya menulis karakter keberuntungan tetapi kalau keliru, bisa-bisa jadi berubah arti dan celakanya bisa dianggap menghina budaya rakyat China.
Sebelum mulai melukis kaligrafi, Chen memperkenalkan semua peralatan yang digunakan. Mulai dari kuas atau alat tulis tradisional China, kertas beras, dan batu tinta. Setelah itu, ia mengajari cara memegang kuasnya. “Pegang kuas saja kok harus diajari,” begitu pikir saya. Ternyata memang susah.
“Gunakan ibu jari, jari telunjuk, dan jari tengah untuk memegang kuas. Harus tegak lurus memegang kuasnya dan jangan terlalu kencang. Lemas tapi tegas,” kata Chen.
Perintah Chen itu saja sudah membuat saya bingung. Lemas tapi tegas. Memegang kuas tegak lurus juga agak sulit untuk tidak menjadi kaku. Setelah diajari cara memegang kuas, barulah kita mulai belajar menulis satu karakter China.
Hari itu kami belajar menulis karakter “Fu”. Biasanya papan bertuliskan karakter itu digantung di pintu depan rumah. Karakter “fu” (福) adalah karakter yang sangat populer di masyarakat China karena memiliki arti kebahagiaan dan keberuntungan.
Baca juga: Ilmu Pengetahuan dalam Seni Botani
Chen mengajari setiap tahapan goresan dan kami tinggal mencontek. Sudah mencontek saja hasilnya masih jauh berbeda. Kalau boleh memilih, mending saya meliput konflik, bencana alam, atau meliput Kongres Partai Komunis China selama seminggu dengan karantina ketat demi bertemu Presiden China Xi Jinping saja, ketimbang harus melukis karakter China.
Setelah dua jam, akhirnya selesai juga. Sebenarnya tidak sekali jadi karena sempat harus ganti kertas yang sobek gara-gara terlalu banyak tintanya terlalu cair dan kebanyakan. Kertas beras itu macam-macam juga ternyata.
Ada kertas beras yang tidak diolah, diolah, dan yang setengah jadi. Kertas beras yang tidak diolah membuat tetesan tinta menyebar lebih cepat di atas kertas sehingga cocok untuk menggambar pemandangan, bunga, dan burung dalam lukisan tradisional China. Sedangkan pada kertas yang sudah diolah, tetesan tinta tidak cepat terserap sehingga ideal untuk menulis karakter halus.
Biasanya untuk kaligrafi, dipakai keras beras setengah jadi. Setelah selesai melukis di kertas beras, kami harus melukis lagi di papan segiempat berwarna merah dengan rumbai-rumbai. “Nanti bisa kalian gantung di rumah masing-masing,” kata Chen.
Baca juga: Berjuang Mencapai Daratan Usai Kapal Kandas di Selat Berhala
Lukisan
Setelah selama dua pekan liputan di lapangan dan belajar di kelas dengan tema yang serius-serius, tiba giliran melukis lagi. Kali ini, gurunya adalah pelukis terkenal di China, Yu Danquing. Karya lukisan tradisional China bertema tanaman, hewan, dan pemandangan yang ia buat mendapat berbagai penghargaan di dunia, antara lain dari Belgia, Perancis, dan Jepang.
Sama seperti Chen, Yu juga mengajarkan pengetahuan mendasar tentang kuas, tinta, dan kertas. Hanya saja beda di obyek tulisan. Kali ini kami juga diajari melukis cabang, ranting, dan bunga pohon prem serta panda, salah satu binatang kebanggaan China.
Untuk melukis tanaman atau pohon, rasanya tidak akan terlalu sulit lah karena toh sudah terbiasa melukis pemandangan sejak SD. Gambarnya, apalagi kalau bukan dua gunung dengan hamparan sawah mengapit jalan raya. Begitu pikir saya. Ternyata saya salah mengira. “Biasanya orang butuh waktu paling cepat setahun untuk bisa mahir melukis tradisional. Banyak teknik yang harus dipelajari,” kata Yu.
Baca juga: "Ngobrol" dengan Malaikat di Pulau Siberut
Latihan dasar dimulai dari melukis obyek yang mudah karena yang terpenting, kata Yu, adalah cara melukisnya. Cara menggunakan setiap bagian kuas dengan benar, mulai dari ujung bulu hingga keseluruhan kuas, sampai pada bagaimana cara menekan kuas lalu memutar dan menggeser kuas dengan luwes sehingga goresannya indah.
Budaya melukis tradisional seperti yang kami pelajari ini rupanya masih menjadi pelajaran wajib di sekolah-sekolah di China. “Banyak anak usia 6 atau 7 tahun ikut kelas seni di sekolah. Siswa yang dianggap bagus cara melukisnya, akan dimasukkan ke sanggar melukis atau ikut kompetisi. Banyak sekolah seni di sini, mulai dari tingkat SMA sampai akademi,” kata Yu.
Baca juga: Memasuki Lorong Waktu Hutong
Untuk mencapai kemahiran dalam seni ini diperlukan latihan yang tekun, penguasaan kuas yang baik, perasaan, dan pengetahuan tentang kualitas kertas beras dan tintanya. Ketika melukis, terutama tanaman dan binatang, tangan musti luwes membuat goresan secara bervariasi, mulai dari gelap ke terang, dari padat ke kosong.
Untuk bisa sempurna melukis ranting pohon, dedaunan dan bunga prem, serta panda, rasanya tidak cukup waktu 2 jam yang diberikan pada kami. Hasil lukisan teman-teman pun bermacam-macam. Ada yang melukis ranting dan bunga prem seperti kekurangan air atau kurang pupuk dan ada pula yang seperti hendak masuk musim gugur saking jarang daunnya.
Untuk pandanya juga lucu-lucu. Ada panda yang terlihat seperti sakit perut, sakit mata, cacat di bagian tangan dan kaki, kurang gizi, atau kelebihan berat badan.
“Bagus kok. Sudah terlihat panda,” kata Yu berusaha menghibur kami. Untung warna panda, hitam dan putih saja. Selama berhasil menggambar bulatan hitam di sekitar matanya, orang pasti tahu kalau itu panda.
Baca juga: Getar Kehidupan dari Balik Reruntuhan
Setelah selesai melukis di kertas beras, kami masih harus melukis pohon dan bunga prem lagi di atas kipas tangan bulat. Karena bidang atau media lukisnya lebih sempit, melukisnya juga musti hati-hati.
Sesekali kami sampai harus menahan napas agar sapuan kuas dan tinta tak sampai luber keluar dari batas kipas. Begitu selesai, rasanya puas dan agak bangga sedikit melihat hasilnya tidak jelek-jelek amat.
“Nanti bisa untuk oleh-oleh keluarga di kampung halaman,” kata Yu. Betul juga. Semoga hasil lukisan di kipas saya ini dipandang cukup layak sebagai oleh-oleh dari China.