Berjuang Mencapai Daratan Usai Kapal Kandas di Selat Berhala
Kapal tiba-tiba kandas di tengah perjalanan mengarungi Selat Berhala. Penumpang kapal pun harus ”nyemplung” ke laut dan berjuang mencapai daratan.
Oleh
IRMA TAMBUNAN
·5 menit baca
Liputan di wilayah perairan kerap diwarnai peristiwa tak terduga. Seperti halnya yang kami alami saat berkunjung ke Pulau Berhala di perbatasan Jambi dan Kepulauan Riau, beberapa tahun silam. Liputan itu mengantar kami pada satu pengalaman tak terlupakan.
Pulau Berhala selama bertahun-tahun diperebutkan oleh dua provinsi, Jambi dan Kepulauan Riau. Baru belakangan, Mahkamah Konstitusi menetapkan pulau itu sebagai bagian dari wilayah Provinsi Kepulauan Riau.
Sebelum keputusan MK resmi keluar, jurnalis Kompas berkunjung untuk melihat kondisi pulau yang tengah dipersengketakan itu. Ternyata pulau itu sangatlah indah.
Pantainya berpasir putih dengan gugusan karang-karang besar di sekitarnya. Airnya tenang dan sangat jernih kebiruan. Di bawah dermaga, tampak ikan-ikan dengan beragam warna saling berkejaran.
Dari dermaga, kami disambut ramah oleh penduduk setempat. Hanya sekitar 60 keluarga yang menempati pulau seluas 60 hektar itu. Sebaran penduduknya terbagi dua.
Di bagian utara, pulau dihuni kelompok masyarakat dari wilayah Lingga, Kepulauan Riau. Sementara bagian selatan pulau itu dihuni masyarakat asal Tanjung Jabung Timur, Jambi.
Di bagian mana pun kami melangkah, para penghuni pulau itu menyambut antusias tamunya. Kami mengobrol panjang lebar dengan suguhan kopi dan teh. Obrolan mengalir seputar keindahan pulau serta beragam potensi di sana.
Masyarakat tampak tak terusik oleh perebutan pulau oleh dua pemerintah daerah. Mereka juga tak mempersoalkan bakal masuk wilayah mana pulau itu kelak.
Yang penting, warga dapat tetap leluasa mendapatkan sumber pencariannya dari menjala ikan. Potensi pariwisata alam dan sejarah juga potensial dikembangkan.
Kami lalu dibawa melihat sebuah makam tua. Pulau itu rupanya pernah ditinggali seorang putera Raja Turki yang kemudian bergelar Datuk Paduko Berhala. Ia menikahi seorang puteri bernama Selaras Pinang Masak. Kelak keturunan mereka menjadi raja di Jambi.
Peninggalan sejarah itulah yang menjadi pijakan pihak Jambi sebagai pemilik pulau. Sementara di pihak Kepri, fakta sejarah menyebutkan bahwa Pulau Berhala berada di bawah wewenang Sultan Lingga. Untuk dapat memenangi pulau inilah, berbagai argumentasi disodorkan masing-masing pemerintah daerah.
Setelah cukup mengumpulkan informasi, kami pun bersantai-santai sejenak di tepi pulau. Rasanya ingin berlama-lama di sana. Memanjakan kaki bermandikan butiran pasir putih nan halus.
Namun, tak ada jaringan internet di wilayah itu. Padahal, persoalan sengketa pulau itu telah ditunggu Redaksi untuk segera disiarkan. Saat itu, waktu telah menjelang pukul 17.00 WIB. Pemilik kapal juga meminta kami segera kembali. ”Jangan pulang kesorean. Air laut bakal surut,” ujarnya.
Dengan berat hati, kami pun menuruti nasehatnya. Perjalanan pulang akan memakan waktu sekitar dua jam menyeberangi Selat Berhala menuju Tanjung Jabung Timur.
Kami merasa sangat beruntung karena kondisi laut cukup tenang. Suasana terasa makin sempurna, saat langit cerah berlatar Sang Surya yang mulai terbenam di garis laut.
Ketika langit mulai gelap, lebih dari setengah perjalanan telah kami lalui. Namun, kapal mendadak terhenti. Astaga, rupanya kapal kandas!
Kapten berupaya menyelamatkan kapalnya. Namun, tak berhasil. Kapal motor berkapasiitas 20-25 orang itu tetap kandas. Rekan yang menemani perjalanan mulai mempersoalkan kondisi tersebut.
Sang kapten hanya bisa meminta maaf. Ia mengakui kurang cermat memilih jalur sehingga kapal melewati perairan yang sangat dangkal dan berakibat kandas. Hal itu terjadi di luar dugaannya.
Ia juga mengaku kesulitan mengatur arah kapal karena kondisi telah gelap. Apalagi, situasi perairan itu tidak dilengkapi bantuan rambu dan penerangan. Dengan cahaya minim, kapal kandas pun tak terelakkan.
Melihat kondisi itu, rekan yang mendampingi perjalanan menegaskan bahwa kami tak mungkin menunggu air laut naik karena bisa semalaman menunggu.
Pemilik kapal lalu menyarankan kami untuk turun ke laut dan menempuh sisa perjalanan dengan berjalan menembus lautan. Ia memastikan, sebelum kami mencapai daratan, kapal-kapal nelayan bakal segera datang untuk membantu.
Demi memastikan keselamatan penumpangnya, sang kapten dan anak buah kapal turut mengawal. Kami yang berjumlah lima orang dibekali jaket pelampung. Mereka juga membawakan sebagian barang bawaan kami.
Menurut kapten, jarak dari kapal kandas hingga dermaga berkisar 3-4 mil laut atau 5,5-7,5 km. Ia berusaha meyakinkan kami bahwa terkadang terjadi kondisi demikian yang mengharuskan penumpang turun ke laut. Pada kapal-kapal yang kandas, penumpangnya akan turun untuk berjalan menembus air laut hingga ke darat.
Maka, kami pun menurut. Satu per satu kami turun ke laut. Dalamnya setinggi dada. Kami lalu beriringan menembus air laut yang tenang.
Rasa gentar dan penuh harap, campur aduk jadi satu.
Bagi kami yang tidak terbiasa dengan perjalanan macam itu, mengarungi lautan di malam hari merupakan pengalaman luar biasa. Rasa gentar dan penuh harap, campur aduk jadi satu.
Untunglah, setelah satu jam berjalan menembus air, dari kejauhan tampak perahu nelayan mulai mendekat. Mereka kemudian membawa kami ke daratan yang masih cukup jauh jaraknya. Meskipun baju basah kuyup semua, lega rasanya akhirnya kami bisa segera melanjutkan perjalanan pulang.
Meskipun kini pulau itu telah resmi sebagai wilayah administratif Kepri, penduduk asal Jambi masih tinggal di sana. Menurut mereka, tak ada yang berubah setelah pergantian status kepemilikan wilayah tersebut.
Kehidupan warga tetap berlanjut sebagaimana biasanya. ”Kami tetap menjadi nelayan. Mencari ikan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari,” ujar Ali, penghuni pulau itu.
Namun, ia berharap, pemerintah mau memberi perhatian lebih kepada masyarakat di pulau-pulau terpencil seperti Berhala. ”Jangan sampai karena namanya, pulau ini jadi diabaikan,” katanya.