Puluhan karya seni botani dipamerkan di Galeri Nasional pada 7 Juli hingga 8 Agustus 2022. Seni botani menyajikan keindahan artistik dan pengetahuan akan kekayaan biodiversitas Indonesia.
Oleh
SEKAR GANDHAWANGI
·4 menit baca
Tetumbuhan Nusantara yang warna-warni, wangi, dan beragam bentuknya diabadikan dalam gambar yang dibuat dengan hati-hati. Ruas daun, bentuk bunga, letak benang sari, hingga bulu-bulu yang menyelimuti cabang dilukis sama persis dengan aslinya, tidak kurang, tidak lebih. Gambar itu pada akhirnya tidak hanya jadi karya seni, tapi juga ilmu pengetahuan botani.
Galeri Nasional kali ini bak rumah kaca. Dindingnya dipasang 58 gambar tumbuhan asli Indonesia yang dibingkai pigura. Ada berbagai tanaman hias, pala, cengkeh, anggrek, kumis kucing, bintaro, hingga aren. Beberapa lainnya adalah tanaman yang mungkin jarang dilihat karena hanya tumbuh di daerah tertentu.
Gambar itu karya 37 seniman yang berasal dari Indonesia, Singapura, China, Kanada, Amerika Serikat, dan Jepang. Gambar-gambar dikurasi secara artistik dan ilmiah oleh kurator Galeri Nasional Sudjud Dartanto, seniman botani Jenny A Kartawinata, dan peneliti botani Destario Metusala.
Semua gambar dipajang di Gedung D, Galeri Nasional, Jakarta, pada 7 Juli hingga 8 Agustus 2022 dalam pameran seni botani Ragam Flora Indonesia (RFI). Judulnya Botanical Art: Evoking the Beauty of Science. Pameran diselenggarakan oleh Indonesian Society of Botanical Artists (Idsba), perkumpulan seniman botani pertama di Indonesia.
Ini merupakan pameran RFI ketiga yang digelar Idsba. Sebelumnya, RFI diadakan di Kebun Raya Bogor dan Yogyakarta.
Pengunjung hendaknya mendaftarkan diri terlebih dulu di laman Galeri Nasional karena pameran hanya bisa dikunjungi di sesi yang sudah ditentukan. Sesi kunjungan berlangsung selama sekitar sejam dari pukul 10.00 hingga 19.00.
Tumbuhan endemik
Salah satu seniman, Karyono Apic, menggambar anggrek endemik Kalimantan, yaitu anggrek kantong atau anggrek selop (Paphiopedilum supardii Braem and Löb). Bunga ini tumbuh di celah batu kapur pada ketinggian sekitar 600 meter hingga 1.000 meter di atas permukaan laut. Anggrek ini memiliki kantong yang uratnya terlihat jelas. Spesies tersebut masuk golongan untuk konservasi di Indonesia.
Di sisi lain ruang pameran Galeri Nasional, ada gambar bunga yang menarik perhatian. Kelopak bunganya dinamis, cenderung ”liar” dengan bentuknya yang keriting. Warnanya perpaduan merah, kuning dengan sedikit semburat hijau di bagian pangkal. Bunga itu sekilas seperti lidah api, sesuai namanya, fire lily (Gloriosa superba L). Orang Indonesia menyebutnya kembang sungsang.
Kembang sungsang ini dilukis oleh seniman Eunike Nugroho dengan media cat air dan kertas. Dalam narasinya, Eunike bercerita bahwa bunga ini tumbuh liar di Indonesia, lantas diabaikan atau dibabat.
Bunga ini bernasib lain saat hidup di Eropa hingga Australia. Kembang sungsang dijadikan tanaman hias atau bunga potong. Sementara itu, Afrika dan Asia menggunakan kembang sungsang untuk pengobatan tradisional (walau kembang ini beracun). Beberapa budaya bahkan menyertakan kembang ini sebagai bagian dari ritual keagamaan.
Selain eksotis, kembang sungsang cukup menarik karena disebut herba pemanjat abadi. Ia bisa tumbuh tegak atau memanjat ke vegetasi di sekitarnya dengan menempelkan sulurnya yang ada di ujung daun. Tumbuhan ini menyebar di wilayah tropis Afrika bagian selatan dan Asia, seperti Jawa, Sumatera, dan Sulawesi.
Sudjud Dartanto mengatakan, seni botani sebenarnya dekat dengan kehidupan masyarakat. Karya seni botani bisa ditemui di buku pelajaran, ensiklopedia, atau kamus bergambar. Namun, keberadaan seni botani di ruang publik tergolong langka jika dibandingkan seni rupa lain.
Padahal, kehadiran seni botani tidak bisa dipisahkan dari produksi ilmu pengetahuan. Jejak perkembangan seni botani di Indonesia bisa ditarik dari tahun 1816. Saat itu, Raja Belanda Willem II mengutus CGC Reindwardt untuk menjadi kepala Kebun Botani di Bogor. Dua ilustrator botani diminta ikut serta.
Pada 1830, para ilustrator Belanda pulang karena gejolak politik dan finansial di negara asalnya. Tugas menggambar pun diteruskan ke orang Indonesia, seperti Raden Natadipoera, Soemawinata, Kromohardjo, Samadi, dan Tirtakoesoema.
Syarat menjadi ilustrator botani tidak hanya bisa menggambar. Ia juga wajib memiliki pengetahuan botani sehingga vegetasi yang digambar akurat.
”Obyeknya harus dibuat sepresisi mungkin sesuai bentuk, karakter, bahkan kondisi alamiahnya. Gambar tidak hanya menunjukkan akurasi tumbuhan, tapi juga menampilkan irisan antara sains dan seni,” kata Sudjud saat dihubungi dari Jakarta, Jumat (15/7/2022).
Ia berharap pengunjung pameran tidak hanya bisa menikmati keindahan artistik, tetapi juga memperoleh pengetahuan botani baru. Adapun pameran dinilai media mengampanyekan keanekaragaman hayati Indonesia, termasuk spesies langka dan endemik. Pengetahuan itu penting mengingat Indonesia adalah negara dengan dengan biodiversitas terkaya kedua di dunia setelah Brazil.
Sementara itu, Jenny A Kartawinata mengatakan, mengenal tumbuhan merupakan pengalaman multidimensi. Hal itu sama seperti bermeditasi untuk mengenal diri sendiri dan tumbuhan yang sama-sama makhluk hidup.
”Karya seni botani menyajikan drama tentang tumbuhan di Bumi, tumbuhan yang perlu kita kenal, akrabi, dan pedulikan keberlanjutan hidupnya. Keberlanjutan Bumi adalah tanggung jawab kita semua,” katanya.