”Ngobrol” dengan Malaikat di Pulau Siberut
Seminggu di Siberut Selatan, Mentawai, kami bertemu dengan nama-nama unik. Sebut saja Aman Telepon, Aman Jaminan, dan Bentar. Namun, yang paling unik adalah Malaikat. Ada cerita tersendiri di balik nama-nama tersebut.
Liputan ke Pulau Siberut, Kepulauan Mentawai, 26 Juli-2 Agustus 2022 menjadi pengalaman tak terlupakan. Eksotisnya alam, budaya, dan masyarakat adat Siberut memang tak dapat dibantah. Walakin, kisah tentang nama-nama di daerah 3T Provinsi Sumatera Barat ini sangat berkesan.
Menyambut momen peringatan hari kemerdekaan ke-77 Republik Indonesia, saya dan fotografer Kompas, Iwan Setiyawan, mendapat tugas dari kantor untuk liputan di Desa Madobag, Kecamatan Siberut Selatan. Kami hendak melihat bagaimana masyarakat adat di sana memaknai kemerdekaan.
Sekitar seminggu liputan di Kecamatan Siberut Selatan, kami menemukan nama-nama unik yang digunakan warga Mentawai. Sebut saja, antara lain, nama Aman Telepon, Aman Jaminan, dan Bentar.
Bapak saya dulu sering pergi-pergi. Sebentar-sebentar saja ada di rumah. Pulang sebentar, lalu pergi lagi. Maka untuk mengenang itu, diberilah nama Bentar pada saya. (Hendrikus Bentar)
Ada kisah-kisah tertentu—kadang menggelitik—yang menjadi latar pemberian nama tersebut. Maka mencari tahu kisah di balik nama-nama unik itu menjadi hal seru dan menarik serta menjawab rasa penasaran saya di sela-sela aktivitas mengumpulkan bahan liputan.
”Bapak saya dulu sering pergi-pergi. Sebentar-sebentar saja ada di rumah. Pulang sebentar, lalu pergi lagi. Maka untuk mengenang itu, diberilah nama Bentar pada saya,” kata Hendrikus Bentar (32), sahabat sekaligus pemandu dan penerjemah kami, saat bercerita asal mula namanya, Rabu (27/7/2022).
Nama Aman Jaminan kami temukan seusai berkunjung ke Air Terjun Kulukubuk, Minggu (31/7/2022). Nama Aman Jaminan berarti bapaknya si Jaminan. Dalam kebiasaan Mentawai, suami-istri dipanggil dengan nama anak sulung mereka. Istri Aman Jaminan dipanggil Bai Jaminan.
Mulanya, saya bersama Mas Iwan, sedang wawancara di rumah Simon Sapojai (46), salah satu pemilik ulayat tempat air terjun berada. Lalu datang sikerei senior dengan penampilan khasnya: badan dipenuhi tato, bercawat, berkalung manik, berambut panjang, dan kepala berikat kain merah. Ia tak lain adalah saudara sulung Simon.
Sikerei adalah sebutan bagi tokoh masyarakat yang ahli pengobatan tradisional dan pemimpin ritual adat, seperti upacara pembangunan rumah, pembuatan sampan, pembukaan ladang, kelahiran, hingga kematian.
Kesempatan bertemu dengan sikerei itu, saya manfaatkan untuk bertanya lebih lanjut tentang kisah Air Terjun Kulukubuk. Mana tahu sebagai tetua ia punya kisah menarik. Walakin, baru menjelang pamit, Mas Iwan bertanya siapa nama sikerei tersebut. ”Aman Jaminan,” kata sikerei berusia 60 tahun itu.
Mendengar kata ”Jaminan”, saya tak jadi pergi. Saya kembali duduk bertanya tentang latar sang sikerei memberikan nama ”Jaminan” kepada anak sulungnya. Nama bujang (muda) Aman Jaminan adalah Taktonem Sapojai.
”Orang di sini biasanya memberikan nama anak sesuai kegiatan (kejadian) yang sedang berlangsung. Nama Jaminan (dipilih) karena ada yang sedang ia jamin saat itu,” kata Simon membantu Aman Jaminan menjelaskan.
Sementara itu, nama Aman Telepon kami temukan saat berkunjung ke rumah keluarga sikerei Aman Laulau di Dusun Buttui, Desa Madobag, 27-29 Juli silam. Aman Telepon atau biasa disingkat Aman Lepon yang juga seorang sikerei merupakan sulung dari enam bersaudara anak Aman Laulau.
Baca juga: Getar Kehidupan dari Balik Reruntuhan
Telepon Salakkirat (23), putra sulung Aman Lepon, menjelaskan, ”telepon” merupakan kata yang berkesan bagi ayah dan kakeknya. Istilah itu pertama kali mereka dengar dari sahabat mereka, Charles Lindsay, warga Kanada sekaligus fotografer GEO Magazine, Jerman, yang tengah berkunjung ke Mentawai.
Pada satu kesempatan, kata Lepon, Charles dan para sikerei berbincang tentang penunjuk arah saat warga berburu di hutan. Penunjuk arah yang terbuat dari tanaman hutan itu menjadi kode bagi kelompok lain bahwa ada suatu kelompok sedang berburu di sana. Fungsi penunjuk arah itu disebut Charles mirip telepon.
Telepon Salakkirat (23), putra sulung Aman Lepon, menjelaskan, ”telepon” merupakan kata yang berkesan bagi ayah dan kakeknya.
Karena berkesan, kata ”telepon” pun dilekatkan pada Lepon. Nama tersebut dinilai cocok saat ritual pemberian nama. Dalam tradisi masyarakat adat Mentawai, pemberian nama anak mesti melalui ritual membantai babi dan ayam. Sikerei kemudian meramal dengan cara melihat usus hewan tersebut. Jika dinilai tidak cocok, nama mesti diganti.
”Hasil ramalan lewat usus babi dan ayam bagus. Tandanya sudah ada restu dari nenek moyang (terhadap nama Telepon). Makanya, dipilih nama itu,” kata alumnus Jurusan Kesehatan Masyarakat STIKES Alifah Padang itu.
Baca juga: Kehangatan di Tengah Penyintas Erupsi Semeru
Malaikat
Lalu bagaimana dengan Malaikat?
Dalam Festival Pergelaran Budaya Mentawai di Balai Dusun Madobag, Sabtu (30/7/2022), kami berjumpa dan berkenalan dengan Malaikat. Tepatnya Malaikat Sabaggalet (52), tokoh masyarakat di Desa Madobag sekaligus Kepala Dusun Malabbait, salah satu dusun di desa wisata itu.
Sebagaimana nama-nama unik sebelumnya, nama Malaikat juga memantik rasa penasaran. Peristiwa menarik apa gerangan yang terjadi di belakangnya?
Namun, penelusurannya tak mudah. Bukan karena beratnya medan yang ditempuh, melainkan karena disambi-sambi dengan liputan utama dan sejumlah ketidakberuntungan.
Saya beberapa kali bertemu Pak Malaikat seusai perkenalan hari itu. Namun, momennya tak pernah pas. Festival di Desa Madobag itu juga jadi ajang bagi pesta rakyat pada malam harinya. Saya tak ingin merusak momen dengan mengajak pria ramah itu wawancara.
Selain bertanya langsung dengan empunya nama, sebenarnya kesempatan untuk mengetahui asal-usul nama Malaikat itu sangat banyak. Saya sering menghabiskan waktu untuk wawancara atau sekadar ngobrol dengan ayah Pak Malaikat. Sayangnya, saya baru tahu pria itu adalah ayahnya, menjelang meninggalkan desa.
Malaikat adalah putra sulung Aman Gebak Kunen (73), salah satu sikerei senior tersohor, selain Aman Laulau. Kedua sikerei itu merupakan narasumber penting dalam liputan, ”Buah Kesetiaan Adat dan Budaya di Mentawai”.
Baca juga: Meliput Gempa Cianjur, Belajar Empati kepada Korban hingga Jenazah
”Nama Mentawai saya Gebak Kunen. Nama Malaikat, nama permandian, nama baptis,” kata Malaikat di rumahnya, sepulang dari gereja, Minggu (31/7/2022). Kesempatan berbicara dengan Pak Malaikat ini sudah saya incar-incar beberapa menit menjelang meninggalkan desa.
Berbeda dengan beberapa saudaranya, nama Gebak Kunen telanjur tak dipakai di ijazah dan KTP. Nama yang dipakai justru Malaikat Sabaggalet. Maka secara umum, ia lebih dikenal dengan nama Malaikat dibandingkan Gebak Kunen.
Soal nama Gebak Kunen, Malaikat menjelaskan, nama itu adalah nama yang umum digunakan masyarakat Mentawai. Secara harfiah, gebak = miskin dan kunen = kerja. Namun, nama Gebak Kunen tak bisa dimaknai secara harfiah begitu saja.
Perihal nama
Rasa penasaran saya terhadap nama-nama Mentawai tidak berakhir sampai di situ. Agar tahu lebih lanjut, saya menyelipkan pertanyaan itu saat wawancara dengan Tarida Hernawati, antropolog yang bekerja di Yayasan Citra Mandiri (YCM) Mentawai, sekembalinya saya ke Padang, Jumat (5/8/2022).
Tarida menjelaskan, orang Mentawai memberikan nama-nama unik itu karena mereka adalah orang yang ingin mengingat atau suka dengan kenangan. Mereka mengenang peristiwa-peristiwa yang dirasa cukup berarti dalam hidup mereka, baik senang, susah, maupun lucu.
”Ada Pak Silester, nama anaknya Bayangan. Karena Bapak itu dulu aktivis YCM, pulang sebentar ke rumah, lalu pergi lagi kayak bayangan saja, kata istrinya. Maka anaknya dikasih nama Bayangan untuk mengingatkan tingkah bapaknya itu waktu dia lahir,” kata Tarida.
Baca juga: Perih Saat Menjadi "Anak Buah Kapal" Dadakan
Contoh lainnya, kata Tarida, ada duda yang dilekatkan dengan nama Gopbai Parlak. Gopbai adalah nama yang disandang seorang duda yang ditinggal mati istri. Nama Parlak dilekatkan padanya karena ketika istrinya meninggal, wajahnya ditutup dengan perlak saat dibawa ke Muara Siberut.
Tarida juga menemukan warga di Siberut bernama Gopbai Kolam. Ceritanya, waktu istri Gopbai Kolam meninggal karena sakit, pria itu sedang membuat kolam lele.
”Biasanya mereka ingin mengenang peristiwa itu. Dengan nama-nama itu, mereka bisa tahu sejarah hidup mengingat mereka tidak kenal budaya tulis. Termasuk nama hutan dan jalan-jalan. Dengan begitu mereka bisa menelusuri sejarah hidup mereka,” ujarnya.
Penanda status
Pemberian nama julukan pada masyarakat Mentawai, kata Tarida, juga berfungsi sebagai penanda status. Di Mentawai, status seseorang harus jelas. Lajang belum menikah biasanya dipanggil dengan nama kecilnya. Orang yang sudah punya anak dipanggil dengan nama anak sulung, misalnya Aman Petrus atau Bai Petrus.
Kemudian, ada pula julukan Gopbai = duda ditinggal mati, Silumang = janda ditinggal mati, Siuilak = janda cerai.
”Kalau tahu status, kita bisa menentukan sikap dan cara berkomunikasi. Kalau sudah jadi bapak-bapak, tidak mungkin lagi sembarang ngomong. Kalau ada yang naksir, disebut Aman, ’Oh sudah punya istri’. Beda dengan orang luar, sudah 10 tahun kawin tidak ketahuan dia sudah punya istri,” kata Tarida.
Tarida menambahkan, biasanya nama baru seorang duda atau janda diberikan oleh keluarga ataupun warga sekitar. Apabila sudah dijuluki dengan nama itu, misalnya Gopbai Kolam, orang itu pun tidak bisa menolak.