Beli Tiket Piala Dunia dari Perjaka Patah Hati
Tak dinyana, tiket yang sampai pening saya cari di beberapa kantor biro perjalanan di Rio de Janeiro hingga ke calo-calo tiket di stadion, akhirnya saya peroleh dari sesama WNI, seorang perjaka yang sedang patah hati.

Suasana FIFA Fan Fest di kota Rio de Janeiro, Brasil, saat Piala Dunia Brasil 2014. Sejumlah pengunjung mengamati baliho besar bergambar bintang Brasil Neymar (kuning), dan Gerard Pique (Spanyol).
Pertengahan Mei 2014, tugas dari Redaksi Kompas datang mendadak. Saya diminta meliput Piala Dunia Brasil 2014. Padahal sepak mula (kick off) piala dunia akan segera bergulir pada 12 Juni 2014.
Namun tanpa pikir panjang, saya langsung menyanggupi penugasan itu. "Kapan lagi berkesempatan meliput Piala Dunia, apalagi di Brasil, salah satu kiblat sepak bola dunia?" pikir saya.
Penugasan dadakan itu bak durian runtuh mengingat semula saya bukan termasuk peliput. Karena rekan wartawan yang seharusnya berangkat mendadak tidak bisa dan harus digantikan, tugas itu kemudian jatuh ke saya.
Posisi sebagai "pemain cadangan" membuat saya kesulitan mengurus akreditasi liputan piala dunia. Maklum, waktunya sudah mepet.
Alhasil, saya meliput piala dunia selama sebulan tanpa terdaftar sebagai jurnalis yang terakreditasi oleh Badan Sepak Bola Dunia (FIFA). Mitra liputan saya ketika itu, Agung Setyahadi, syukurnya sudah terakreditasi karena sudah lebih dulu dijadwalkan meliput di Piala Dunia Brasil 2014.
Baca juga: Menjadi Saksi Tangisan Fan Brasil Saat Takluk 1-7 dari Jerman

FIFA Fan Fest di Pantai Copacabana, kota Rio de Janeiro, Brasil, pada Senin (30/6/2014) siang, disemarakkan kehadiran ribuan penggemar sepak bola, yang menyaksikan siaran langsung laga 16 besar Piala Dunia 2014, antara Perancis melawan Nigeria. Pendukung tim Perancis bersuka ria di Fan Fest, setelah tim "Ayam Jantan" unggul 2-0 dan melaju ke perempat final.
Menjadi wartawan tanpa akreditasi, yang hanya bisa meliput di luar arena pertandingan, termasuk tak bisa melaporkan latihan tim, membuat saya harus putar otak guna mencari tema liputan.
Beberapa tema akhirnya tergali juga, di antaranya tulisan ringan tentang rumah petak "favela", kultur main bola warga Brasil, suasana pantai Copacabana, dan tema-tema lain yang mayoritas tulisan ringan.
Namun, masih tersisa pertanyaan di benak saya: masak tinggal lama di Rio de Janeiro, tapi sama sekali tak meliput di Stadion Maracana, stadion yang menjadi ikon kota Rio?
Ini ibarat belum ke Muenchen tanpa nonton bola di Stadion Allianz Arena, atau belum ke London kalau belum ke Stadion Wembley, dan belum ke Madrid jika belum ke Stadion Santiago Bernabeu.
Jacksen Tiago, pelatih sepak bola yang lahir dan dibesarkan di Rio, bahkan sempat "memprovokasi". "Mas Adi harus nonton di Maracana. Bagaimana caranya, nanti saya coba bantu," ujar pelatih yang pernah menangani Persipura Jayapura itu.
Betul juga, pikir saya. Satu-satunya alternatif, saya harus masuk ke dalam stadion sebagai penonton, dan menulis suasana laga dari tribune penonton.
Baca juga: Memupus Elegi Berkepanjangan Brasil

Suasana Stadion Maracana, Rio de Janeiro, Brasil, sebelum laga 16 besar Piala Dunia Brasil 2014 antara Kolombia melawan Uruguay, 28 Juni 2014.
Langkah berikutnya, saya segera mencoba membeli tiket secara daring, untuk pertandingan yang dijadwalkan pada 28 Juni 2014, yakni Kolombia melawan Uruguay. Sial, tertera keterangan: terjual habis.
Upaya berikutnya, mendatangi biro-biro travel di Rio, siapa tahu ada pemilik tiket laga yang batal nonton, lalu menjual tiketnya di situ. Semua kantor biro travel yang didatangi mengatakan tak punya tiket.
"Silakan mencoba di tempat lain, di sini sudah tidak ada tiket pertandingan. Tapi andai Anda dapat tiket, harganya bisa jadi sudah dua atau tiga kali lipat lebih mahal," ujar seorang manajer biro perjalanan di Rio.
Tiket babak 16 besar antara Kolombia dan Uruguay yang akan saya tonton, harganya dibanderol 1.387 dollar AS atau Rp 15,3 juta untuk kategori 3.
Saya pulang ke apartemen di Rio dengan langkah gontai. "Bakal gak bisa nonton di Maracana sepertinya," keluh saya dalam hati.
Dari pengamatan terhadap beberapa calo tiket di seputaran stadion Maracana, tak hanya harga karcis pertandingan yang sudah melewati 1.000 dollar AS atau sekitar Rp 12 juta, tiket pesawat antarkota dan tarif kamar hotel pun melambung. Tiket babak 16 besar antara Kolombia dan Uruguay yang akan saya tonton, harganya dibanderol 1.387 dollar AS atau Rp 15,3 juta untuk kategori 3.
”Ini harga tiket yang terdata di saya. Daripada menonton di stadion membayar mahal, apa tidak lebih baik nonton di televisi?” ujar Jorge Teixiera, pengelola biro perjalanan di Rio, yang saya wawancarai ketika itu.
Baca juga: Menunggu Sinar Neymar di Qatar

Wartawan Kompas Adi Prinantyo menunjukkan tiket laga 16 besar Piala Dunia Brasil 2014 antara Kolombia melawan Uruguay di Stadion Maracana, kota Rio de Janeiro, Brasil, 28 Juni 2014.
Nyaris terlupakan
Beberapa hari berlalu, saya sudah hampir melupakan target berburu tiket laga di Maracana. Sampai suatu kali saya perlu mencari masjid di Rio untuk shalat Jumat.
Setelah bertanya-tanya kepada sesama jurnalis Indonesia yang sedang berada di Rio, jadilah saya menunaikan shalat Jumat di Mesquita da Luz, masjid di kawasan Tijuca, Rio de Janeiro.
Tak disangka, di masjid inilah "pintu masuk" saya bisa membeli tiket laga di Maracana. Seusai shalat, saya bertemu sesama warga Indonesia, Nasangga Siregar. Kami pun berkenalan.
Ia ternyata berencana menonton partai Kolombia versus Uruguay di Maracana pada Sabtu, 28 Juni 2014, yang tak lain esok harinya. Penuturan Nasangga berikutnya bikin saya antusias bukan kepalang.
Baca juga: Tragedi Kanjuruhan dan Kampung-kampung yang Berselimut Kain Hitam

Tampak atas bangunan Mesquita da Luz, masjid di kawasan Tijuca, Rio de Janeiro.
"Saya sebenarnya berencana nonton piala dunia berdua dengan pacar saya. Tetapi sialnya kami putus sebelum piala dunia. Padahal sudah terlanjur beli dua tiket," tutur Nasangga yang hobi bertualang, dan sebelum 2014 pernah bekerja di Amerika Serikat.
Saya merespons cepat. "Boleh tiket satunya saya beli? Tapi harganya berapa dulu," tanya saya. Jawabannya membuat saya makin girang.
"Harganya sama aja dengan yang tertera di tiket, Mas. Buat saya, uang bisa kembali sudah lumayan," jawab Nasangga.
Tanpa pikir panjang, saya segera memastikan akan membeli tiket milik Dewi Harahap, mantan kekasih Nasangga kala itu. Harga yang tertera di tiket 100 dollar Amerika Serikat, dalam kurs sekarang senilai Rp 1,7 juta.
Menyaksikan Kehancuran akibat Tsunami dari Helikopter Sea King Australia

Tiket laga Kolombia versus Uruguay, babak 16 besar Piala Dunia Brasil 2014 di Stadion Maracana, Rio de Janeiro. Tiket waktu itu seharga 110 dollar Amerika Serikat.
Saya pikir, tak masalah harus membeli tiket itu karena toh bisa untuk materi liputan di Kompas, sekaligus pengalaman menyaksikan piala dunia di Maracana.
Hari yang dinanti tiba. Pukul 17.00 waktu Brasil, saya akhirnya bisa menonton laga Kolombia melawan Uruguay di Stadion Maracana, bersama Nasangga. Di sana, kami menjadi saksi kepiawaian gelandang serang Kolombia, James Rodriguez, dua kali menjebol gawang Uruguay yang dijaga Fernando Muslera.
Tak dinyana, tiket yang sampai pening saya cari di beberapa kantor biro perjalanan di Rio hingga ke calo-calo tiket, akhirnya saya peroleh dari seorang perjaka yang sedang patah hati.
Di sana, kami menjadi saksi kepiawaian gelandang serang Kolombia, James Rodriguez, dua kali menjebol gawang Uruguay yang dijaga Fernando Muslera.
Jika dalam pertandingan sepak bola ada pemain cadangan, saat itu saya ibarat menjadi penonton cadangan. Hingga kini, saya dan Nasangga masih berkomunikasi via email. Terakhir kali, sebelum Piala Dunia Qatar 2022, ia sempat bertanya, "Ke Qatar gak, Mas?"
Kami lantas saling berkirim kabar. Belakangan, ia berkisah telah menikah. Istrinya tak lain adalah Dewi Harahap, yang sempat putus hubungan cinta dengannya saat Piala Dunia Brasil 2014. Untung semuanya berakhir happy ending. Saya dapat tiket dan Nasangga tersambung kembali cintanya dengan Dewi beberapa waktu kemudian. Dunia oh dunia.