Menyaksikan Kehancuran akibat Tsunami dari Helikopter Sea King Australia
Dari pantauan udara menggunakan helikopter Westland Sea King Mk 50 AL Australia yang diperbantukan di Aceh, terlihat seluruh pesisir utara dan barat Tanah Rencong porak-poranda diterjang gelombang air yang menghantam.

Helikopter Westland Sea King Mk 50 milik Angkatan Laut Australia yang digunakan untuk mengevakuasi korban tsunami terbang di atas kota Banda Aceh, Kamis (13/1/2005).
Memutar tubuh 180 derajat di pertengahan Januari 2005, di Krueng Raya, Kecamatan Masjid Raya, Kabupaten Aceh Besar, Nanggroe Aceh Darussalam, terasa Tuhan begitu dekat. Begitu kecil manusia di hadapan-Nya. Sejauh mata memandang, hanya reruntuhan yang tampak. Kehancuran kala itu nyata.
Tsunami berketingian hampir 20 meter menyapu pesisir Aceh sesaat setelah terjadinya gempa berkekuatan 9,1 skala Ritcher di dasar Samudra Hindia pada 26 Desember 2004 pukul 07.59 WIB.
Warga pesisir kota Banda Aceh yang baru terjaga dari lelapnya tidur tidak menduga akan terjadi tsunami. Warga mengira hanya gempa biasa tanpa disusul dengan gelombang air laut yang menghantam daratan.
Dari atas helikopter Westland Sea King Mk 50 milik Angkatan Laut Australia yang diperbantukan untuk penyelamatan korban tsunami di Aceh, terlihat seluruh pesisir utara dan barat Tanah Rencong itu porak-poranda diterjang gelombang air laut.
Wilayah pesisir yang terdampak tsunami ini masih digenangi air laut. Hanya beberapa rumah dan masjid masih berdiri kokoh, tetapi bangunan di sekitarnya rata tanah.
Kepiluan dan kesedihan menggelayut di dalam hati ketika menjalankan tugas peliputan pascatsunami di pesisir Nanggroe Aceh Darussalam, yang telah meluluhlantakkan peradaban umat manusia di Aceh.
Saya tiba di Banda Aceh, 9 Januari 2005, dengan menumpang pesawat Hercules TNI AU yang berangkat dari Halim Perdanakusuma. Di dalam pesawat yang penuh dengan barang kebutuhan pangan untuk korban, saya duduk bersama sejumlah relawan yang akan terjun membantu pemulihan Aceh pascabencana.
Beberapa menit sebelum pesawat mendarat di landasan pacu bandara Sultan Iskandar Muda, para relawan ini berkumpul di depan jendela pesawat, melihat daratan Aceh. Dan ketika pintu pesawat terbuka kesibukan di bandara ini kian terasa, beberapa jenis helikopter dan pesawat besar dari beberbagai negara sibuk bongkar muat barang bantuan kemanusian untuk korban tsunami.

Kesibukan di Pangkalan Udara Blang Bintang, Nanggroe Aceh Darussalam, Rabu (12/01/2005), dipadati berbagai jenis helikopter dan pesawat untuk misi kemanusiaan dan evakuasi pasca tsunami Aceh.
Kami menyewa rumah di kasawan Blang Bintang tak jauh sekitar bandara Sultan Iskandar Muda, sebagai markas tempat tim wartawan Kompas untuk menginap dan bekerja. Daerah ini cukup jauh dari kawasan yang terdampak tsunami, sekitar 15 kilometer dari kota Banda Aceh.
Saya mengantikan wartawan yang lainnya yang sudah menjalankan tugas di Aceh sebelumnya. Dalam liputan kali ini saya bergabung dengan wartawan Kompas lainnya seperti almarhum Bambang Wahyu, Neli Triana, Rakaryan Sukarjaputra, dan kordinator wartawan Dedi Muhtadi.
Baca juga: Perempuan yang Tidak Mendapat Segelas Kopi
Ruang kerja merangkap tempat tidur berukuran tak lebih dari 3 x 4 meter yang tadinya dijadikan kantor gudang oleh pemilik rumah, tetap terasa nyaman dalam liputan kondisi keprihatinan ini.
Hari pertama meliput tsunami di Aceh, saya dibangunkan oleh suara telpon seluler berdering sekitar puku 08.00 pagi. Pesan singkat dari seorang saudara di Jakarta memberikan informasi adanya helikopter milik Amerika yang jatuh di sekitar bandara.
Saya bersama seorang reporter berangkat menuju sekitar lokasi kejadian yang menurut informasi di sebelah utara Bandara. Kurang dari 15 menit kami tiba di tempat peristiwa.
Kami agak ragu untuk masuk ke lokasi, suasana di tempat peristiwa itu nampak sepi dan tak ada reporter lainnya, kami tiba lebih dahulu dari wartawan lainnya. Setelah mendapat izin dari seorang anggota TNI Angkatan Udara, kami boleh mendekat lokasi kejadian tak lebih dari 50 meter dari helikopter yang jatuh itu.

Heli jenis Seahawk milik angkatan laut Amerika Serikat yang digunakan untuk evakuasi bencana Tsunami, sekitar pukul 07.15 WIB, jatuh di lahan persawahan tak jauh dari Bandara Sultan Iskandar Muda, Banda Aceh, Senin (10/01/2005). Dalam kecelakaan tersebut, 10 penumpang selamat.
Helikopter milik pasukan Amerika Serikat jenis SH-60 Seahawk yang digunakan untuk misi kemanusiaan korban tsunami ini, terjerembab tergeletak di areal persawahan Kampung Blang, Blang Bintang, Aceh Besar, sekitar 200 meter dari Pangkalan Udara TNI Sultan Iskandar Muda.
Helikopter ini rusak cukup parah, baling-baling utama patah dan ekor bagian belakangnya terlihat patah. Beberapa petugas tampak sibuk mengevakuasi heli tersebut.
Baca juga: Desa Sikundo yang Viral Lalu Dilupakan
Helikopter yang jatuh itu berasal dari kapal induk AS Abraham Lincoln, membawa 10 penumpang, termasuk empat kru. Seluruh penumpang termasuk kru helikopter selamat.
Saya diizinkan mengambil gambar dari jarak sekitar 50 meter dengan kamera DSLR berlensa tele dan juga tak lupa merekam videonya dengan kamera Sony handycam Mini DV.
Kaset rekaman videonya saya berikan kepada Pasaoran Simanjuntak saat itu selaku kordinator liputan daerah TV7 untuk segera tayang. TV7 sendiri di zaman itu masih milik keluarga Harian Kompas.
Dihadang kapal di tengah jalan
Seusai liputan kecelakaan helikopter, kami kemudian meluncur menuju ke barat keluar kota Banda Aceh. Kalau memungkinkan hingga Calang yang terletak di Kabupaten Aceh Jaya.
Kami ingin memantau perkembangan kondisi pasca tsunami di sepanjang jalan lintas pantai barat di antara Banda Aceh menuju Calang yang berada di bibir pantai ini.
Namun sesampainya di wilayah Lhoknga, Kabupaten Aceh Besar, sekitar 17 kilometer dari barat kota Banda Aceh, kendaraan yang kami tumpangi berhenti. Jembatan di wilayah ini putus akibat dihantam gelombang tsunami, hingga tak dapat dilalui.
Disisi jembatan terputus itu, warga sibuk menarik rakit ponton yang terbuat dari drum dengan tali tambang. Rakit itu dipenuh para pengungsi yang berdatangan dari arah kota Calang.

Sejumlah warga pantai barat Nanggroe Aceh Darussalam yang selamat dari hantaman gempa dan tsunami tengah menggunakan rakit menyeberangi sungai di Lhoknga, Kabupaten Aceh Besar, Senin (10/01/2005). Mereka melakukan perjalanan panjang dengan berjalan kaki selama 14 hari dari Meulaboh menuju Banda Aceh.
Mereka ada warga dari desa-desa dan kota di pesisir barat Nanggroe Aceh Darussalam melakukan eksodus dengan berjalan kaki berhari-hari menuju Kota Banda Aceh. Mereka tak bisa lagi bertahan di daerah asal karena rumah mereka hancur dihantam gelombang dahsyat tsunami dan juga kekurangan persediaan makanan.
Para pengungsi ini bahkan ada yang berasal dari Meulaboh, Kabupaten Aceh Barat. Mereka berjalan kaki berhari-hari sejauh 238 kilometer untuk menuju Banda Aceh.
Kami akhirnya memutuskan untuk menyerberangi sungai Lhoknga dengan rakit yang ada, lalu berjalan kaki sekitar 2 kilometer menuju pabrik semen Andalas.
Jalan raya Banda Aceh – Meulaboh ini sebagian masih dipenuhi sampah ranting dan pepohonan yang tumbang terseret gelombang. Sementara di bibir pantai pepohonan kelapa nampak gundul tersisa batangnya yang masih berdiri bergoyang dimainkan air laut.

Dua kapal ponton berisi batu bara dan kapal tunda masih menghadang jalan raya lintas pantai barat Nanggroe Aceh Darussalam di kawasan Kecamatan Lhoknga, Aceh Besar, Senin (10/01/2005).
Menjelang komplek pabrik semen Andalas, tampak kapal jenis poonton berisi batu bara dan kapal tunda terdampar di tengah jalan raya. Kapal ini menghadang jalan raya lintas pantai barat. Terlihat warga eksodus melintas di celah-celah kapal ini.
Perumahan karyawan kawasan industri nasional PT Semen Andalas Indonesia juga rusak parah. Perusahaan semen yang berdiri di lahan seluas 30 hektar itu terlihat porak poranda disapu tsunami.

Pabrik PT Semen Andalas Indonesia yang terletak di kawasan Kecamatan Lhoknga, Aceh Besar, Senin (10/01/2005). mengalami rusak berat pasca gelombang Tsunami. Bahkan komplek dan kawasan wisata pantai yang ada disekitar pabrik, rata dengan tanah.
Kondisi semacam ini juga tak jauh berbeda di pemukiman warga Krueng Raya, Kecamatan Masjid Raya, Kabupaten Aceh Besar yang tak jauh dari pelabuhan Malahayati. Hancur berantakan akibat tsunami.
Hari-hari dalam peliputan korban pasca tsunami ini memang agak berbeda dengan peliputan wilayah konflik. Kondisi psikologis yang dialami lebih berat dari pada peliputan wilayah konflik seperti di Timor Timur atau pun kerusuhan masa reformasi 1998.

Warga di Kecamatan Masjid Raya, Kabupaten Aceh Besar, Nanggroe Aceh Darussalam, hari Jumat (14/01/2005) siang, mengambil barang mereka yang tersisa diantara rumah yang hancur akibat gelombang tsunami.
Hampir setiap hari dalam peliputan bencana ini, saya harus bersentuhan dengan rasa kepedihan dan penderitaan. Selayaknya peliputan di wilayah bencana besar semacam ini tidak terlalu lama dan dilakukan pergantian wartawan.
Ketika meninggalkan Aceh menuju Jakarta, kami banyak berdoa untuk para korban tsunami.