Desa Sikundo yang Viral Lalu Dilupakan
Siapa yang tidak emosi menyaksikan anak-anak sekolah usia belia harus meniti jembatan yang hanya terbuat dari seutas tali baja di atas derasnya sungai Pante Ceureumen. Terpeleset, nyawa pun terancam melayang.
Pada awal 2019, Desa Sikundo yang berada di Kecamatan Pante Ceureumen, Kabupaten Aceh Barat, Provinsi Aceh, mendadak terkenal. Sebuah foto dan cuplikan video beredar luas di media massa dan di lini media sosial.
Isinya, para siswa yang tengah meniti jembatan kabel baja di atas sungai yang mengalir deras. Sumpah serapah warganet pun tumpah ruah seperti air bah, tidak terbendung.
Siapa yang tidak emosi menyaksikan anak-anak sekolah usia belia harus meniti jembatan yang hanya terbuat dari seutas tali baja di atas derasnya sungai Pante Ceureumen. Terpeleset, nyawa pun terancam melayang.
Kondisi ini tak urung juga menjadi santapan empuk pihak tertentu untuk menyerang pemerintah. Komentar miring nyaring terdengar. “Dana otonomi khusus hanya dinikmati oleh pejabat, bukan rakyat”. Begitu salah satu komentar yang kerap muncul.
Foto dan video tersebut muncul di saat yang "tepat", yakni menjelang pelaksanaan Pemilihan Presiden pada 17 April 2019. Tokoh politik nasional Fadli Zon, saat itu ikut membagikan hasil liputan dari sebuah media televisi tentang jembatan tali baja tersebut.
Tak lama kemudian, Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi, Eko Putro Sandjojo mengklarifikasi bahwa pihaknya tengah membangun jembatan gantung.
Klarifikasi ini diiringi beredarnya foto pembangunan jembatan gantung berwarna kuning dengan lantai dari plat baja. Jembatan selebar dua meter itu nantinya akan dapat dilintasi kendaraan roda empat.
Foto ini sekaligus membantah foto dan video yang beredar sebelumnya. Akan halnya, jembatan tali baja yang diributkan itu, lokasinya ternyata tak jauh dari jembatan gantung kuning yang sedang dibangun.
Viralnya foto anak-anak yang meniti jembatan tali baja, membuat pembangunan jembatan gantung pun dikebut. Bahkan Presiden Joko Widodo turut menanggapi jembatan Sikundo melalui media sosialnya.
Kata Presiden, jembatan kabel itu adalah cerita pada tahun 2016. Kini, jembatan itu telah diganti dengan jembatan gantung. Tahun politik ternyata membawa berkah bagi Sikundo karena pembangunan jembatan gantung jadi cepat rampung.
Sebelum viral, warga Sikundo telah bertahun-tahun meniti jembatan tali baja sebagai sarana penyeberangan. Tak sedikit, media arus utama yang telah meliputnya secara mendalam. Namun karena muncul bukan di tahun politik, liputan itu kurang mendapat perhatian publik.
Baca juga: Ulah Wartawan kepada God Bless
Niat yang tertunda
Sejak pertengahan 2016, saya sudah kepengin meliput kondisi Desa Sikundo. Pelan-pelan saya mengumpulkan informasi dan referensi narasumber kepada teman-teman jurnalis di sana.
Dari mereka diperoleh informasi, kondisi desa saat itu sungguh memprihatinkan. Selain warga harus menyeberang sungai dengan meniti jembatan tali baja atau menggunakan ban karet, di sana juga tidak ada listrik dan fasilitas kesehatan.
Sebelum berangkat ke sana, saya mempersiapkan perlengkapan liputan yang dibutuhkan, termasuk membeli tas antiair. Setelah rencana liputan disetujui Kepala Biro Kompas Sumatera di Medan, saya pun siap berangkat.
Namun sayang, rencana matang yang tinggal menunggu dieksekusi itu, terpaksa batal karena tiba-tiba terjadi gempa besar di Pidie Jaya pada Desember 2016. Peristiwa itu menelan 104 korban jiwa dengan ratusan bangunan roboh. Misi ke Sikundo pun gagal karena saya harus bertolak ke Pidie Jaya.
Dalam kerja jurnalistik, rencana liputan gagal karena harus mengejar peristiwa lain, sebenarnya hal biasa. Karena wartawan harus menentukan skala prioritas. Selama hampir enam bulan kemudian saya meliput dan memantau proses rehabilitasi pascagempa di Pidie Jaya. Niat ke Sikundo pun terlupakan.
Baca juga: "Apple Fanboy" di Pesta Penguasa Android
Sampai akhirnya pada awal 2019, saya teringat lagi pada rencana tersebut setelah foto dan video jembatan Sikundo viral. Akhirnya, saya bulatkan tekad pergi ke sana.
Perjalanannya tidak mudah. Dari Banda Aceh, saya harus menempuh jarak 320 kilometer dengan kendaraan roda empat. Tiba di wilayah Pante Cereumen, saya menuju ke kantor Polsek setempat.
Dari sana, dengan ditemani Dewa, anggota Bhabinkamtibmas dari Polsek Pante Ceureumen, kami menuju Sikundo dengan sepeda motor. Jalan ke sana hanya bisa diakses dengan sepeda motor karena kondisinya yang berbatu dan menanjak licin.
Beberapa kali saya harus turun dari motor. Lebih baik saya jalan kaki daripada jatuh dan tidak bisa liputan. Kami baru tiba menjelang malam.
Sesampainya di sana, kami disambut Kepala Desa Sikundo, Jauhari. Malam di Sikundo sungguh terasa sunyi. Kami berbincang di ruang tengah rumah kayu dengan berteman sebatang lilin. Karena tidak ada listrik, warga pun mengandalkan lampu teplok atau lilin sebagai penerang.
Jauhari lahir dan besar di Sikundo. Saat konflik GAM memuncak, warga Sikundo sempat eksodus ke desa tetangga, termasuk Jauhari. Ketika konflik berakhir dengan damai, warga kembali ke desa. “Kami ingin membangun desa karena kalau bukan kami, siapa lagi,” kata Jauhari malam itu.
Baca juga: Tujuh Gelas Kopi Sehari, Modal Bergaul di Semendo
Saat itulah, saya memahami ikatan batin yang begitu kuat antara seseorang dengan tanah kelahirannya. Pantas saja banyak orang rela berkorban demi keutuhan tanah lahir, meski harus membayarnya dengan nyawa.
Setelah Jauhari diangkat sebagai kepala desa, warga sepakat dana desa dipakai untuk memindahkan alur sungai dan memperbaiki jalan.
Di luar, hujan mulai turun dan mengantarkan embusan udara nan sejuk. Di tengah kami asyik bercerita, seorang perempuan paruh baya datang menyajikan makan malam. Beginilah cara warga Sikundo menyambut tamu. Mereka tidak segan-segan menghidangkan apa yang dimiliki kepada tamunya.
“Ini beras sisa zaman konflik,” kata Jauhari, “Coba saja, rasanya sangat enak.”
Pantas saja banyak orang rela berkorban demi keutuhan tanah lahir, meski harus membayarnya dengan nyawa.
Meski telah disimpan belasan tahun, kondisi beras masih bagus dan hasil nasinya tetap gurih. Malam itu saya makan dengan lahap. Padahal lauknya hanya teri sambal. “Beras di Sikundo kualitasnya cukup bagus,” kata Jauhari lagi.
Keesokan paginya, saya bertamu ke beberapa rumah warga dan melihat sekolah yang terbengkalai karena ditinggalkan. Warga ingin sekolah itu difungsikan kembali. Namun, tidak adanya jembatan, membuat siswa harus melewati titian kabel baja untuk sampai di sekolah. Terlalu berbahaya untuk dilakukan setiap hari.
Kelak setelah ada jembatan gantung, sekolah tersebut tetap tidak bisa diakses karena rute perjalanan terhalang sebuah bukit.
Kecewa dan Bahagia Melihat Inovasi Perkampungan di Papua
Saat itu, saya penasaran bagaimana rasanya berjalan di atas seutas baja. Saya lihat anak-anak Sikundo enteng saja melewatinya. Tanpa perlu melihat gerak kaki mungilnya, mereka bisa dengan tepat meniti kabel baja tersebut.
Saya memberanikan diri untuk meniti tali baja itu. Saya harus mencobanya agar bisa mendeskripsikannya dalam tulisan. Namun baru beberapa langkah, jantung rasanya berdegup tak keruan. Kepala pun nyaris pitam, apalagi saat melihat ke bawah. Jika jatuh, arus deras siap melahap tubuh ini.
Saya hanya mampu berjalan sepuluh meter. Cukup lah untuk bahan menulis dan bahan unggahan ke media sosial. Di luar perasaan turut prihatin terhadap kondisi desa, berada di tempat baru, hampir selalu terasa menyenangkan. Inilah keseruan menjadi jurnalis.
Liputan ini kemudian turun di harian Kompas dengan judul “Lampu Teplok dan Jembatan Baja di Sikundo”.
Kembali ke Sikundo
Tahun 2022, saat mendapat tugas liputan khusus tentang pembangunan daerah terpencil, pikiran saya langsung teringat pada Sikundo. Saya ingin melihat perubahan desa itu setelah tiga tahun. Liputan khusus ini dalam rangka HUT ke-77 Kemerdekaan Republik Indonesia dengan bingkai pembangunan di berbagai pelosok Nusantara.
Kali ini, rute perjalanan saya dari Banda Aceh singgah di Meulaboh karena di sana saya hendak meminjam sepeda motor teman. Saya mengira, jalan ke Sikundo masih seperti dulu, hanya bisa dilewati sepeda motor. Dari Meulaboh, ibu kota Aceh Barat, jarak ke Sikundo masih 80 kilometer.
Saat kemudian tiba di desa itu, saya terperangah. Sebuah mobil Toyota Avanza tampak terparkir di tepi sungai. Ternyata, Sikundo yang dulu sukar diakses, kini sudah bisa dijangkau dengan kendaraan roda empat.
Baca juga: Jembatan Pemutus Keterisolasian Sikundo
Sikundo terlihat lebih semarak. Warga yang melintas tambah ramai. Rumah komunitas adat bantuan pemerintah yang dulu masih proses pembangunan, juga telah ditempati. Sudah ada nyala listrik. Poliklinik Desa juga telah beroperasi.
Bukan hanya mobil pribadi, mobil double cabin atau bergardan ganda juga hilir mudik di Sikundo. Mobil itu mengangkut bahan bakar dan pekerja ke lokasi tambang emas ilegal. Pembangunan jembatan di Sikundo, di satu sisi memberikan keberkahan bagi warga. Di sisi lain mempermudah aktivitas tambang emas ilegal.
Kini nyaris tidak ada lagi yang bicara tentang Sikundo. Pembangunan jembatan gantung dianggap telah menjawab persoalan di sana. Sementara dampak pembangunan jembatan, berupa aktivitas tambang emas ilegal yang berakibat pada rusaknya alam, terkesan dibiarkan.