Lampu Teplok dan Jembatan Baja di Sikundo
Kehidupan warga Sikundo di Aceh Barat sarat ironi. Bergenerasi hidup dalam keterbatasan segala bentuk infrastruktur, tahun ini satu per satu harapan terwujud.
Kehidupan warga Sikundo di Aceh Barat sarat ironi. Bergenerasi hidup dalam keterbatasan segala bentuk infrastruktur, tahun ini satu per satu harapan terwujud.
Di bawah temaram lampu teplok, Bunsuri (45) mengoles salep di kaki anak bungsunya, Zamzami (7). Sudah dua minggu kaki Zamzami kudisan. Ia selalu mengeluh gatal.
Belum pernah ia dibawa ke puskesmas, 25 kilometer dari kampung mereka, Desa Sikundo, Kecamatan Pantee Ceureumen, Kabupaten Aceh Barat, Aceh. ”Obat ini dikirim ayahnya melalui orang kampung. Sudah sering seperti ini, pakai salep langsung sembuh,” kata Bunsuri, Jumat (15/2/2019).
Dari kampung itu, akses menuju kecamatan terbilang buruk: jalan tanah, berbatu, dan menanjak. Jika hujan, sukarlah dilalui.
Tiga malam, suaminya, Ridwan (47), yang sedang berbelanja kebutuhan di kota, belum pulang. Sore hingga tengah malam itu hujan deras mengguyur Sikundo. Lidah api lampu teplok menari-nari diterpa angin yang masuk lewat celah-celah dinding kayu. Lampu berbahan bakar solar itu satu-satunya alat penerangan warga Sikundo. Jaringan listrik tiada.
Lelah menunggu ayahnya pulang, Zamzami mengajak ibunya tidur. Mereka tidur di ranjang kayu dengan kelambu. Di rumah tak ada perabotan, tiada pula hiasan dinding.
Saat pagi masih remang, Bunsuri menyusun kayu bakar di tungku. Nasi sisa semalam pun digoreng, ditambahi bawang dan potongan cabai. Program konversi minyak tanah ke elpiji tidak sampai ke Sikundo. Kayu bakar eksis turun-temurun.
Bangun tidur, tanpa membasuh muka, Zamzami melesat ke luar rumah. Satu jam baru pulang, lalu sarapan nasi goreng lauk irisan timun.
Lepas dari urusan sakit kudis atau akses desa ke kota kecamatan, hati Bunsuri gundah. Buah hatinya saatnya masuk SD. Sekolah di Sikundo sejak 2014 tidak aktif.
Untuk sekolah, seperti anak-anak lain di Desa Sikundo, tiga anak Bunsuri dititipkan kepada saudaranya di desa tetangga. Dua minggu sekali ia jalan kaki 15 kilometer menjenguk mereka dan mengantar uang jajan. ”Saya ingin anak-anak pintar,” kata Bunsuri, yang tak pernah sekolah.
Untuk menuju ke kebun, warga Desa Sikundo, sebuah desa terpencil di Kecamatan Pante Ceuremen, Kabupaten Aceh Barat, Provinsi Aceh, masih menggunakan jembatan tali baja. Kini warga berharap perbaikan jalan, jaringan listrik, dan fasilitas kesehatan dibangun.
Masalah akses
Desa Sikundo adalah desa terpencil di Aceh Barat. Letaknya di pegunungan dan hutan belantara. Sikundo berbatasan dengan Kabupaten Nagan Raya dan Aceh Tengah. Jarak dari Kota Meulaboh sekitar 80 kilometer.
Akses ke Sikundo sulit. Setelah melewati Desa Jambak, desa terakhir yang diaspal, masih 6 kilometer lagi melalui medan sulit. Beberapa titik jalan nyaris putus karena abrasi sungai.
Kendaraan yang bisa melewati adalah mobil gardan ganda, sepeda motor gunung, dan sepeda motor ban modifikasi. Namun, jika hujan, terpaksa jalan kaki karena luapan sungai.
Jumlah penduduk Sikundo 39 keluarga atau 138 jiwa. Mereka hidup dari bertani padi, cabai, pinang, kemiri, jengkol, dan durian. Hasil panen dijual ke ibu kota kecamatan, diangkut melalui sungai menggunakan ban dalam mobil.
Kepala Desa Sikundo Jauhari menuturkan, desa itu telah dihuni era Cut Nyak Dhien tahun 1880-1901. Nama Sikundo dipercaya pemberian Cut Nyak Dhien karena daerah itu tempat persembunyian saat dikejar tentara Belanda. Sikundo dari kata kundo (kendor/reda).
Pada 1990-1998, kawasan Sikundo masuk perusahaan hak pengusahaan hutan (HPH) PT Raja Garuda Mas. Perusahaan lain menambang emas di sana.
Pada era konflik Aceh, perusahaan itu angkat kaki. Sikundo dianggap daerah merah oleh tentara. Banyak anggota Gerakan Aceh Merdeka (GAM) saat itu bersembunyi di sana. Kontak senjata kerap terjadi. Warga Sikundo yang tak aman lagi direlokasi ke Pantee Ceureumen tahun 2000.
Setelah perdamaian Aceh, tahun 2005 warga kembali ke Sikundo. Mereka membangun kembali kampung. ”Kami lahir di sini. Ini tanah nenek moyang. Kami ingin hidup dan mati di sini,” kata Jauhari.
Kala itu, akses ke Sikundo sangat ekstrem. Warga berjalan kaki menyusuri sungai. Mereka menyeberangi sungai dan menaiki tujuh jembatan tali baja hingga 2016.
Dana desa
Saat pemerintah mulai mengucurkan dana desa, perlahan-lahan Sikundo bangkit. Warga sepakat menggunakan dana desa untuk membangun jalan. Untuk itu, mereka harus memindahkan aliran sungai.
”Pemerintah bilang, aliran sungai tidak boleh digeser. Apa pun risikonya, warga sepakat membangun jalan. Kalau menunggu pemerintah daerah bangun jalan, kapan?” katanya.
Dana desa tahun 2016 dan 2017 sebesar Rp 700 juta digunakan membangun jalan sepanjang 3,5 kilometer. Paling tidak, kini telah bisa dilalui sepeda motor. ”Kami sangat bersyukur dengan dana desa. Kami mulai bisa membangun,” ujarnya.
Namun, jalan itu belum terbilang baik. Ada beberapa titik rawan longsor, tergenang, menanjak, dan terjal. Warga berharap pemerintah membangun jalan yang lebih baik agar hasil pertanian dapat diangkut.
Harapan kian besar. Jembatan gantung menuju Sikundo rampung dan bisa digunakan pada 12 Februari 2019. Jembatan ini terbentang 90 meter dengan lebar 2,3 meter yang bisa dilalui mobil, menggantikan jembatan seutas baja.
Tahun ini juga, 39 rumah layak huni bantuan Kementerian Sosial akan dibangun. Jauhari optimistis, Sikundo perlahan-lahan akan maju.
Harapan lain, SD di Sikundo aktif lagi sehingga anak-anak di luar desa bisa berkumpul dengan keluarga lagi. Tenaga medis juga bisa ditempatkan di poliklinik yang dibangun.
Kepala Dinas Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Aceh Barat Bukhari mengatakan, perbaikan jalan menuju Sikundo akan dilaksanakan tahun 2019 senilai Rp 6 miliar. ”Sekarang proses lelang. Akhir tahun 2019 jalan ke Sikundo teraspal,” ujarnya. Sekolah juga akan diaktifkan lagi.
Soal listrik? ”Juni 2019, pembangunan jaringan listrik dimulai. Sikundo akan terbebas dari gelap,” kata Manajer PLN Area Meulaboh Ediwan.
Bergenerasi hidup dalam gelap, tanpa layanan listrik, jalan, pendidikan, dan kesehatan yang memadai, saatnya warga Sikundo memperoleh hak lebih baik yang sungguh mereka dambakan. Saatnya temaram lampu teplok di rumah Bunsuri dipensiunkan, berganti penerangan layak yang membawa produktivitas dan kesejahteraan.