“Apple Fanboy” di Pesta Penguasa Android
Saya sudah sangat nyaman dengan iPhone. Tetapi saya merasa tidak enak jika saat wawancara dengan CEO Samsung Telecomunication, DJ Koh, saya menggunakan produk Apple, saingan Samsung. “Acara Samsung kok pakai iPhone".
Kesempatan menghadiri pesta peluncuran Samsung Galaxy A7 dan A9 ditambah mewancarai CEO Samsung Telecomunication DJ Koh di Kuala Lumpur pada Oktober 2018, menyadarkan saya akan dua hal penting.
Pertama, ekosistem ponsel pintar berbasis Android ternyata berkembang begitu pesat. Kedua, tidak cukup jika saya terus-menerus hanya menjadi seorang "Apple Fanboy".
Tahun 2013, saya mulai menjadi pengguna produk Apple lewat iPod Touch 5. Prinsip sederhana dan pondasi yang diletakkan mendiang Steve Jobs (pendiri dan mantan CEO Apple) bikin saya jatuh hati pada perangkat itu.
Pertama, ekosistem ponsel pintar berbasis Android ternyata berkembang begitu pesat. Kedua, tidak cukup jika saya terus-menerus hanya menjadi seorang "Apple Fanboy".
iPod adalah perangkat yang tidak punya fungsi seperti menelpon dan sms. Lebih ke fungsi pemutar media digital seperti lagu dan video. Sebelum memiliki kamera, iPod menjadi senjata untuk semua kebutuhan liputan pada awal karir saya sebagai jurnalis.
Perkenalan dengan iPod, membawa saya mencoba perangkat Apple lainnya. Saya mulai menabung agar bisa membeli Macbook, iPhone, hingga iPad. Sejak saat itu, saya mendeklarasikan diri sebagai Apple Fanboy, sebutan bagi penggemar produk Apple.
Saat itu, perangkat Android sebenarnya sudah mulai bermunculan. Beberapa tahun sebelumnya, kira-kira dua tahun setelah iPhone pertama dirilis pada 2007, perangkat android pertama hadir lewat HTC Dream, keluaran HTC.
Seperti iPhone, ponsel pintar berbasis Android juga terus bermunculan, termasuk dari Samsung. Namun, kecintaan pada produk Apple, menutup mata saya terhadap Android. Apple tetap nomor satu, sementara produk Android tidak begitu menarik.
Kalaupun sempat menggunakan perangkat Android antara tahun 2014-2017, saya jadikan perangkat kedua. Fungsinya tidak lebih dari sekadar berbagi jaringan internet (hotspot). Perangkat utama tetap produk Apple.
Lengkapnya ekosistem Apple dengan integrasi perangkat yang begitu seamless (mulus), membuat saya sulit pindah ke perangkat lain.
Fitur air drop misalnya, hanya butuh hitungan detik untuk memindahkan dokumen dari satu perangkat Apple ke perangkat Apple lainnya. Tidak perlu sambung dengan kabel, cukup salin dan tempel (copy dan paste) jika menggunakan perangkat berbeda.
Tidak hanya menggunakan, saya juga mengikuti setiap informasi tentang Apple, laiknya penggemar Apple lainnya. Termasuk perilisan produk-produk barunya setiap tahun. Setahun kemudian, saya akan memperbaharui perangkat saya dengan produk tersebut.
Dinas ke Kuala Lumpur
Pada 2018, saya mendapat tugas kantor menghadiri acara peluncuran produk terbaru Samsung di Kuala Lumpur. Sesuai undangan, produknya adalah Galaxy A7 dan A9 2018. Seri A yang saat ini telah mencapai varian A73, adalah salah satu seri ponsel pintar Samsung.
Berbeda dengan seri S yang masuk kelas produk utama (flagship), seri A masuk kategori produk mid range atau menengah Samsung. Selain itu, Samsung juga punya produk kategori entry level (perangkat dengan fitur standar).
Seri mid range ditujukan untuk mereka yang sudah mengenal smartphone dan hobi menjajal perangkat baru dengan fitur yang lebih terbaru. Sedangkan entry level biasanya untuk pengguna ponsel dengan fungsi telpon dan sms saja.
Mendapat tugas meliput produk Android membuat saya kalang kabut. Saat itu, saya menggunakan iPhone 8 sebagai ponsel harian. Hal pertama yang kemudian saya lakukan adalah berkomunikasi dengan salah seorang senior di Kompas, penggemar perangkat Android.
Saya berkonsultasi tentang tugas liputan itu. Terutama topik yang harus diangkat. Apalagi dalam undangan, ada agenda wawancara dengan DJ Koh, CEO Samsung Telecommunication. DJ Koh adalah sosok kunci seri Galaxy dari Samsung.
Selain berkonsultasi dan membaca segala hal tentang Samsung, saya juga memutuskan mengganti ponsel pintar selama menjalani tugas liputan itu. Kebetulan, pada 2018, kantor baru saja membagikan perangkat kerja baru, yakni Samsung Galaxy A8 plus.
Awalnya, saya tidak ngotot untuk mendapatkan perangkat itu. Saya sudah sangat nyaman dengan iPhone 8. Tetapi saya merasa tidak enak jika saat wawancara dengan DJ Koh, saya menggunakan produk Apple, saingan Samsung.
“Acara Samsung kok pakai iPhone,” kira-kira begitu pesan singkat saya ke bagian Sekretariat Redaksi Desk Nusantara. Saat itu, saya masih bertugas di Padang, Sumatera Barat.
Saya akhirnya mengontak kantor dan meminta dikirimkan Galaxy A8 Plus tersebut. Untuk berjaga-jaga, saya tetap membawa iPhone 8 sebagai perangkat kedua. Setelah perjalanan dua jam kurang dari Padang, saya tiba di Kuala Lumpur untuk mengikuti acara bertajuk ”4x Fun, A Galaxy Event”.
Saya benar-benar deg-degan.
Bertemu DJ Koh
Tanggal 12 Oktober 2018 atau sehari setelah tiba di Kuala Lumpur, bersama beberapa rekan media dari Jakarta, kami dibawa ke hotel yang menjadi lokasi acara. Sebelum acara utama, kami mendapat sesi wawancara khusus dengan DJ Koh.
Wawancara berlangsung dalam Bahasa Inggris. Sebelum tiba di sana, pihak Samsung Indonesia terlebih dulu meminta kami mengirimkan daftar pertanyaan. Lalu saat bertemu DJ Koh, kami tinggal menyampaikan ulang. Agar tidak ada kesalahan, saya menggunakan Samsung Galaxy A8 Plus sebagai perekam selama wawancara.
DJ Koh adalah sosok yang sangat ramah dan murah senyum. Dengan bahasa Inggris yang tidak semua saya mengerti (misalnya menyebut “Galaxy” dengan “Gelak” dan saya mendengarnya “Deluxe”), ia menjelaskan tentang perkembangan ponsel pintar di dunia berikut strategi Samsung ke depan.
“Semua orang tahu bahwa pasar sudah jenuh. Akan tetapi, kesempatan yang lain ada di depan kami, seperti kecerdasan buatan, produk terkoneksi internet, pembelajaran mesin, dan jaringan 5G. Bahkan, saya yakin 5G akan menjadi kesempatan besar bagi industri ponsel pintar di masa mendatang,” kata DJ Koh saat itu.
Menurut DJ Koh, seperti yang telah dilakukan Samsung dalam 10 tahun terakhir (hingga 2018), mereka akan terus berinovasi dalam teknologi. “Apalagi, kami memiliki peta jalan teknologi jangka panjang. Tentu, pada saat yang sama, fokus kami adalah konsumen, yakni dengan terus menghadirkan inovasi yang berarti bagi mereka. Menghadirkan teknologi yang bisa mereka banggakan dan cintai,” kata DJ Koh.
Sepanjang wawancara, saya benar-benar menyimak penjelasan DJ Koh dan timnya tentang Samsung dan ketatnya persaingan, terutama antarprodusen ponsel pintar berbasis Android.
Penjelasannya tentang produk Galaxy dan bagaimana Samsung terus berinovasi untuk menghadirkan produk yang benar-benar dicintai penggemarnya, mulai membuka mata saya tentang Android. Ada persaingan tiada henti dan berbagai inovasi baru yang terus bermunculan, saat saya merasa iPhone dengan iOS-nya adalah yang terbaik.
Principal Product Designer Mobile Communications Business Samsung Electronics Sang II Park semakin menyadarkan saya. Dalam sesi briefing ”A Series” Designer setelah acara peluncuran, Park mengatakan Samsung melakukan riset mendalam sebelum peluncuran Galaxy A7 dan A9.
Riset yang dilakukan bersama enam kantor desain global itu meliputi riset sosial, budaya, dan tren desain. Berdasarkan riset itu, Samsung kemudian mengembangkan strategi dan desainnya.
“Ketika mendesain A9, misalnya, kami melakukan berbagai proyek untuk melihat perubahan secara global. Tentu, kami melihat secara khusus kepada milenial yang memang menjadi target utama dari seri Galaxy A, baik itu gaya hidup maupun pola pikir mereka,” kata Park.
Pesta peluncuran pun benar-benar meriah. Para penggemar Samsung yang hadir, benar-benar antusias. Begitu juga setelah acara, semua benar-benar memanfaatkan kesempatan mencoba Galaxy A7 dan Galaxy A9 2018. Sebagai penggemar iPhone, saya sempat merasa terasing di tengah lautan penggemar Samsung.
Tetapi saya sadar bahwa menerima hal lain itu tidak ada salahnya, termasuk perangkat berbasis Android. Apalagi dengan perkembangan teknologinya yang begitu signifikan.
Hal itu saya tunjukkan ketika memegang dan menjajal semua fitur dari kedua perangkat baru itu. Boleh dibilang, itu kali pertama saya benar-benar menjajal perangkat Android dengan sangat mendalam. Tidak hanya kelebihan, tetapi juga kekurangannya.
Tidak ada satu pun ekosistem produk teknologi yang sempurna.
Galaxy A9 misalnya, terlihat begitu premium dengan frame metal dan material kaca di bagian depan dan belakang. Kesan premium itu dipertegas oleh gradasi warna hijau dan kuning yang terlihat sangat menarik.
Sebagai ponsel pintar pertama yang mengusung empat kamera belakang, saya benar-benar terkesan dengan Galaxy A9. Fitur kamera ultra-wide mampu menciptakan gambar dengan sudut pandang yang lebih luas, baik dalam mode lanskap maupun portrait. Fitur-fitur itu tidak ada di iPhone 8 kebanggaan saya.
Liputan ”4x Fun, A Galaxy Event” memang hanya beberapa hari. Tetapi bertemu DJ Koh, berkumpul bersama penggemar ponsel Android, lalu “menguliti” Galaxy terbaru, membuat saya sadar bahwa tak baik menjadi penggemar fanatik ekosistem teknologi tertentu. Apalagi teknologi di ponsel pintar terus berkembang dari tahun ke tahun.
Tidak ada satu pun ekosistem produk teknologi yang sempurna. Baik Apple yang baru meluncurkan seri iPhone 14 atau Samsung yang akan segera meluncurkan seri Galaxy S23. Juga produsen ponsel pintar Android lain yang siap mengancam dengan senjata terbarunya.
Menggunakan kedua ekosistem sehingga saling melengkapi satu sama lain tentu lebih baik. Hampir empat tahun berlalu, saya pun kini menjadi penggemar produk Android dan juga Apple.