40 Hari Meliput Perang Ukraina-Rusia (1): Menghitung Risiko
Untuk meliput perang, alat perlindungan diri, seperti rompi dan helm antipeluru wajib dibawa. Dokumen asuransi juga penting untuk antisipasi hal buruk, seperti terluka dan cacat saat bertugas atau bahkan risiko kematian.
Meliput perang merupakan pekerjaan jurnalistik berisiko tinggi karena menyangkut keselamatan peliput. Karenanya, penting mempersiapkan diri untuk kemungkinan terburuk. Dengan demikian, upaya mitigasi pun dapat direncanakan lebih baik.
Sejak ditugaskan harian Kompas untuk meliput perang Ukraina-Rusia, selama lebih dari sebulan kami mempersiapkan diri. Semua pemenuhan kebutuhan didukung penuh oleh kantor.
Alat perlindungan diri, seperti rompi dan helm antipeluru, wajib dibawa. Selain itu, dokumen asuransi juga penting dimiliki kalau-kalau hal buruk menimpa, seperti terluka atau cacat saat bertugas atau bahkan risiko terburuk berupa kematian. Tak lupa piranti komunikasi dan logistik.
Untuk meliput perang, alat perlindungan diri, seperti rompi dan helm antipeluru, wajib dibawa.
Merancang skema komunikasi ketika berada dalam situasi genting tak boleh dilupakan. Selain menyiapkan alat komunikasi, penting pula menentukan siapa yang harus dikontak dalam situasi darurat.
Untuk itu, kami membawa telepon satelit untuk kebutuhan komunikasi serta modem satelit untuk keperluan mengirim berita, foto, dan video jika tidak terdapat sinyal komunikasi atau jaringan internet.
Sementara dokumen wajib yang perlu disiapkan adalah akreditasi dari militer Ukraina. Akreditasi ini menjadi pengganti kartu pers bagi jurnalis peliput perang di Ukraina, sekaligus menjadi syarat utama penerbitan visa Ukraina.
Untuk mengajukan akreditasi, kami harus mengisi formulir data diri dan kantor tempat bekerja. Butuh waktu tiga minggu sebelum pengajuan dikabulkan oleh pihak militer dan Kementerian Pertahanan Ukraina. Kami tidak tahu pertimbangan apa yang dipakai oleh pihak militer Ukraina untuk menerbitkan akreditasi tersebut.
Yang jelas, setelah akreditasi keluar, kami segera mengurus visa ke kantor Kedutaan Besar Ukraina untuk Indonesia di daerah Kuningan, Jakarta Selatan. Kami juga perlu mengurus visa Polandia karena negara itu akan menjadi tempat transit kami sebelum masuk Ukraina mengingat bandara internasional Boryspil di Ukraina lumpuh akibat serangan rudal Rusia.
Peralatan
Secara paralel, sembari mengurus dokumen visa dan akreditasi, kami juga menyiapkan sejumlah peralatan yang dibutuhkan untuk meliput perang Ukraina-Rusia: rompi antipeluru, helm antipeluru, masker gas, drone, kantong tidur, hingga logistik. Tidak ketinggalan telepon dan modem satelit.
Berat total barang bawaan kami mencapai lebih dari 100 kilogram yang dikemas dalam tiga tas berkapasitas besar (duffel bag) dan beberapa tas ransel. Sebagai gambaran, berat dua rompi dan dua helm antipeluru saja sekitar 26 kilogram.
Akibatnya, kami harus membayar biaya tambahan kepada pihak maskapai karena kelebihan bagasi. Harga seluruh peralatan yang dibeli harian Kompas itu lebih dari Rp 200 juta.
Baca juga: Dicegat "Penjaga Lubang" di Maybrat
Di luar itu, peliput juga membawa peralatan liputan standar, seperti laptop, kamera, drone, hingga ponsel, selain perlengkapan survival dan logistik khusus untuk situasi darurat.
Liputan perang memang membutuhkan persiapan panjang. Biaya puluhan ribu dollar AS sesungguhnya hanya sebagian kecil dari risiko yang harus dihitung. Cedera yang berpotensi menghasilkan cacat permanen pada tubuh hingga risiko kehilangan nyawa adalah pertimbangan utama.
Sejak rencana disusun, harian Kompas menyadari peliputan ke Ukraina akan menelan biaya besar. Dalam proses membuat laporan selepas pulang dari Ukraina, terhitung biaya langsung saja hampir Rp 600 juta. Itu hanya untuk tiket, akomodasi, dan asuransi. Belum termasuk biaya membeli berbagai perlengkapan dan peralatan.
Baca juga : Menembus Jantung Perang Eropa
Harian Kompas memantau ketegangan di Ukraina secara intensif sejak pertengahan 2021, bersamaan dengan pantauan berbagai masalah lain yang terjadi di panggung internasional. Kemanusiaan dan perekonomian menjadi alasan utama pemantauan itu.
Indonesia amat berkepentingan dengan perkembangan di sana. Lebih dari 200 warga Indonesia tinggal di Ukraina sebelum perang meletus. Bersama Rusia, Ukraina juga pemasok penting aneka kebutuhan global.
Gangguan pasokan yang berujung kenaikan harga selama beberapa bulan terakhir adalah bukti peran vital Rusia-Ukraina bagi perekonomian global.
Baca juga: "Ndeprok" di Edinburgh demi Ratu Elizabeth II
Penjajakan liputan ke Ukraina berlangsung sejak awal Februari 2022. Saat akhirnya perang meletus pada 24 Februari 2022, rencana liputan lapangan segera dimatangkan.
Ada dua pertanyaan pokok dalam penyusunan rencana itu: materi yang akan diliput dan bagaimana menjalankannya dengan tetap mengutamakan keselamatan. Sebab, bagaimanapun, tidak ada berita seharga nyawa.
Materi liputan yang mempertimbangkan isu Ukraina dan lokasi peliputan menjadi perhatian utama. Meliput dampak perang, sisi kemanusiaan, atau situasi di garis depan tentu akan beda-beda lokasinya.
Koordinasi
Rencana keberangkatan kami sampaikan kepada Kementerian Luar Negeri RI dan TNI. Koordinasi dengan kedua lembaga itu dilakukan karena mereka yang bertanggung jawab terhadap proses evakuasi di berbagai lokasi konflik. Sejumlah lembaga lain tentu saja terlibat. Namun, nama dan keterlibatan mereka tidak mungkin diungkap kepada khalayak.
Pesan para pejabat Kemenlu RI sama. ”Mohon jangan sampai namanya sampai ke meja saya,” kata mereka.
Jika nama kami sampai tiba di meja mereka, berarti kami harus dievakuasi. Proses evakuasi WNI dari wilayah konflik tidak pernah mudah. Kala harus mengeluarkan lebih dari 200 WNI dari Ukraina pada Februari-Maret 2022, Kemenlu RI bersama sejumlah lembaga lain sudah bersiap sejak Desember 2021.
Baca juga : Korban Perang di Ukraina Bangkit dari Puing Serangan Bom
Selain dengan Kemenlu RI, ada juga koordinasi dengan sejumlah jenderal dan perwira menengah TNI. Inti pertanyaan dan pesan mereka sama, cara evakuasi. ”Sudah pernah atau masih ingat materi SERE?” kata seorang jenderal yang ditemui salah seorang dari kami pada Mei 2022.
Pertanyaan jenderal yang enggan diungkap nama dan tempat dinasnya itu merujuk pada Survival, Evasion, Resistance, and Escape (SERE). Setiap prajurit TNI yang dikirim ke daerah konflik harus menguasai keterampilan melarikan diri dan bertahan hidup kala dikejar lawan.
Pertanyaan-pertanyaan itu diajukan karena mereka ingin memastikan harian Kompas memahami risiko berangkat ke medan perang. Bagi setiap perwira perancang operasi militer, untuk keperluan serangan atau evakuasi, risiko terbesar adalah kehilangan nyawa orang di lapangan. Risiko lainnya adalah mengeluarkan biaya.
Baca juga : Menyelami Tragedi Kemanusiaan Mengabarkan Sekecil Apa Pun Upaya Perdamaian
Pemimpin Redaksi Kompas Sutta Dharmasaputra teguh pada pendirian bahwa liputan lapangan dari Ukraina merupakan hal yang penting. Dia juga aktif menggali informasi untuk persiapan liputan.
”Liputan ini sangat berisiko. Namun, mengingat sedemikian penting bagi kemanusiaan, tugas suci ini kami coba jalankan sesuai visi awal harian Kompas, yakni memperjuangkan humanisme,” tulis Sutta dalam catatan pembuka liputan Ukraina.
Meski berangkat ke daerah konflik, perang bukanlah fokus utama laporan. ”Kami akan memfokuskan pada persoalan-persoalan kemanusiaan dan upaya sekecil apa pun untuk terwujudnya perdamaian,” tulis Sutta.
Baca juga: Ada Apa di Balik Dua Versi "Kompas"?
Pendekatan jurnalisme damai yang kini banyak dikembangkan media arus utama berbeda dengan pendekatan konvensional dalam meliput perang. Perang tidak dilihat sebagai hanya pertukaran kekerasan dua pihak, win and lose. Pers justru harus proaktif mewujudkan situasi win-win dan terciptanya perdamaian.
Jurnalis tidak memosisikan sebagai pengawas, tetapi menyemangati perdamaian. Jurnalis tak menjadi penonton atau pengamat, tetapi merasa ikut dalam perahu untuk mewujudkan perdamaian.
Pendekatan jurnalisme damai yang kini banyak dikembangkan media arus utama berbeda dengan pendekatan konvensional dalam meliput perang. Perang tidak dilihat sebagai hanya pertukaran kekerasan dua pihak, win and lose.
Nantikan kisah ”40 Hari Meliput Perang Ukraina-Rusia” selanjutnya.