Yang Tak Terlupakan di Gunung Bromo
Lelah cepatlah hilang, tetapi kenangan tak mudah lekang. Itulah yang saya alami setiap datang ke Bromo. Bukan saja panoramanya, tetapi ada satu hal yang selalu diingat dan membuat saya ingin selalu kembali ke sana.
Bagi saya, Gunung Bromo memberi pengalaman mendalam, tidak hanya terkait pekerjaan, melainkan juga kesan pribadi. Gunung Bromo sudah lama saya anggap sebagai ruang untuk istirahat yang memanggil-manggil untuk dikunjungi. Kabut, udara dingin, serta pemandangan yang indah menjadi semacam penawar racun di dalam diri.
Tidak pernah aneh-aneh, sih, saat berkunjung. Ketika ke sana bersama teman-teman atau keluarga, biasanya saya menyewa satu kamar besar milik Pak Muliad, warga lokal yang sudah sangat saya kenal.
Di kamar itu, saya bersama sembilan teman pewarta foto lainnya pernah berbincang panjang lebar sambil menunggu waktu meliput ritual Yadnya Kasada. Topiknya beragam. Kami mengobrol sambil ngopi dan menyantap makanan, dengan tubuh tetap di balik jaket tebal ditambah balutan selimut.
Di kamar itu, saya bersama sembilan teman pewarta foto lainnya pernah berbincang panjang lebar sambil menunggu waktu meliput ritual Yadnya Kasada.
Saat bosan menyapa, kami pergi ke dapur dan ganti berbincang di sana. Terasa lebih hangat karena berada di dekat bara api yang dinyalakan. Tambah hangat karena sambil menyantap makanan yang disediakan. Jika masih bosan juga, kami pergi ke bukit di belakang rumah lalu berjalan hingga ke bibir kaldera sambil mematut keindahan bentang alam kawasan Gunung Bromo.
Kesempatan berkunjung ke Bromo kembali datang beberapa waktu lalu karena hendak meliput warga Tengger yang akan merayakan Yadnya Kasada pada 15-16 Juni 2022.
Sebelum berangkat, segala informasi mengenai rencana puncak peringatan Kasada pun menjadi menu diskusi kami, para pewarta foto yang bertugas di wilayah Jawa Timur. Selain membicarakan tentang syarat liputan dan detail acara yang akan dilaksananakan, kami juga membahas tentang transportasi menuju ke sana.
Baca juga: Menyamar Demi Bertemu Anak-anak Rimba yang Kesakitan
Rencana meliput Kasada kami ibaratkan seperti pelajar yang menunggu-nunggu waktu berdarmawisata. Penuh semangat.
Apalagi, karena selama pandemi, Yadnya Kasada diselenggarakan dengan aturan protokol kesehatan yang ketat. Selain kawasan ditutup untuk aktivitas wisata, para wartawan yang hendak meliput juga diharuskan mendaftarkan diri kepada pihak yang ditunjuk.
Bukan tanpa alasan tentunya kebijakan tersebut diberlakukan. Selain masih masa pandemi, menjaga kekhusyukan perayaan menjadi yang utama. Maklum, selama puluhan tahun aktivitas perayaan ini menjadi ”meriah” atas nama agenda wisata.
Acara yang harusnya berlangsung khidmat akhirnya luruh akibat gerak wisatawan yang berdesak-desakan ingin menyaksikan. Kemacetan di kawasan Bromo, dan padatnya wisatawan di bibir kawah, harus diakui telah mengganggu warga Tengger yang seharusnya bisa khusyuk saat prosesi berdoa dan melarung sesaji.
Status Gunung Bromo yang aktif, membuat bibir kaldera semakin tergerus. Ini menyebabkan pijakan kaki yang dulunya cukup lebar hingga bermeter-meter kini hanya menyisakan ruang yang sempit. Akibatnya, mereka yang hendak lewat pun harus bergantian.
Tahun ini, aktivitas pariwisata kembali ditutup selama perayaan Yadnya Kasada, sama seperti dua tahun sebelumnya. Bagi saya dan teman-teman yang meliput, tentu melegakan karena kami bisa lebih leluasa dalam bekerja merekam peristiwa. Tidak perlu bersaing dengan pengunjung.
Baca juga: Mengabadikan Kisah Perempuan Lewat Pameran
Sebenarnya tidak ada yang baru dalam kegiatan Yadnya Kasada kali ini. Seperti yang sudah-sudah, warga membuat sesaji dari hasil bumi dan mendoakannya. Setelah itu, mereka menuju kawah Bromo untuk melempar sesaji tersebut.
Perayaan yang diselenggarakan setahun sekali ini merupakan penghormatan warga Tengger kepada leluhur serta wujud rasa syukur kepada Tuhan atas hasil panen yang berlimpah.
Bagi saya pribadi, keberangkatan ke Bromo kali ini bukan melenggang begitu saja. Walaupun Bromo adalah wilayah kerja saya, redaktur menuntut saya lebih kreatif.
Harapannya, hasil foto saya tidak hanya bercerita tentang prosesi Yadnya Kasada yang sudah banyak diketahui orang. Tetapi, ada sisi lain kalau bisa hal baru yang dieksplorasi untuk nantinya disajikan kepada pembaca harian Kompas dan Kompas.id.
Saya harus berdiskusi dulu untuk menentukan target liputan di Bromo. ”Kasodo, kan, dari dulu ya begitu saja kegiatannya. Ada hal baru nggak yang bisa dikerjakan di sana nanti?“ tanya Wisnu Widiantoro, sang redaktur foto.
Pertanyaan yang mudah tetapi sulit jawabannya. Tidak gampang untuk mencari unsur kebaruan pada peristiwa yang sudah menjadi rutinitas selama bertahun-tahun. Terlebih ini menyangkut ritual keagamaan dan budaya.
Baca juga: Serasa Dipeluk Hantu
Saya pun berpikir keras. Untungnya karena sudah beberapa kali meliput kegiatan ini, saya jadi punya gambaran tentang apa yang akan temui. Ada dua rencana cerita yang saya gagas, yakni tentang kabut yang biasanya hadir selama acara dan tentang regenerasi budaya warga Tengger.
”Eksekusinya gimana?” lanjut Wisnu. Pertanyaannya semakin susah. Saya kemudian menjelaskan rencana pertama untuk membuat foto cerita dengan pendekatan portrait. Akhirnya, setelah memastikan target kerja, izin berangkat pun turun.
Saya lalu mulai mempersiapkan keberangkatan. Mulai dari menyiapkan baju hingga alat kerja. Kupluk, jaket tebal, kaus kaki, dan celana hangat tidak boleh ketinggalan. Kesannya sepele tetapi kalau sampai ketinggalan, siap-siap tersiksa oleh dingin udara malam. Bromo-nya memang dirindukan, tetapi tidak dengan dinginnya.
Waktu keberangkatan pun tiba. Saya bertolak tanggal 15 Juni dari Surabaya dan memilih jalur melalui Kabupaten Probolinggo. Tiba di Kecamatan Sukapura, saya dan rekan-rekan wartawan, mengurus izin untuk liputan. Setelah beres, saya langsung menuju kawasan Gunung Bromo.
Baca juga: Menembus Kabut Menyambut, Yadnya Kasada
Yadnya Kasada dengan puncaknya berupa larung sesaji ke kawah, berlangsung selama dua hari, yakni 15 dan 16 Juni. Namun berdasarkan kordinasi dengan rekan reporter Kompas, yaitu Dahlia Irawati, bahwa puncak yang akan diliput pada tanggal 16. Maka setiba di sana, saya gunakan untuk meliput persiapan warga dan menyiapkan fisik untuk liputan dari malam hingga pagi hari.
”Kalau pas liputan Yadnya Kasada jangan kenyang-kenyang perutnya,” tiba-tiba saya teringat anjuran seorang teman saat pertama kali meliput kegiatan ini.
Baca juga: Menjadi Korban "Semarang Laute Banjir"
Benar saja, seusai melihat warga Desa Ngadisari menyiapkan sesaji berupa hasil bumi, tuan rumah lalu meminta saya dan beberapa rekan yang meliput untuk makan.
Di ruang makan yang terletak bersebelahan persis dengan dapur tersedia beragam menu makanan, mulai dari sayur hingga ayam goreng. Sore itu kami bersantap diiringi wajah bahagia tuan rumah.
Ternyata ajakan makan tidak hanya kami terima saat berada di kawasan pemukiman warga. Saat bertemu beberapa warga Tengger di lautan pasir yang sengaja saya kejar untuk melengkapi foto cerita, mereka pun menawarkan hal serupa. Dengan tulus mereka suguhkan kue-kue dan penganan ringan yang ada.
Baca juga: Penjaga Tradisi Tengger di Lereng Bromo
”Jangan pernah menolak kebaikan orang,” pesan itu saya pegang teguh hingga kini. Tentu saja sepanjang tidak bertentangan dengan kode etik profesi.
Dalam perayaan Yadnya Kasada ini, kebaikan tersebut bisa diartikan sebagai bagian dari rasa syukur warga Tengger atas panen yang bagus.
Tentu bukan soal makannya melainkan ketulusan dan kebaikan hati mereka yang begitu saya apresiasi. Kebaikan itu seperti melengkapi keindahan kawasan Gunung Bromo.
Jika rasa lelah liputan dengan cepat hilang, tidak begitu dengan kebaikan-kebaikan mereka yang bersemayam lama dalam kenangan. Membuat siapapun enggan pulang, tertambat oleh pesona panorama dan kebaikan budi masyarakatnya.