Dari Lapangan Berakhir di Ruang Perawatan
Saya pun bergegas mengemasi beberapa lembar baju ganti. Setelah itu langsung masuk ambulans dan mengintip lewat jendelanya. Istri dan anak melambaikan tangan. Apakah saya akan kembali?
Di pos penyekatan Jembatan Suramadu yang masuk wilayah Surabaya, sejumlah petugas tampak bersiap. Satu dari dua ruas jalan dari arah Pulau Madura ditutup. Lewat radio panggil, petugas sibuk mendengarkan kondisi terakhir dari rekannya yang berada di ujung Jembatan Suramadu yang masuk wilayah Bangkalan, Madura.
Beberapa hari sebelumnya, sebuah ajakan untuk memblokade Jembatan Suramadu ramai tersebar di grup Whatsapp. Sejumlah warga Madura menolak penyekatan karena dianggap merugikan.
Beberapa hari sebelumnya, sebuah ajakan untuk memblokade Jembatan Suramadu ramai tersebar di grup Whatsapp.
”Ekonomi Madura hancur”. Itu satu kalimat yang saya ingat diteriakkan seorang warga yang mengancam hendak memblokade Jembatan Suramadu tapi belakangan ganti berunjuk rasa ke Balai Kota Surabaya.
Melihat perkembangan ini, tentu saja awak media pun bersiap membuat laporan. Bagi saya pribadi, ini menjadi peristiwa puncak dari serangkaian kejadian terkait kluster Covid-19 di Bangkalan.
Melonjaknya angka kasus yang sempat membuat pelayanan UGD di RSUD Bangkalan ditutup pada Sabtu (5/6/2021) membuat Pemkot Surabaya mengetatkan akses masuk ke kota itu bagi warga dari Pulau Madura.
Warga yang hendak memasuki Surabaya dari arah Madura harus menjalani tes antigen yang hasilnya hanya berlaku satu hari. Selama masa penyekatan di Suramadu, baik yang masuk wilayah Surabaya maupun Bangkalan, tim Satgas Covid-19 sudah melakukan tes usap antigen terhadap 47.139 orang. Hasilnya, 678 orang positif Covid-19 dari 1.471 orang yang dites lanjutan dengan metode tes usap PCR. Mereka kemudian diminta langsung menjalani isolasi.
Beberapa pasien positif tersebut terpapar virus covid-19 varian Delta B.1.617.2 asal India. Bisa dibilang momen ini menjadi titik krusial bagi siapa saja yang berinteraksi dengan mereka dari kemungkinan terpapar, termasuk wartawan.
Saya melamunkan hal itu di ruang isolasi di RS Muhammadiyah Lumajang. Hingga tiga hari sejak mulai dirawat, saya masih juga menebak-nebak di mana saya terkena Covid-19?
Baca juga: Berbalut Rompi Antipeluru, Pengalaman Saya Selama di Kota Kabul
Kemungkinan besar saya terpapar saat meliput momen pemeriksaan di Jembatan Suramadu, atau mungkin saat kegiatan Serbuan Vaksin di Lapangan Prapat Kurung Perak pada hari Kamis (24/6/2021).
Saat itu sempat terjadi hujan deras dan kerumunan pun tak terhindarkan. Semua yang hadir berdesakan di tenda-tenda pemeriksaan, berlindung dari hujan.
Esoknya, Gubernur Jawa Timur Khofifah Indar Parawansa yang hadir di acara tersebut terkonfirmasi positif Covid-19. Namun, saya yakin tidak tertular dari Bu Khofifah karena ketika saya memotret beliau, jarak saya cukup jauh. Atau jangan-jangan dari orang-orang di sekitarnya?
Setelah acara itu pun, saya masih baik-baik saja. Tidak ada gejala apa pun yang saya rasakan. Protokol kesehatan tetap ketat saya jalankan, termasuk saat tiba di rumah usai liputan. Saya langsung mandi sebelum berinteraksi dengan keluarga.
Baca juga: Merah Putih di Puncak Kilimanjaro
Kondisi ”baik-baik saja” berakhir pada Sabtu (26/6/2021). Saya masih sempat melihat, jam di dinding menunjukkan pukul 09.00 ketika saya mulai merasakan tidak enak badan. Selain suhu tubuh yang tinggi, saya merasakan sakit kepala yang amat sangat.
”Ah, ini hanya flu biasa,” pikir saya menenangkan diri. Benar saja, esoknya sakit kepala perlahan hilang. Begitu juga tubuh yang tidak lagi terasa panas.
Namun, dampak dari kejadian hari Sabtu masih terasa. Badan terasa lemas. Tidak ingin membuat keluarga dan teman-teman khawatir, saya pun memberanikan diri ke laboratorium untuk tes antigen.
Tiba di laboratorium yang tidak jauh dari rumah, belasan orang telah mengantre. Wajah mereka menunjukkan raut khawatir. Beberapa datang dengan dipandu keluarganya. Suara batuk terdengar silih berganti. Hati saya pun ciut dibuatnya.
Baca juga: Mampir ke Rumah Viktor Axelsen di Denmark
Tiba giliran saya dites. Saya menunggu setidaknya 30 menit untuk mengetahui hasilnya. Dalam rentang waktu itu saya lebih banyak menundukkan kepala, menekuri tanah di hadapan. Saya tidak berani memandang wajah orang-orang yang datang atau bertanya-tanya kenapa mereka mengikuti tes antigen.
”Bahana!”, tiba-tiba nama saya dipanggil. Seorang petugas berwajah lelah memberikan sebuah amplop. Belum juga sampai rumah, amplop sudah saya buka. Benar dugaan saya, saya hanya kena flu. Hasil tes saya dinyatakan negatif.
Dengan perasaan lega, saya pun kembali ke rumah dan disambut gembira oleh keluarga. Malam itu saya tutup dengan tidur pulas.
Esok harinya saya masih minta izin untuk tidak bekerja. Badan masih terasa lemas. Saya memutuskan tidur seharian.
Rupanya, kelegaan akan hasil tes antigen yang negatif tidak berlangsung lama. Pada Senin (29/6/2021) pukul 21.00, saya sadar telah kehilangan kemampuan untuk mengindera bau alias anosmia.
Malam itu saya lalui dengan gelisah. Saya sibuk mencari sesuatu yang beroma keras untuk saya cium. Mulai dari minyak wangi, minyak gosok, sabun mandi, hingga kopi. Hasilnya sama, semua tidak beraroma.
Baca juga: Mengintip Narasumber ”Creme de la Creme” dalam Liputan Terorisme
Wajah keluarga, teman-teman, dan tempat-tempat liputan terus berputar. Satu pertanyaan hadir di kepala, ”Lantas saya harus bagaimana?”
Karena sudah hampir tengah malam, saya memaksakan diri untuk tidur dan mengesampingkan pikiran tentang masalah ini hingga esok hari. ”Saya tidak bisa mencium aroma,” kata saya pada istri keesokan harinya. Wajahnya berubah. ”Tenang, saya ke Surabaya dulu. Ada satu tempat yang mau saya kunjungi,” tambah saya.
Pagi itu, dari Sidoarjo saya memacu sepeda motor kencang-kencang menuju satu tempat, yaitu Pasar Keputran yang memiliki tempat pengolahan sampah di depannya. Saya sering melintasi tempat ini dalam perjalanan menuju kantor setelah seharian liputan.
Bukan tanpa alasan kini saya sengaja mendatanginya. Bau busuk sampah dari sisa-sisa sayur yang ada di tempat penampungan menjadi alat uji coba paling efektif untuk menguji indera penciuman di tengah pandemi.
”Pasarnya tidak berbau,” pikir saya sedih. ”Lantas saya harus bagaimana?” pertanyaan yang muncul pertama kali setelah saya kembali merasakan anosmia. Saya segera menghubungi kantor dan disarankan mengikuti tes PCR. Istri dan anak yang merupakan kontak erat juga mengikuti tes serupa. Hasilnya diterima tiga hari kemudian.
Kondisi saya menimbulkan kekhawatiran tersendiri bagi keluarga besar. Karena saya mempunyai komorbid, adik saya menyarankan untuk menjalani isolasi di rumah sakit. ”Jika terjadi hal yang genting dapat cepat tertangani,” ujarnya.
Baca juga: ”Saya Noordin”, Sebuah Pelajaran Pahit Jurnalisme Sensasi
Saya sempat menolak karena semua rumah sakit rujukan di Surabaya saat itu penuh dan terjadi antrean panjang bagi yang hendak rawat inap. Tiba-tiba adik memberi kabar bahwa ada ruang perawatan kosong di sebuah rumah sakit di Lumajang. Jaraknya puluhan kilometer dari Surabaya.
”Dah gak usah khawatir, ada ambulans yang akan jemput. Mas siap-siap saja,” kata adik saya lewat telepon. Adik saya yang bernama Crienandini Patria ini tinggal di Bekasi.
Pekerjaannya yang sering berhubungan dengan dunia medis membuat ia kenal banyak dokter. Kondisi ini ia gunakan untuk mencari informasi mengenai ketersediaan kamar inap.
Pada Rabu (30/6/2021) pukul 19.30, sebuah ambulans tiba di rumah. Baru kali ini saya meninggalkan kamera, alat kerja yang selama ini tidak pernah jauh dalam kondisi apa pun. Saat cuti sekalipun.
”Fokus pada penyembuhan, Bahana,” kata suara dalam kepala. Saya pun bergegas mengemasi beberapa lembar baju ganti. Setelah itu saya langsung masuk ambulans dan mengintip lewat jendelanya. Istri dan anak melambaikan tangan. Apakah saya akan pulang?
Di atas tempat tidur di ruang perawatan, saya memikirkan nasib. Kekhawatiran terus memuncak. Diperparah dengan berbagai informasi dan diskusi di grup Whatsapp yang terus mengabarkan tentang kenaikan kasus, jumlah pasien positif, hingga kabar duka.
Baru kali ini saya merasakan begitu tenggelam dalam pandemi. Bukan karena tidak bisa lagi mengusahakan mendapat foto terbaik, melainkan saya pun harus menjadi bagian dari angka-angka kasus aktif Covid-19.
Saya mulai menjauhi media sosial dan kabar duka yang menjadi momok bagi siapa pun yang tengah berjuang untuk sembuh. Banyak kawan memberi dukungan, tapi tidak sedikit yang kepo menanyakan di mana saya terinfeksi atau malah bertanya bagaimana rasanya kena Covid-19.
Di tengah perawatan, saya justru menemukan kekuatan dari rekan-rekan yang juga sedang berjuang sembuh. Setidaknya ada 15 teman bernasib sama yang rutin saya ajak berkomunikasi setiap harinya lewat Whatsapp.
Di tengah perawatan, saya justru menemukan kekuatan dari rekan-rekan yang juga sedang berjuang sembuh.
”Gimana kabar, Bro? Dah enak makan belum?”, ”Gimana, saturasi bagus?”, ”Sesaknya dah hilang kan?”, ”Jangan lupa obat dihabisin”, ”Ayo berjemur”. Begitulah sederet pesan yang rutin saya terima.
Beberapa yang saya ajak komunikasi merupakan rekan sesama wartawan. Di tengah pertanyan-pertanyaan ”standar” terselip obrolan tentang rindu pada pekerjaan. Walaupun saat ini dijalani dalam kondisi yang susah, kami sepakat bahwa pekerjaan inilah yang membuat kami hidup dan menghidupi.
”Ini mungkin saatnya kita memikirkan diri sendiri, tidak lagi memikirkan kebutuhan orang lain. Ini saatnya kita istirahat untuk modal perjalanan panjang selanjutnya,” kata saya dalam balasan pesan kepada seorang rekan yang ingin segera kembali liputan.
Setelah hampir sebulan positif, akhirnya pada 31 Juli 2021 saya dinyatakan terbebas dari Covid-19. Belasan kawan yang menjadi teman melewati hari isolasi ”bersama” telah lebih dulu sembuh dan kembali ke lapangan. Total, delapan hari saya di rumah sakit. Sisanya, menjalani isolasi mandiri di rumah.
Sayangnya, kabar duka datang dari seorang sahabat di Pamekasan. Wartawan foto Kantor Berita Antara, Cak Syaiful Bahri, berpulang. Ia terpapar setelah meliput kenaikan angka kasus Covid-19 di wilayah tempatnya bekerja.
Ia menjadi satu dari beberapa rekan wartawan di Jawa Timur yang meninggal akibat Covid-19. Saya yang diberi ”kehidupan kedua” hanya bisa berdoa, semoga mereka yang menjadi korban Covid-19 mendapat tempat terbaik di sisi Tuhan. Siapa pun yang masih hidup hendaknya mengambil banyak pelajaran.
Kini kasus aktif telah menurun. Tidak tampak lagi antrean warga di depan laboratorium menanti giliran. Namun, Covid-19 dengan variannya yang baru terus mengintai. Ia masih seperti pertama kali dulu saat menebar teror di seantero dunia, tidak terlihat mata telanjang, tetapi bisa membawa pada kematian.
Mari kita terus waspada, tidak lengah, dan terus patuh pada protokol kesehatan.