”Saya Noordin!”, Sebuah Pelajaran Pahit Jurnalisme Sensasi
Sekalipun ”Kompas” tidak sampai ikut terpeleset dalam euforia pemberitaan yang ternyata salah, buat saya, peristiwa 12 tahun lalu benar-benar memberi saya ”tamparan” pelajaran penting. Terutama dalam meliput terorisme.

Tempat persembunyian pelaku terorisme di Dusun Beji, Desa Kedu, Kecamatan Kedu, Kabupaten Temanggung, Jawa Tengah, menjadi tontonan warga sekitar usai penyergapan, Minggu (9/8/2009).
Potensi terjerembap ke dalam kekonyolan jurnalistik nyaris selalu saya hadapi ketika meliput terorisme selama bertahun-tahun dulu. Kekonyolan yang bisa merusak kredibilitas diri sendiri dan media tempat bekerja.
Setelah lewat satu dekade tersimpan, kini saya mencoba menceritakannya. Siapa tahu ada hal berharga yang bisa dipetik dari cerita ini.
Peristiwa perburuan dan penyergapan kelompok teroris senantiasa menjadi magnet bagi media massa. Namun, tak bisa dimungkiri, selama ini banyak media massa mengusung ”semangat” dramatisasi dalam peliputan terorisme. Untuk mencoba bertahan waras dan hati-hati di tengah iklim media yang seperti itu, boleh dibilang bukan main beratnya.

Polisi berlindung dari tembakan pelaku teror saat ledakan bom dan baku tembak di Pos Polisi Sarinah, Jalan MH Thamrin, Jakarta Pusat, Kamis (14/1/2016). Tujuh orang tewas dalam persitiwa itu.
Perlu saya akui, sebagai wartawan, hasrat untuk terdepan dalam memberitakan, mendapatkan scoop alias berita eksklusif dalam peliputan terorisme, senantiasa menggoda. Namun, di situlah pergulatannya agar tidak terjerumus ke dalam dramatisasi jurnalisme yang bisa berakhir konyol.
Di satu sisi, informasi harus akurat dan jangan sampai keliru, di sisi lain informasi juga harus mutakhir (updated) dan jangan sampai kebobolan. Mengelola itu semua menjadi pertarungan tersendiri.
Ketika penyerbuan masih berlangsung, banyak media elektronik dan online, seolah kompak membuat kesimpulan bahwa operasi polisi di Temanggung itu berhasil menangkap mati Noordin M Top.
Salah satu pengalaman yang membekas adalah peristiwa yang terjadi tepat 12 tahun lalu, pada 7-8 Agustus 2009. Saat itu, berbagai media massa nasional dan internasional heboh memberitakan peristiwa pengepungan sebuah rumah di areal persawahan di Dusun Beji, Desa Kedu, Temanggung, Jawa Tengah, oleh polisi Detasemen Khusus (Densus) 88 Polri. Rekan-rekan wartawan Kompas di Jawa Tengah pun melaporkan kejadian tersebut ke redaksi.
Sejak Jumat sore, 7 Agustus 2009, areal lokasi penyerbuan padat dikerumuni wartawan dan warga. Stasiun-stasiun televisi menayangkannya secara langsung, live. Penyerbuan yang berlangsung selama 17 jam hingga Sabtu, 8 Agustus 2009, itu ditampilkan di televisi terus-menerus selama berjam-jam. Tayangan dikemas dramatik bagai reality show. Penuh dengan adegan dar der dor.

Asap membubung dari sekitar rumah yang diduga menjadi persembunyian seorang teroris di Dusun Beji, Kecamatan Kedu, Kabupaten Temanggung, Jawa Tengah, Sabtu (8/8/2009).
Ketika penyerbuan masih berlangsung, banyak media elektronik dan online,seolah kompak membuat kesimpulan bahwa operasi polisi di Temanggung itu berhasil menangkap mati Noordin M Top, buron teroris legendaris yang sejak lama diburu habis-habisan oleh polisi.
Dalam penggerebekan itu, polisi menembak mati seseorang di dalam rumah tersebut. Mayatnya masih segar di TKP, belum dievakuasi, dan belum diidentifikasi oleh tim forensik kepolisian. Identitasnya juga belum terungkap.
Meski begitu, kalangan media sudah menyimpulkan bahwa mayat itu adalah Noordin. Kesimpulan tersebut cukup diberitakan dengan tameng klaim ”berdasarkan sumber tepercaya di Densus”.

Petugas menurunkan peti jenazah terduga pelaku teror sesaat setelah tiba di Instalasi Kedokteran Forensik RS Polri Pusat Raden Said Soekanto, Kramatjati, Jakarta Timur, Sabtu (8/8/2009). Belum diketahui pasti identitas orang yang tewas dalam penyergapan di Kedu, Temanggung, Jawa Tengah, itu.
Sekadar pengingat, tiga minggu sebelum penyerbuan polisi di Temanggung itu, pada 17 Juli 2009 terjadi serangan bom besar di dua hotel, The Ritz-Carlton dan JW Marriott, yang memakan sejumlah korban jiwa. Sahabat saya, seorang warga negara Belanda, turut menjadi korban dalam peristiwa itu. Meski nyawanya selamat, ia harus kehilangan kedua kaki.
Noordin M Top ditengarai turut terlibat dalam ledakan di kedua hotel itu. Ia juga terlibat dalam berbagai serangan lain sebelumnya. Sejak terjadinya ledakan itu hingga peristiwa penyergapan di Temanggung, hari-hari saya diisi dengan meliput perkembangan penyelidikan polisi terkait kedua peristiwa teror tersebut.

Petugas keamanan berjaga di depan Hotel JW Marriott, Mega Kuningan, Jakarta Selatan, pasca-ledakan di hotel tersebut, Jumat (17/7/2009). Akibat ledakan bom yang menguncang Hotel JW Marriott dan Hotel Ritz-Carlton, 8 orang tewas dan 53 orang terluka.
Saat kejadian di Temanggung pecah, saya baru tiba di kantor redaksi di Palmerah, Jakarta. Wakil Redaktur Pelaksana Kompas Andi Suruji (DIS) menghampiri saya di kubikel lalu menyerahkan print out berita breaking news dari situs media ternama Al Jazeera. Isinya menyebut polisi berhasil menangkap mati Noordin M Top di Temanggung.
Beberapa media asing lain—yang kerap dianggap lebih tepercaya akurasinya—turut memberitakan Noordin M Top berhasil ditangkap mati dalam operasi polisi di Temanggung. Sebut saja The Strait Times, Reuters, dan ABC online.
”Gimana nih Sar, bener enggak sih itu Noordin? Semua media udah bilang gitu,” ujar Mas DIS, panggilan akrabnya.
Saat itu, sebagai wartawan yang mengikuti perkembangan terorisme di Indonesia selama beberapa tahun sulit sekali menjaga kejernihan pikiran di tengah gempuran informasi yang belum bisa saya pastikan kebenarannya.
Baca juga: Media Internasional Laporkan Noordin M Top Tewas
Dalam kondisi demikian genting, menghubungi narasumber inti di kepolisian juga sangat sulit. Dari puluhan kali menelepon sumber, paling hanya satu kali yang diangkat. Demi mencari kepastian, saya harus menghubungi mereka secara berkala sembari memantau perkembangan liputan rekan-rekan Kompas di Temanggung.
Narasumber ”Crème de la crème”
Hal lain yang ruwet adalah memilih dan memilah narasumber yang tepat di kepolisian. Ini sangat krusial. Sebab, sekalipun polisi Densus, tidak berarti punya pengetahuan dan informasi yang tepat mengenai apa yang sedang terjadi.
Ada satu hal yang tidak diketahui awam saat itu, yakni siapa saja di kepolisian yang sesungguhnya tergolong crème de la crème terkait urusan terorisme. Mereka merupakan polisi-polisi yang tergabung dalam kelompok tanpa struktur yang menyebut diri sebagai Satgas Antiteror. Ulasannya saya tuliskan di sini.
Di kalangan wartawan, informasi dari sumber yang paling sahih biasa disebut sebagai A1. Namun, seberapa derajat A1-nya, perlu kejelian kita untuk memindai.
”Terakhir aku update ke sumberku masih bilang belum jelas di Temanggung itu Noordin atau bukan, Mas. Teman-teman yang liput di Temanggung sebaiknya tetap pantau kondisi di lapangan aja, Mas,” kata saya menjawab pertanyaan Mas DIS tadi.
Yang pasti, akurasi adalah pegangan terpenting, bukan spekulasi yang dibungkus label eksklusivitas, yang kadang berakhir jadi gimik semata, bukan esensi.
Satu hal yang saya syukuri, rekan-rekan dan terutama para redaktur di Redaksi Kompas berprinsip untuk selalu bersikap hati-hati dalam menyimpulkan fakta untuk diberitakan.
Ketika itu, kultur di redaksi sebenarnya tidak menekan reporter begitu rupa hanya demi memperoleh informasi eksklusif dalam berbagai isu. Berbeda dengan penggambaran dunia newsroom di film-film. Yang pasti, akurasi adalah pegangan terpenting, bukan spekulasi yang dibungkus label eksklusivitas, yang kadang berakhir jadi gimik (gimmick) semata, bukan esensi.
Meski saya terdengar yakin saat bicara dengan Mas DIS, tetapi sebenarnya saya limbung juga dengan informasi yang saya peroleh. Terlebih, nyaris semua media yang memberitakan peristiwa itu sudah bulat menyimpulkan bahwa sosok yang disergap di Temanggung adalah Noordin M Top.
Baca juga: Mengintip Narasumber "Creme de la Creme" dalam Liputan Terorisme

Tangkapan layar dari akun Iksan85 di Youtube berjudul "Detik-detik Penyergapan Noordin M Top" yang diunggah 8 Agustus 2009. Konten video ini merekam tayangan televisi mengenai pengepungan terduga teroris di Temanggung, Jawa Tengah, yang diklaim sebagai Noordin M Top.
Pertanyaan-pertanyaan skeptis berkeliaran tanpa henti di dalam kepala, bergulat dalam kebimbangan luar biasa. Benarkah sumber saya berkata benar sekalipun dia adalah narasumber tepercaya selama sekian tahun ini? Atau jika dia memang tidak berbohong, benarkah analisis dan kesimpulannya bahwa sasaran di Temanggung itu bukan Noordin? Bukankah kesalahan analisis bisa saja terjadi? Siapa yang harus saya percaya saat ini? Oh Tuhan....
”Kamu mau percaya saya atau TV?! Yang besar (sasaran operasinya) bukan di sana (Temanggung). Kamu tetap stay di Jakarta, tunggu telepon (saya) malam ini,” ujar salah satu sumber crème de la crème di Satgas Antiteror ketika itu setelah belasan panggilan telepon saya sebelumnya tidak ia angkat.
Nada suara si Sumber itu begitu yakin, tetapi tetap saja saya skeptis dan gamang luar biasa. Saya sebenarnya bisa saja tidak menuruti masukannya itu dan memutuskan meluncur ke Temanggung.
Bertahan di Jakarta
Setelah memeras otak dan menganalisis sendiri berbagai hal, akhirnya saya menghampiri Mas DIS. Saya katakan, saya putuskan tetap bertahan di Jakarta dan terus memantau situasi, khususnya arus informasi dari sumber-sumber di Satgas Antiteror yang juga masih bertahan di Jakarta. Jam demi jam terlewati dan kecemasan saya tak kunjung memudar.

Sejumlah aparat kepolisian mengepung sebuah rumah yang diduga menjadi persembunyian pelaku terorisme di Dusun Beji, Desa Kedu, Kecamatan Kedu Temanggung, Jawa Tengah, Jumat (7/8/2009).
Ini bukan soal tekanan dari redaksi, tetapi tekanan saya pada diri sendiri sehingga terasa jauh lebih menyiksa. Sebuah pertaruhan besar kerja jurnalistik rasanya seperti sedang saya pikul.
Sementara, dengan nanar saya menatap siaran live televisi di kantor redaksi yang terus-menerus menayangkan penyerbuan di Temanggung. Batin terasa terteror oleh penampakan betapa stasiun-stasiun televisi makin percaya diri luar biasa menyebut hasil tangkapan polisi di Temanggung itu adalah Noordin M Top. Tayangan tersebut tentunya diberi label ”eksklusif”, yang seolah menambah level kredibilitas.
Pengakuan itulah yang sepertinya membuat stasiun televisi tersebut kian percaya diri dalam mengglorifikasi keterangan yang sebenarnya amat sumir.
Reporter dari sebuah televisi bahkan mengutip keterangan ”gurih” dari narasumbernya yang diklaim tepercaya. Ia menerangkan, ketika sosok di dalam rumah itu diteriaki dari luar oleh polisi yang menanyakan identitas, sang teroris menjawab dengan tegas, ”Saya Noordin!”
Pengakuan itulah yang sepertinya membuat stasiun televisi tersebut kian percaya diri dalam mengglorifikasi keterangan yang sebenarnya amat sumir. Tayangan berisi reportase keterangan ”Saya Noordin!” itu yang sepertinya lantas memprovokasi media lain untuk menyimpulkan hal yang sama bahwa Noordin M Top berhasil ditangkap mati oleh Densus 88 Antiteror.
Namun, isi kepala saya berkata lain. Ketika itu entah mengapa saya teringat adegandalam film propaganda di rezim Orde Baru tentang partai komunis. Dalam salah satu dialognya ada tokoh yang berucap, ”Saya Nasution.”
Ditemani dua pengawal
Malam itu akhirnya saya bertahan di kubikel kantor dengan terus-menerus mengecek ponsel dan berusaha menghubungi beberapa narasumber setiap satu jam sekali.
Seiring itu, saya berusaha mengunci konsentrasi menulis dan menjahit laporan dari rekan-rekan di Temanggung soal lanjutan peristiwa pengepungan. Tetap tanpa kesimpulan bahwa sasaran tertembak adalah Noordin M Top. Saya menyusun tulisan dalam kekalutan luar biasa.

Petugas menjaga lokasi penggerebekan rumah milik Muhjahri di Dusun Beji, Desa Kedu, Kecamatan Kedu, Kabupaten Temanggung, Jawa Tengah, Sabtu (8/8/2009).
Redaktur saya ketika itu, almarhum Banu Astono atau AST, kerap memercayakan saya menjahit laporan seabrek dari rekan-rekan reporter yunior sampai senior. Mulai dari laporan rekan reporter yang ngepos di istana, laporan saya sendiri dari lapangan, sampai laporan dari rekan-rekan di sejumlah daerah di Indonesia. Semua harus bisa dijahit dalam satu tulisan yang padat dan muat dalam ruang yang terbatas di koran. Mas Banu menerapkan itu juga pada rekan reporter lainnya.
Menurut Mas Banu, sebuah tulisan utuh akan lebih baik jika dijahit sendiri oleh reporter yang punya horizon pengetahuan dalam isu terkait. Dengan begitu, reporter ikut terlatih pula dalam membangun struktur gambaran besar (big picture) dan rangkaian gambaran kecil (small pictures) dari suatu isu, lalu menyusunnya menjadi tulisan yang solid. Kebiasaan itu kini sangat membantu saya ketika menjalani tugas sebagai editor.
Saya membongkar kembali catatan pribadi dan kumpulan data selama ini lalu menulis artikel pendamping atau side story tentang rekam jejak perjalanan polisi antiteror memburu Noordin M Top tanpa membuat kesimpulan soal penyergapan di Temanggung. Tulisan itu menjadi lanjutan rangkaian berita terorisme selama tiga pekan terakhir sejak ledakan di Hotel JW Marriott dan The Ritz-Carlton.

Tangkapan layar berita tentang Noordin M Top.
Sampai akhirnya menjelang tengah malam, seusai deadline, salah satu narasumber menelepon saya.
”Kamu sekarang berangkat ke sini (Bekasi). Cepat ya! Nanti si X (menyebut nama) akan telepon kamu untuk tuntun ke lokasinya. Kita raid (sergap) malam ini (dini hari),” ujar sang sumber.
Suaranya yang berat dan dalam terdengar tegang. Malam itu, ruang redaksi sudah nyaris kosong. Untunglah tulisan-tulisan saya tadi sudah rampung. Artinya, saya bisa langsung melesat ke TKP (tempat kejadian perkara) di daerah Bekasi tanpa tambahan beban pikiran tentang tulisan.
Saat itu saya menyesal luar biasa telah lapor kepada Mas Banu. Jengkel sekali padanya....
Saya menelepon Mas Banu yang sedang dalam perjalanan pulang ke rumah dan melaporkan adanya rencana penyergapan di kawasan Jatiasih, Bekasi, Jawa Barat. Saya katakan, saat itu juga akan menyetir sendiri ke TKP. Tak saya sangka, Mas Banu malah melarang. Dia tidak mengizinkan saya pergi jika hanya sendirian.
”Tunggu! Kamu nurut aku ya, jangan berangkat sendiri! Tunggu sebentar, aku atur dulu biar ada yang temani kamu berangkat dari kantor,” ujarnya dengan nada otoritatif.
Saat itu saya menyesal luar biasa telah lapor kepada Mas Banu. Jengkel sekali padanya (maaf ya, Mas...). Jika biasanya saya ngeyel, kali ini terpaksa nurut. Saya membatin, seharusnya langsung cabut saja ke Bekasi dan baru melapor ketika sudah di TKP. Bukan apa-apa, saya benar-benar tak ingin buang waktu barang sedetik pun. Saya tak mau telat sampai di TKP! Namun, saya coba menghargai niat baik itu dengan menuruti permintaannya meski memendam dongkol.
Satu hal yang dipegang redaksi kami adalah tak ada berita seharga nyawa. Namun, bagi darah muda wartawan seperti saya saat itu, prinsip itu kadang ingin ditekuk-tekuk sedikit, apalagi saat adrenaline rush tengah memanas....

Rumah di Blok D Nomor 12, RT 004 RW 012, Kompleks Puri Nusa Phala, Jatiluhur, Jatiasih, Bekasi, Jawa Barat, digunakan sebagai tempat persembunyian dan perakitan bom. Suasana beberapa saat setelah penyergapan polisi di lokasi tersebut, Sabtu (8/8/2009). Sekitar pukul 04.00, ambulans yang mengangkut jasad dua tersangka meninggalkan lokasi.
Setelah menunggu sekitar 15 menit dalam kegelisahan yang tak terperi, akhirnya seorang satpam kantor, Pak Purwoko, ditugasi menemani saya ke TKP di Bekasi. Saya memutuskan tetap menyetir mobil sendiri, sementara Pak Pur cukup duduk manis di kursi samping kemudi. Ia tampak antusias dan bergairah malam itu karena akan merasakan liputan penyergapan teroris.
Saat mulai ngebut melajukan mobil, ponsel saya berbunyi, rupanya telepon dari Mas Banu. Selagi terburu-buru begitu, saya membatin, ”Aduh, apa lagi tho ini....” Rupanya ia memberi tahu bahwa rekan reporter Cokorda Yudistira (COK) akan menemani saya ke TKP. Mas COK kebetulan tinggal di daerah Bekasi.
Saya pun langsung berkoordinasi dengan Mas COK dan janjian menjemputnya di pintu keluar tol Bekasi Barat. Ketika sudah bersama di mobil, Mas COK cerita bahwa Mas Banu menugasinya mengawal saya, selain tentunya liputan juga. Jadilah malam itu saya dapat dua pengawal gara-gara Mas Banu.
Suasana di areal sekitar rumah yang dikepung polisi penyerbu terasa hening mencekam.
Kemudian telepon lainnya masuk. Rupanya dari polisi yang ditugasi narasumber tadi untuk menuntun saya lewat telepon demi kemudahan menemukan lokasi TKP di perumahan Puri Nusa Phala. Sesampainya di sekitar TKP, setelah memarkir mobil, saya, Mas COK, dan Pak Pur berjalan kaki mendekati titik lokasi.
Saya dan Mas COK memutuskan berpencar untuk meluaskan cakupan observasi. Pak Pur saya biarkan entah di mana. Saya mencari beberapa sumber saya yang stand by di sekitar lokasi.
Saya bersyukur, Mas COK membawa kamera saku. Suasana di areal sekitar rumah yang dikepung polisi penyerbu terasa hening mencekam. Samar terlihat segelintir warga sekitar yang menonton dari kejauhan. Garis kuning polisi terentang di mana-mana. Gelap membekap suasana di sekitar rumah sasaran. Seorang polisi yang berjaga bercerita, pasukan penyerbu sebenarnya sudah melepaskan tembakan sebelum saya tiba.
Barang bukti besar
Tak berapa lama, terdengar letusan tembakan demi tembakan yang tak mampu saya deteksi dengan mata dari mana arahnya. Dini hari itu terjadilah penyergapan dengan hasil tangkapan barang bukti besar yang cukup mengagetkan. Terungkap pula plot agenda serangan yang tak kurang mengejutkan.

Petugas kepolisian menutup pintu sebuah rumah di perumahan Puri Nusa Phala, Bekasi, Jawa Barat, Sabtu (8/8/2009) pagi. Rumah itu diduga tempat persembunyian orang-orang terduga jaringan teroris. Polisi mengepung rumah itu sejak dini hari dan menemukan bom-bom rakitan serta bahan peledak.
Penggerebekan rumah di Jatiasih itu berlangsung beberapa jam, tetapi tidak sampai 17 jam seperti di Temanggung. Jauh lebih efisien dan di saat klimaksnya terbebas dari dramatisasi siaran live televisi. Sebab, seluruh perhatian se-Indonesia raya saat itu masih fokus tertuju ke Temanggung.
Operasi di Jatiasih butuh waktu beberapa jam karena di dalam rumah yang dikepung itu terdapat barang bukti sejumlah bom rakitan yang siap ledak. Salah satunya, bom yang dipasang di mobil. Tambahan lagi, teroris juga memasang bom bobby trap di dalam rumah. Polisi terpaksa meledakkan bobby trap itu di TKP. Suara ledakannya begitu memekakkan telinga dan membuat isi dada bergetar.
Di tengah kegaduhan suara tembakan dan ledakan itu, saya mencatat kronologis dan suasana yang bisa tertangkap panca indera di buku catatan kecil yang selalu saya genggam. Polisi kemudian menangkap mati dua pelaku teror penting, salah satunya mantan napi terorisme, yakni Air Setyawan (28). Sekitar pukul 04.00, ambulans kepolisian datang menjemput jasad dua pelaku teror itu.
Bom-bom yang dievakuasi tersebut ternyata punya kekuatan ledakan yang amat besar. Sebagian bom dipasang di mobil untuk menjadi bom mobil. Ditemukan pula stok bahan peledak yang mencapai sekitar 100 kilogram.

Sejumlah barang bukti, termasuk bahan peledak seberat lebih dari 100 kilogram, ditemukan di rumah kontrakan di Kompleks Puri Nusa Phala Blok D4 Nomor 12, Kelurahan Jatiluhur, Kecamatan Jatiasih, Bekasi, Jawa Barat, Sabtu (8/8/2009).
TKP penting
Ternyata, TKP di Jatiasih ini jauh lebih penting ketimbang yang di Temanggung. Berarti benar informasi dari sumber saya tadi bahwa yang ”besar” itu di sini dan bukan di Temanggung. Lokasi di Jatiasih menjadi tempat persembunyian dan perakitan bom untuk menghadang dan meledakkan iringan kendaraan presiden saat itu, Susilo Bambang Yudhoyono alias SBY.
Mungkin karena pola karakter SBY selama menjabat, saat itu banyak pihak yang mencibir tak percaya, menganggap SBY bersikap dramatis, self-victimizing dengan mengaku-ngaku dirinya sebagai sasaran teroris.
Baca juga:”Ightiyalat” dan Legitimasi ala Joker
Padahal, dalam rekam jejak peristiwa terorisme di Indonesia dan di sejumlah negara lainnya, kepala negara menjadi sasaran (rencana) serangan oleh kelompok teror adalah lazim. Pembahasannya saya tuliskan di sini.
Sejak rezim Orde Lama, presiden sudah disasar kelompok teror di Indonesia. Jadi, rencana serangan tadi bukan soal SBY-nya, melainkan soal simbol kepala negara yang SBY atau si fulan atau si pitung atau siapa pun yang sedang mengembannya. Terorisme adalah soal permainan simbol.
Sebagai wartawan, skeptis dan kritis tentu sangat penting. Yang tak kalah penting juga adalah perihal adil sejak dalam pikiran sekalipun terhadap pihak-pihak yang sedang tidak disukai oleh publik dan diri sendiri.
Nyaris semua serangan teror dalam sejarah peradaban manusia adalah serangan terhadap simbol, bukan serangan terhadap korbannya itu sendiri. Korban ”hanya” dipakai sebagai sasaran antara. Bahkan, rumusan itu adalah salah satu parameter bagi sebuah peristiwa serangan untuk bisa dikategorikan sebagai bentuk terorisme atau bukan. Rumusan itu berpijak pada berbagai teori dalam kajian studi terorisme yang bisa dipertanggungjawabkan secara akademik.
Memahami dinamika doktrin di dalam kelompok-kelompok teror menjadi kunci penting untuk bisa memahami mengapa suatu pilihan sasaran serangan dibuat. Jadi, analisis yang dimuntahkan bukan berpijak pada asumsi, apalagi cuma berbasis mahzab ”nyinyirisme” semata.

Petugas kepolisian memeriksa barang bukti yang diamankan dari sebuah rumah di perumahan Puri Nusa Phala, Bekasi, Jawa Barat, usai operasi penggerebekan Sabtu (8/8/2009) dini hari.
Sebagai wartawan, skeptis dan kritis tentu sangat penting. Yang tak kalah penting juga adalah perihal adil sejak dalam pikiran sekalipun terhadap pihak-pihak yang sedang tidak disukai oleh publik dan diri sendiri. Jangan demi terlihat (seolah) kritis atau heroik, saya enggan dan gengsi untuk berusaha adil sejak dalam pikiran terhadap pihak-pihak, yang misalnya secara pribadi tak begitu saya sukai.
Sikap tersebut bisa membuat saya mengingkari fakta yang mengandung kebenaran hanya demi mengimani prasangka yang seolah lebih pas dan sesuai dengan ambisi ego saya. Saya bisa terjebak dalam nutpicking, jenis fallacy lainnya.
Ukuran sentimen ”suka tak suka” bukan bagian dari judgement atau pertimbangan saya sebagai wartawan dalam mengail kebenaran dari rentetan fakta. Dengan berpegang pada itu pula, saya mencerna fakta bukti-bukti soal agenda serangan terhadap presiden saat itu, SBY.
Kepergok Kapolri
Menjelang subuh, pengepungan mereda, terlihat Kepala Polri Jenderal (Pol) Bambang Hendarso Danuri datang ke TKP. Belum sempat saya sembunyi, BHD, panggilan bekennya di kalangan wartawan, sudah telanjur melihat kehadiran saya. ”Lho kok Mbak Sarie bisa ada di sini?” katanya dengan wajah curiga.
Spontan saya mengarang cerita bahwa ada wartawan Kompas yang tinggal di perumahan ini dan rumahnya masuk dalam radius yang harus disterilisasi polisi.
Penyerbuan tersebut mengharuskan polisi untuk mensterilkan rumah-rumah di sekitar TKP dalam radius tertentu demi keamanan warga sendiri. Apalagi TKP ini di kompleks perumahan yang berjarak sekitar 5 kilometer dari Cikeas, lokasi kediaman pribadi presiden.
Wartawan juga sudah ramai memenuhi lokasi penyergapan. Namun, pagi itu klimaks telah terlewati. Saya sendiri mulai kehabisan energi.
Dalih saya tersebut, selain dalam rangka melindungi narasumber saya, sebenarnya juga enggak ngarang-ngarang amat. Saya teringat salah satu rekan wartawan Kompas, Adi Prinantyo (ADP), yang tinggal di kawasan tersebut meskipun masih jauh dari TKP dan tentu tidak ikut disterilisasi polisi. He-he-he...!
Hingga fajar menyingsing, proses penggeledahan TKP di Jatiasih belum benar-benar tuntas meskipun dua pelaku sudah ditangkap mati. Banyak barang bukti yang harus dicek sebelum dievakuasi.
Suasana di luar garis polisi sudah begitu ramai dengan warga yang menonton. Sejumlah rekan wartawan Kompas lain, juga beberapa fotografer Kompas, bahkan redaktur pelaksana ketika itu, Budiman Tanuredjo atau BDM, tampak muncul di lokasi.

Warga bergerombol untuk melihat rumah di Puri Nusa Phala, Jatiasih, Bekasi, Jawa Barat, yang pada Sabtu (8/8/2009) dini hari, digerebek oleh polisi. Seusai penggerebekan, banyak warga sekitar berbondong-bondong ke lokasi tersebut untuk melihat sendiri kondisi rumah yang menjadi tempat perakitan bom tersebut.
Wartawan dari berbagai media juga sudah ramai memenuhi lokasi penyergapan. Namun, pagi itu klimaks telah terlewati. Saya sendiri mulai kehabisan energi. Bukan sekadar lelah fisik, melainkan lebih pada lelah akibat dari ketegangan mental selama bertaruh dalam mencerna, menyaring informasi, dan membuat keputusan.
Siasat menata paragraf
Lantas bagaimana dengan TKP di Temanggung? Sang tokoh ”Saya Noordin!” tadi terbukti bukan Noordin M Top. Hasil uji forensik yang diumumkan Mabes Polri pada 12 Agustus 2009 memastikan mayat itu adalah Ibrohim, penata bunga yang menjadi pelaku lapangan yang terlibat dalam peledakan di Hotel JW Marriott dan The Ritz-Carlton pada 17 Juli 2009. Noordin M Top sendiri baru ditangkap sebulan lebih kemudian, yakni 17 September 2009 di kampung Kepuhsari, Solo, Jawa Tengah.
Baca juga: Perempuan Letal dalam Jejaring
Sehari sebelum Mabes Polri mengumumkan identitas Ibrohim, yakni pada 11 Agustus 2009, berita yang saya buat dan terbit di halaman muka Kompas sudah mengisyaratkan mayat di Temanggung bukanlah Noordin M Top. Seorang sumber sudah membisiki saya bahwa kemungkinan besar mayat itu adalah Ibrohim.
Namun, karena informasi itu sifatnya masih diembargo, saya menyimpannya hingga Mabes Polri mengumumkannya secara resmi. Oleh karena itu, narasi berita berisi isyarat yang saya buat jadi seperti berikut ini.

Berita harian Kompas.
Kemudian, pada 12 Agustus 2009 di hari mayat misterius di Temanggung tersebut diumumkan identitasnya oleh Mabes Polri, saya menyisipkan secara tersamar identitas si mayat dalam berita yang terbit di hari yang sama dengan hari pengumuman (yang artinya digarap 11 Agustus 2009).
Bagaimana caranya? Siasat yang saya pakai adalah memainkan isyarat halus dalam penataan paragraf tulisan.
Baca juga: Pisau Bermata Dua bagi Polisi
Jadi, setelah paragraf yang berisi rencana Polri mengumumkan identitas mayat teroris di Temanggung, saya sengaja langsung loncat membuat paragraf soal Ibrohim yang diceritakan belum diketahui keberadaannya oleh pihak keluarga. Namun tetap, tak ada kalimat kesimpulan bahwa mayat yang akan diumumkan identitasnya adalah Ibrohim.
Materi paragraf berisi keterangan keluarga Ibrohim itu diperoleh redaksi dari laporan rekan wartawan Kompas, Siwi Yunita Cahyaningrum, yang meliput di Kuningan, Jawa Barat, tempat keluarga Ibrohim bermukim. Potongan beritanya seperti di bawah ini.

Paragraf berita berisi isyarat identitas mayat teroris di Temanggung (yakni Ibrohim).
Hari ralat nasional
Setelah pengumuman resmi Polri soal identitas tokoh menghebohkan ”Saya Noordin!” tersebut, berbagai media pun akhirnya meralat, memperbaiki kesalahan informasi berita yang telah telanjur dibuat selama beberapa hari. Antiklimaks yang pahit.
Namun, dramatisasi peristiwa secara gila-gilaan, terutama oleh media elektronik, sudah telanjur terjadi. Saat menulis kisah ini, seorang teman wartawan di harian Republika, Ratna Puspita, mengingatkan, pada saat itu saya berseloroh menyebut hari itu sebagai ”hari ralat nasional”. Mungkin jika terjadi di masa sekarang, saya akan menyimpulkan pula peristiwa itu sebagai ”hari prank sedunia” ketika media nasional sampai internasional kena prank oleh si Ibrohim.
Baca juga: Matangnya Ekosistem Teror
Dramatisasi media terhadap penyerbuan yang mengakibatkan kerumunan manusia di sekitar TKP di Temanggung tersebut bisa berpotensi amat berbahaya jika ternyata di lokasi itu tersimpan bom-bom berdaya ledak besar seperti di Jatiasih, Bekasi.
Peristiwa serangan teroris di Hotel Mumbai di India pada 2008 berujung fatal memakan sejumlah korban jiwa, salah satunya akibat kekonyolan pekerja media yang kelewat bernafsu mengumbar informasi saat meliput. Mereka tidak peduli informasi yang diumbar itu mengancam keselamatan para korban yang sedang terjebak di dalam hotel. Peristiwa ini menuai kecaman luas dan menjadi kajian dalam studi terorisme dan jurnalisme. Tragedi di Mumbai itu difilmkan dengan judul Hotel Mumbai (2018).

Warga memenuhi setiap sudut jalan masuk ke lokasi terjadinya penyergapan di Dusun Beji, Desa Kedu, Kecamatan Kedu, Kabupaten Temanggung, Jawa Tengah, Sabtu (8/8/2009) pagi.
Untunglah tak ada barbuk (barang bukti) yang penting dan berbahaya di TKP Temanggung. Yang ada, hanya sosok Ibrohim yang bermain drama mengaku-ngaku Noordin M Top. Pengakuan itu yang lantas ditelan mentah-mentah oleh sebagian wartawan ketika itu.
Refleksi setelah 12 tahun
Sebelum pandemi, sekitar akhir tahun 2019, saya bertemu kembali dengan beberapa polisi yang dahulu tergabung dalam Satgas Antiteror tersebut. Kami sekadar mengobrol bertukar kabar di suatu kafe di kawasan Jakarta Selatan.
Mereka masih mengawal dinamika ekstremisme dan terorisme di negeri ini. Obrolan pun diselingi candaan dengan mengenang peristiwa-peristiwa penyergapan teroris di masa lalu, termasuk insiden di Temanggung dan Jatiasih.
Lagian, salah sendiri kenapa wartawannya percaya (soal informasi ’Saya Noordin!’).
Salah seorang polisi lalu tersenyum-senyum mengingat betapa konyolnya pemberitaan saat itu. ”Kami sengaja biarkan saja tuh media-media waktu itu mengira yang di Temanggung adalah Noordin. Jadi, operasi yang di Jatiasih aman, lancar. Lagian, salah sendiri kenapa wartawannya percaya (soal informasi ’Saya Noordin!’), ha-ha-ha!” ujarnya tergelak-gelak.
Seorang teman wartawan dari kantor berita Jepang, Kyodo, Woro Yudhi Anggraini, saat mengingat kejadian 12 tahun itu juga tertawa berderai-derai. Ia pun merasa ”selamat” karena ketika itu bersiteguh tidak terburu menyimpulkan mayat di Temanggung sebagai Noordin M Top.
”Untung waktu itu enggak tergoda bikin (kesimpulan) NMT (Noordin M Top). Soalnya orang (sumber) yang biasa gue tanya enggak ada yang ngomong itu (sasaran penyergapan) NMT. Gue juga gencar ditanya (redaksi). Gue ngotot, enggak dapet orang (sumber) yang membenarkan itu NMT,” kenang Woro.
Baca juga: Dinamika Target Serangan Teror

Pasca-penyergapan tempat persembunyian Ibrohim, di rumah milik Muhjahri di Dusun Beji, Desa Kedu, Kecamatan Kedu, Kabupaten Temanggung, Jawa Tengah, menjadi tontonan warga sekitar dari atas bukit, Minggu (9/8/2009). Bangunan tembok rumah tersebut kini ditutupi dengan seng.
Apakah polisi atau narasumber bisa dianggap menyesatkan wartawan dalam memproduksi informasi yang salah? Jawaban untuk pertanyaan ini tidak sederhana dan dapat diperdebatkan oleh setiap pihak, baik wartawan maupun narasumber.
Terlebih jika mengingat, pasukan polisi yang ada di garis depan dalam penyerbuan di TKP, tugasnya hanyalah menyerbu, bukan polisi analis yang memegang data intelijen yang valid.
Narasumber memberikan keterangan kepada wartawan bukan di bawah sumpah seperti dalam persidangan.
Dengan begitu, ketika polisi penyerbu mendengar ucapan ”Saya Noordin!” dari dalam rumah yang dikepung, lalu keterangan itu berlanjut terpantul ke wartawan yang menelannya mentah-mentah, terjadilah drama menggelikan dalam pelaporan jurnalistik.
Sejatinya tugas wartawanlah yang harus cermat dalam memamah informasi, tak mudah menelan segalanya mentah-mentah. Sebab, informasi apa pun senantiasa mengapung di antara benar dan salah. Apalagi di masa sekarang, ketika hoaks lebih nyata dari kenyataan itu sendiri.
Baca juga: Siklus Vendetta Monster Hidra

Wartawan dari berbagai media ”mengepung” petugas yang sedang mengevakuasi jenazah korban ledakan bom di Hotel JW Marriott, Jakarta, 17 Juli 2009. Kelancaran aktivitas petugas pun menjadi terganggu.
Bagi saya pribadi, sebagai wartawan saya tak bisa menyalahkan begitu saja jika ada narasumber yang berbohong kepada saya. Jika itu terjadi, salah saya sendiri yang memercayainya. Narasumber memberikan keterangan kepada wartawan bukan di bawah sumpah seperti dalam persidangan. Tidak ada aturan hukum yang mengikat.
Meskipun ketika itu harian Kompas tidak sampai ikut terpeleset dalam euforia pemberitaan yang salah, buat saya, peristiwa 12 tahun lalu benar-benar memberi saya ”tamparan” pelajaran penting.
Baca juga: Terorisme yang Bermain di Dua Kaki
Betapa kejelian membaca situasi, profiling narasumber, memilah informasi, tak mudah terbawa arus, tabah menembus narasumber sulit, mencermati ulang informasi dari narasumber ”tepercaya”, skeptis, kritis, cek silang dan ulang, berusaha adil sejak dalam pikiran, hingga peka pada getaran intuisi, menjadi hal-hal yang harus selalu dirawat selama menjalani profesi ini. Sampai hari ini pun, semua itu tetap menjadi pergulatan tersendiri yang saya nikmati.
Kisah 12 tahun lalu di atas, bisa saja dilihat saya selamat dari kekonyolan jurnalistik. Namun, bisa juga dilihat sebenarnya saya nyaris terpeleset. Oleh karena itu, kisah ini bagaimanapun adalah sebuah catatan pengingat bagi diri sendiri sebagai wartawan.