Mampir ke Rumah Viktor Axelsen di Denmark
Keberhasilan Viktor Axelsen meraih medali emas di Olimpiade Tokyo 2020 mengingatkan saya saat mampir ke rumahnya di Denmark usai turnamen bulu tangkis di sana tahun 2015. Roti, madu, dan keju menyambut kami saat itu.
Sejak menginjakkan kaki di Bandara Kopenhagen, Denmark, Oktober 2015, saya langsung mendengar nama Viktor Axelsen disebut berkali-kali oleh orang-orang yang berbeda. Di bagian imigrasi, petugas yang memproses dokumen saya berkata dengan riang, ”Oh, Anda mau meliput Denmark Terbuka…. Jangan lupa dukung Axelsen ya. Dia pemain kebanggaan kami.”
Dalam perjalanan dari Kopenhagen ke Odense yang ditempuh sekitar satu jam, sopir taksi yang tahu saya datang ke Odense untuk meliput Super Series Denmark Terbuka 2015 (sekarang bernama Tur Dunia BWF Super 750) dengan antusias mengajak ngobrol soal bulu tangkis.
Tentu saja ia menyebut nama Axelsen. Tidak hanya satu kali, tetapi beberapa kali. Dia mengatakan, Axelsen, yang saat itu baru berusia 21 tahun, telah menjadi tumpuan harapan Denmark di cabang bulu tangkis setelah era Peter Gade berakhir.
Sejak menginjakkan kaki di Bandara Kopenhagen, Oktober 2015, saya langsung mendengar nama Viktor Axelsen disebut berkali-kali oleh orang-orang yang berbeda.
”Dia idola kami, bukan hanya karena prestasinya di cabang bulu tangkis, melainkan juga karena ia anak yang baik. Dia suka lari keliling kota kecil Odense dan membalas hangat sapaan para penggemar,” ujar sang sopir.
Belakangan, katanya, Axelsen lebih sering tinggal dan berlatih di Kopenhagen meski masih sering pulang ke Odense yang juga kota kelahiran penulis cerita dongeng nomor wahid dunia, HC Andersen.
Di arena Denmark Terbuka, para sukarelawan turnamen yang kebanyakan opa-opa dan oma-oma dengan antusias nyerocos soal Axelsen setiap kali diajak ngobrol soal bulu tangkis.
Mereka bilang, Axelsen akan mengharumkan nama Denmark di banyak turnamen utama bulu tangkis dunia seperti yang telah dilakukan pendahulunya, Morten Frost Hansen, Poul-Erik Hoyer Larsen, dan Peter Gade. Dia telah menjadi juara di turnamen Grand Prix di Eropa. Jadi tinggal menunggu waktu Axelsen akan menjadi juara di turnamen-turnamen dunia utama dunia lainnya.
Pada turnamen Denmark Terbuka 2015, Axelsen yang didukung penuh penonton tuan rumah hanya bertanding sampai babak semifinal. Langkahnya dijegal Chen Long lewat pertarungan ketat 21-15, 16-21, 19-21. Chen Long akhirnya keluar sebagai juara setelah mengalahkan Tommy Sugiarto di partai final, 21-12, 21-12.
Namun, beberapa tahun kemudian, harapan warga Denmark menjadi kenyataan. Prestasi Axelsen terus menanjak. Ia menjuarai beberapa turnamen utama dunia, membawa Denmark merebut Piala Thomas 2016, menjadi juara pada Kejuaraan Dunia 2017, dan puncaknya meraih medali emas Olimpiade Tokyo 2020 setelah mengalahkan Chen Long di final.
Mendengar nama Axelsen terus disebut-sebut, saya jadi tertarik untuk mewawancarainya dengan durasi yang lebih lama daripada durasi wawancara door stop di zona media di belakang arena pertandingan. Nmaun, saat itu saya belum tahu apakah niat saya untuk mewawancarai Axelsen akan terwujud mengingat ketatnya jadwal pertandingan yang mesti diliput.
Di hari-hari terakhir turnamen, tiba-tiba Asosiasi Bulu Tangkis Denmark yang mengundang saya dan sejumlah wartawan Asia untuk meliput turnamen Denmark Terbuka menawarkan wawancara khusus dengan tokoh bulu tangkis Denmark. Namun, mereka bilang tawaran itu bersifat tentantif.
Mereka juga belum bisa memastikan siapa tokoh yang akan mereka sodorkan untuk diwawancarai. Saat itu, saya berpikir mereka akan menawarkan dua legenda Denmark, Poul-Erik Hoyer Larsen yang juga Presiden Federasi Bulu Tangkis Dunia atau Peter Gade yang saat itu mulai meniti karier sebagai pelatih.
Baca juga: Mengintip Narasumber "Creme de la Creme" dalam Liputan Terorisme
Pada hari terakhir turnamen, 18 Oktober 2015, barulah perwakilan Asosiasi Bulu Tangkis Denmark memberitahukan kepastian tawaran wawancara. Tokoh yang mereka sodorkan ternyata Axelsen. Yang lebih menarik lagi, wawancara akan dilakukan di rumah keluarga Axelsen di Odense.
Tentu saja saya gembira mendapat tawaran itu. Saya membayangkan wawancara akan berlangsung santai dengan durasi yang lebih lama sehingga saya bisa menggali banyak hal kepadanya, termasuk perjalanannya di dunia bulu tangkis hingga aktivitasnya di Denmark di luar lapangan badminton.
Senin (19/10/2015) pagi, kami dijemput oleh pemandu–seorang perempuan Denmark yang amat ramah–di hotel di pusat kota. Lantas, kami bergerak ke rumah Axelsen dalam dua rombongan.
Satu rombongan kecil terdiri dari wartawan yang berjumlah tiga orang, yakni saya dari Indonesia dan dua lainnya dari China dan Malaysia. Satu lagi rombongan perwakilan perusahaan China yang menjadi sponsor turnamen, jumlahnya lima atau enam orang.
Bulan Oktober, Denmark berada di gerbang musim gugur. Sepanjang perjalanan menuju rumah Axelsen, pemandangan kota Odense didominasi oleh warna kuning dedaunan yang sebentar lagi akan berguguran.
Tidak banyak orang yang berlalu lalang di kota kecil berpenduduk 190.000-an orang itu, kecuali di wilayah dekat stasiun kereta dan pusat perbelanjaan. Taman-taman kota terlihat sepi pengunjung. Mungkin karena hari itu hari Senin dan suhu di luar mulai melorot ke angka 5 derajat celsius.
Baca juga: ”Saya Noordin!”, Sebuah Pelajaran Pahit Jurnalisme Sensasi
Setelah sekitar 15 menit perjalanan, kami memasuki kawasan kompleks perumahan di Tesdorpesuej, Odense Center. Suasananya sangat tenang dan asri. Pohon apel tumbuh di pinggir jalan atau di halaman rumah. Buahnya yang ranum dan besar dibiarkan jatuh dan tergeletak begitu saja di tanah. Mungkin itu buah terakhir sebelum pohon-pohon apel itu beku di musim dingin.
Rumah-rumah di sana bergaya khas Eropa. Bentuknya kotak-kotak dengan atap kuncup atau lancip. Desainnya minimalis dan bersih. Sebagian besar dindingnya terbuat dari bata merah yang dibiarkan terekspos kasar. Sisanya dicat putih polos. Warna rumah umumnya memang senada. Kalau bukan merah bata, hampir pasti putih pudar.
Mobil yang membawa kami akhirnya berhenti di sebuah rumah beratap lancip bercat putih pudar. ”Kita sampai di rumah Axelsen,” ujar pemandu kami.
Rumah Viktor Axelsen dikelilingi taman berumput hijau dengan beberapa pohon perdu yang daunnya mulai menguning dan basah. Rumah tanpa pagar itu berjendela kaca nan lebar. Dari balik jendela, saya bisa melihat cahaya lampu rumah yang berwarna kuning hangat.
Baca juga: Krisis Oksigen RSUP Dr Sardjito, Label Hoaks, dan Liputan Kolaborasi
Kopi buatan Viktor Axelsen
Viktor Axelsen dan ayahnya, Henrik, dan anjing hitamnya yang ceria, menyambut kami di depan rumah. Mereka langsung mengajak kami ke ruang keluarga yang bersebelahan dengan pantry. Ketika kami duduk, Axelsen dan Henrik sibuk berdua di pantry mungil mereka membuatkan kopi dan teh hangat.
Sambil menyiapkan hidangan, Henrik mengatakan, Axelsen waktu kecil tumbuh di rumah lain bersama adiknya Johanne. Baru sekitar 2005, Axelsen tinggal di rumah itu. Namun, sejak 2012, dia lebih banyak tinggal di Kopenhagen untuk berlatih bulu tangkis.
Kami kemudian berkumpul di meja makan keluarga Viktor Axelsen untuk sarapan dengan kopi dan teh hangat racikan Axelsen dan ayahnya. Temannya, roti gandum nan segar, keju, dan selai madu dengan rasa manis yang pas. Axelsen yang hari itu mengenakan kemeja putih lengan panjang dan celana panjang hitam duduk di tengah ruangan dengan sikap sedikit kikuk.
Ia dikerubungi wartawan dan perwakilan perusahaan sponsor dari China yang segera melontarkan banyak pertanyaan, mulai dari masa kecilnya, karier, dan ambisinya di dunia bulu tangkis, pesaing-pesainnya di masa depan, kerja kerasnya menembus dominasi pemain-pemain China, kepiawaiannya berbahasa Mandarin, hingga pendapatnya soal gadis-gadis cantik dari Asia.
Baca juga: Mendaki Zig-zag bak Ular di Lereng Kilimanjaro
Viktor Axelsen menjawab satu per satu dengan sabar. Untuk pertanyaan yang terakhir, Axelsen menjawabnya dengan wajah tersipu malu. ”Saya belum memikirkan itu. Saya fokus memikirkan karier saya di bulu tangkis,” ujar Viktor yang berbicara dalam tiga bahasa sekaligus, yakni Denmark, Inggris, dan Mandarin, kepada tamunya yang berasal dari tiga negara yang berbeda.
Saat itu, Axelsen menjelaskan, ia sedang berusaha masuk ke pasar bulu tangkis terbesar di China demi meraih sponsor. Itu sebabnya dia belajar bahasa Mandarin hingga lancar.
Kamar berantakan
Para wartawan semakin banyak melontarkan pertanyaan juga permintaan. Ada yang ingin melihat trofi-trofi miliknya, ada pula yang ingin melihat kamarnya. Viktor Axelsen tidak keberatan dengan permintaan tersebut.
Ia dengan enteng mengajak rombongan wartawan untuk menengok kamarnya yang ada di lantai dua. ”Inilah tempat favorit saya di rumah ini,” ujar Axelsen tentang kamarnya yang ia sebut sebagai istana yang sesungguhnya.
Dari jendela kamar tersebut, kita bisa melihat taman yang segar di halaman belakang rumah dengan latar langit yang berwarna abu-abu. Di sana ada sebuah kursi kecil, mungkin untuk berjemur menikmati sinar matahari yang mahal di Denmark begitu musim gugur tiba.
Kamar Viktor Axelsen tidak besar. Ukurannya sekitar 3 meter x 4 meter. Sebagaimana kamar laki-laki muda kebanyakan, kamar Axelsen tampak berantakan. Dalam banyak hal, suasana kamar yang berantakan juga mencerminkan karakter penghuninya yang ekspresif.
Di sudut ruangan, satu tas besar berisi raket digeletakkan begitu saja di atas lantai bercampur dengan tumpukan buku dan benda lain. Di atas meja bertumpuk aneka kertas, helm, gulungan poster, dan kaos.
Sebagaimana kamar laki-laki muda kebanyakan, kamar Viktor Axelsen tampak berantakan.
Lemari pakaiannya dibiarkan terbuka sehingga beberapa baju yang digantung sembarangan terlihat dari luar. Seprai tempat tidurnya juga dibiarkan awut-awutan. Tidak banyak hiasan di kamar itu, kecuali foto Axelsen di masa kecil, poster, raket, dan beberapa medali yang digantung di dinding.
Di sebelah kamar tidur, ada kamar lain yang lebih sempit dan beratap rendah. Kamar itu dijadikan tempat untuk menaruh—tepatnya menumpuk—berbagai barang.
Kita bisa menemukan sejumlah piala, medali, dan tumpukan kaus cendera mata bergambar Axelsen dengan tulisan beraksara China di punggungnya. Selain itu, ada beberapa poster yang ditempel begitu saja di dinding.
”Ya beginilah rumah keluarga kami,” ujar pebulu tangkis jangkung itu sambil mengajak tamunya kembali menikmati kopi panas di ruang makan. ”Setiap ada kesempatan saya pasti pulang ke rumah ini. Saya selalu merindukan Odense,” kata Axelsen.
Begitulah pengalaman mampir dan berbincang dengan Axelsen di rumah keluarganya yang hangat di Odense, sekitar enam tahun lalu. Sebuah pertemuan yang tidak direncanakan sebelumnya karena tujuan utama ke Denmark saat itu adalah meliput pertandingan di turnamen Denmark Terbuka.
Sepulang dari Denmark, saya bingung akan menulis apa soal Axelsen mengingat saat itu dia belum menjadi pemain yang benar-benar bersinar. Di Denmark Terbuka 2015 pun dia hanya sampai babak semifinal. Untuk ditulis sebagai profil masih tanggung.
Akhirnya, saya tawarkan hasil wawancara dengan Viktor Axelsen untuk Kompas Minggu yang gaya liputannya lebih leisure dan cenderung personal. Tawaran ini direspons dengan baik oleh editor Kompas Minggu.
Saya pun membuat tulisan ringan yang justru tidak mengulas soal bulu tangkis, tetapi tentang jejak keseharian Axelsen yang saat itu baru disebut sebagai calon bintang bulu tangkis di rumah keluarganya di Odense. Tulisan dimuat pada 25 Oktober 2015.
Sampai saat ini, pertemuan yang hangat dengan Viktor Axelsen dan keluarganya masih terekam kuat di kepala. Karena itu, ketika Axelsen merebut medali emas Olimpiade Tokyo 2020, ingatan langsung menggiring saya ke rumah Axelsen di Odense. Saya membayangkan, medali itu akan dipajang Axelsen di salah satu sudut kamarnya yang berantakan tetapi selalu ia rindukan.