Mobil-mobil yang Bikin Gemas sampai Lemas
Lemas rasanya mengingat harga satu ban ini lebih dari Rp 6 juta. Sungguh, saya enggak siap tekor. Lain kali, saya menyetir mobil dengan agresif di lintasan balap Sirkuit Sentul yang berlandasan aspal baru.
Saya boleh dibilang anak baru dalam dunia jurnalisme otomotif. Artikel pertama uji kendara saya terbit di harian Kompas pada bulan Juli 2020. Itu terjadi ketika pembatasan aktivitas akibat pandemi Covid-19 sedang ketat-ketatnya.
Sebelumnya, selama lebih kurang tujuh tahun terakhir, saya lebih banyak berkutat menulis bidang industri kreatif anak muda, terutama musik dan film. Sampai sekarang pun sebenarnya masih menulis tentang itu. Pandemi kemudian ”menjerumuskan” saya ke dunia liputan otomotif.
Jauh sebelum itu, tepatnya ketika belum menginjak Jakarta, selama delapan tahun saya bertugas di Jawa Barat dengan bidang reportase lebih umum. Dalam sehari, bisa saja paginya saya nongkrong di gedung DPRD menyimak sidang paripurna, siangnya bergeser ke pengadilan kriminal, lantas sore hari mampir ke koperasi petani.
Akhir 2014, kantor menarik saya ke ”padepokan” Palmerah untuk bergabung dengan Desk Kompas Muda. Sejak itu, saya mulai fokus mencermati ranah gaya hidup kaum muda, termasuk musik, walaupun saya sendiri sudah nggak muda-muda amat.
Beruntung, adaptasinya tidak terlalu sulit karena ketika masih di daerah, sesekali saya mengirimkan tulisan hiburan ke Kompas edisi Minggu yang bagi saya sekaligus menjadi hiburan di sela-sela liputan rutin.
Pada akhir 2019, dilakukan reorganisasi di tubuh redaksi. Desk Kompas Muda digabung dengan Desk Prosumer yang mengampu bidang liputan gawai, properti, dan otomotif. Gabungan dua desk ini lalu dinamakan Desk Komunitas. Walaupun tidak terlampau dalam, saya kemudian menyenangi kisah relasi manusia dengan tunggangannya.
Pada suatu malam di ruang redaksi, saya mengobrol dengan Dahono Fitrianto, wartawan berpengalaman di bidang otomotif. Saat itu, ia sedang menyunting tulisan sebuah produk mobil yang saya suka. Dia lantas bertanya apakah saya biasa menyetir. Dan yang lebih penting, apakah saya punya SIM A. ”Punya, dong!” jawab saya sekonyong-konyong.
”Sip. Kapan-kapan kalau ada mobil yang menarik, kamu yang pegang, ya,” pinta dia.
Baca juga : Di Balikpapan, Aku Menjadi Dukun Dadakan
Saya langsung setuju walaupun belum ada bayangan sama sekali bagaimana liputan dan menuliskan artikelnya. Saya berpikir, setidaknya saya punya modal dari hasil membaca artikel-artikel otomotif karya rekan-rekan di Kompas, seperti Mas Dahono, Stefanus Osa, Mahdi Muhammad, Agung Setyahadi, dan Prasetyo Eko P hingga wartawan senior James Luhulima.
Namun, belum sempat menjajal uji kendara, pandemi Covid-19 melanda. Pembatasan bepergian mengekang ruang gerak tim Kendara, nama rubrik otomotif di Kompas. Padahal, biasanya tim akan menguji kendaraan hingga ke luar kota, tak jarang sampai ke luar negeri selama beberapa hari.
Beberapa rekan di kantor bahkan pernah mengaspal di Autobahn yang tenar sebagai jalan raya tanpa pembatasan kecepatan di Jerman. Ada juga yang pernah mencoba mobil di jalur padang pasir Nevada, AS. Sementara saya masuk tim ketika perjalanan jauh semacam itu sudah menjadi sesuatu yang mewah. Mencoba mobil kini lebih sering di seputaran Jakarta saja.
Pusat perhatian
Kesempatan untuk uji kendara akhirnya benar-benar tiba pada Juni 2020. Lumayan untuk sekaligus penyegaran liputan. Bertepatan dengan konser dan festival musik yang menjadi bidang liputan saya sedang sepi terdampak pandemi.
Mas Dahono saat itu membawa kabar yang bikin semangat: Mercedes-Benz mau meminjamkan mobil spesial mereka, yaitu Mercedes-AMG A 35. Ini bukan jenis mobil yang bisa sering ditemui di jalanan Ibu Kota karena lebih pantas dijadikan koleksi ketimbang digunakan sehari-hari mengingat harganya. Beruntung, saya bisa ikut icip-icip menyetirnya.
Pengalaman pertama uji kendara ternyata sangat menyenangkan. Mas Dahono dan saya mencoba mobil itu di jalan tol seputar Jakarta pada malam hari ketika lalu lintas sedang sepi. Di sela-sela berkendara, Mas Dahono bercerita, aktivitas tandem seperti ini dulu sering dilakukan seusai deadline terbitan koran.
Baca juga : Tim Hore Saat Liputan Pencarian Sriwijaya SJ-182
Mas Dahono kemudian memberi kesempatan saya membawa pulang mobil guna menjajalnya untuk penggunaan sehari-hari, seperti belanja kebutuhan bulanan ke supermarket atau mendatangi narasumber untuk wawancara. Tujuan kami, mengulik mobil spesial itu apakah cocok dipakai layaknya mobil operasional harian.
Sebelum membawa pulang mobil itu, saya menitipkan kendaraan pribadi saya di kantor. Ini perlu dilakukan karena jatah parkir di tempat tinggal saya hanya satu kendaraan untuk tiap penghuni. Kecuali saya mau membayar tarif jam-jaman. Oh, tentu tidak. Ongkos parkir sehari semalam bisa untuk beli makan dua hari.
Sesuai instruksi, saya pakai mobil itu di berbagai kondisi lalu lintas, baik lengang maupun padat. Saya sempat membawanya mampir ke warung kopi langganan. Begitu canggihnya, mobil ini dilengkapi teknologi parkir otonom. Kali ini, aba-aba dari juru parkir saya abaikan. Maaf, ya, Bang.
Warnanya yang kuning terang membuat mobil jenis hatchback ini jadi pusat perhatian pengunjung warung kopi. Wah, jadi segan diliatin orang. Tapi, kan, saya sedang kerja. Jadi, cuek sajalah.
Perjalanan terjauh saya dengan mobil ini berlangsung seharian penuh untuk sesi pemotretan oleh fotografer Kompas, Eddy Hasby. Berangkat pukul 06.00, pulang sampai rumah pukul 20.00.
Di lokasi pemotretan, yakni di perumahan mewah di daerah Tangerang, ”si kuning” lagi-lagi jadi pusat perhatian. Mulai dari petugas keamanan sampai manajer perumahan bergantian berfoto di mobil. Fotogenik sekali mobil ini. Bikin gemas. Ngalah-ngalahin yang nyetir.
Baca juga : Meliput All England, Kala China Perkasa, Indonesia Terpana
Pengalaman pertama uji kendara ternyata begitu membekas. Saya akhirnya bisa mencicipi rasanya menyetir mobil kelas premium dan jadi pusat perhatian publik. Rasanya berat hati mengembalikan mobil enak ini. Memang benar apa kata pepatah, ”ada harga, ada rupa”.
Bagian paling enak telah dijalani, tinggal bagian ”susah”-nya. ”PR” tulisan telah menanti. Kelimpungan juga rasanya. Mengulas mobil berbeda sekali dengan mengulas film atau album musik meski unsur ”rasa”, drama, dan kelihaian bertutur sama-sama dibutuhkan.
Saya kemudian teringat pesan Mas Dahono. Menulis artikel berkendara jangan serta-merta memindahkan data dari lembar teknis, apalagi brosur. Dua hal itu adalah klaim produsen. Sementara jurnalis bertugas menguji klaim itu sesuai pengalaman. Saya membutuhkan waktu berhari-hari untuk menulis artikel otomotif pertama ini.
Jadi ”kopilot” dadakan
Setelah pengalaman tersebut, saya jadi semakin sering ditugaskan meliput acara otomotif. Salah satu pengalaman menyenangkan lainnya adalah ”diputar-putar” oleh pereli profesional Rifat Sungkar. Lokasinya di kawasan Sirkuit Sentul, Bogor.
Ketika itu, Rifat dan timnya sedang menguji mobil reli berjenis MPV yang ia rancang dan bangun selama dua tahun. Untuk bisa terjun di kejuaraan domestik dan regional yang sayangnya masih tersendat hingga saat ini, dibutuhkan pengujian mobil sekian jam dan sekian kilometer.
Baca juga : Berburu Momen Evakuasi Harimau Inyiak di Perbukitan Solok
Sebelum berangkat, saya mengira, uji coba bakal dilakukan di dalam lintasan balap. Dugaan saya keliru karena sirkuit sedang diremajakan. Mobil reli digeber di area parkir dengan metode taxi ride: wartawan sebagai penumpang di mobil yang dikemudikan Rifat. Ibaratnya, kami adalah ”kopilot” dadakan.
Saya emoh dapat giliran pertama karena ingin melihat dulu bagaimana teknisnya. Rupanya, Rifat menjajal mobil itu dengan gaya slalom: ngebut, ngepot, bermanuver tajam, hingga berputar-putar seperti donat dan angka delapan.
Melihat itu, perut saya bergejolak. Kecemasan mendera. Namun, rekan-rekan di sana saling menyemangati. Seusai sesi, beberapa ”kopilot” memancarkan raut muka berseri-seri. Nggak ada yang bilang kapok. Hm, pertanda baik nih.
Giliran saya tiba. Seperti peserta lainnya, saya diwajibkan memakai helm, lengkap dengan perangkat komunikasi. Teknisi membantu saya mengetatkan sabuk pengaman enam titik sehingga badan tak leluasa bergerak, terikat ketat di bangku.
Mobil biasa hanya menerapkan sabuk pengaman tiga titik. Sabuk enam titik itu efektif mengurangi rasa deg-degan. Apalagi di samping saya adalah pereli bereputasi jempolan, sudah berkeluarga pula. Tak mungkinlah dia gegabah.
“Sudah siap?” tanya Rifat lewat mikrofon yang bersarang di helmnya. Saya mengangguk walau tidak benar-benar merasa siap. ”Siap belum?” ulang Rifat. Kali ini saya terpaksa harus bersuara.
”Siap!” kata saya.
”Tarik yang ini,” ujar Rifat menunjuk tuas transmisi yang lebih panjang dari mobil kebanyakan. ”Klek!” Suara tuas ditarik itu menjadi ”pemicu” Rifat untuk menekan habis pedal gas.
Wuussh! Mobil yang sejatinya tunggangan keluarga itu melesat bak anak panah lepas dari busurnya. Roda belakang sempat spinning yang menyebabkan badan terenyak ke bangku. Saya berteriak. Bukan ketakutan, tapi kegirangan. Sesi sekitar 10 menit itu jadi terasa singkat sekali.
Masuk lumpur
Ketegangan serupa saya alami di kesempatan selanjutnya. Ketika itu, saya mencoba mobil jenis SUV berkapasitas tujuh penumpang. Dari penjelasan yang saya terima, mobil ini memiliki mode berkendara di pasir dan lumpur dengan penggerak empat roda.
Sebelum sesi pemotretan, saya terpikir soal lokasi foto, lalu teringat akan mode non-aspal itu. Saya kemudian mengusulkan kepada Mas Eddy Hasby untuk memotret mobil dengan lanskap perbukitan yang permukaannya tanah. Nekat saja, padahal pengalaman off-road saya nol besar.
Mas Eddy ternyata setuju. Jadilah kami membawa mobil dengan panjang sekitar 5 meter itu ke Bukit Hambalang, Bogor. Mas Eddy pernah memotret mobil berjenis sama di tempat itu.
Baca juga : Nyeri Sesaat demi Selamat
Kami berangkat menjelang siang, setelah paginya turun hujan. Rute menanjak dengan permukaan kerikil dilahap dengan mulus tanpa hambatan. Begitu masuk lumpur, mode berkendara ”Mud” saya aktifkan. Pedal gas ditekan tipis asal mobil bergerak maju. Rintangan pertama sukses tanpa kendala.
Rupanya, di depan ada lagi lumpur yang kali ini tanahnya lebih gembur dengan kontur sedikit menanjak dan berkelok. Berbekal keberhasilan di rintangan pertama tadi, saya terapkan cara serupa. Ternyata, yang ini lumpurnya lebih dalam dari dugaan kami.
Mobil ngesot ketika pedal gas diinjak bahkan tipis saja. Roda belakang spinning, sementara moncong mobil justru mengarah ke luar jalur menuju parit. Saya mulai tegang. Mas Eddy, yang ternyata pernah ikut off-road, menyarankan lepas gas dulu. Sebab, kalau dipaksa, mobil bisa makin melintir dan bakal lebih repot mengatasinya. Saya tak punya pilihan lain kecuali mematuhi saran itu.
Saya mundur sedikit untuk mencari pijakan roda belakang yang lebih padat. ”Sekarang gas pelan saja, setirnya pertahanin lurus, jangan diputar-putar,” kata Mas Eddy yang penyuka balap motor sejak bangku SMP.
Setelah menghela napas panjang, saya ikuti lagi instruksinya. Setir saya genggam erat-erat. Mobil perlahan bergerak dan sampai juga di permukaan tanah yang keras. Kami berdua mengembuskan napas lega. ”Berhenti dulu sebentar, Bro. Ambil napas dulu, ha-ha-ha,” kata Mas Eddy yang rupanya tadi ikutan tegang, tapi berlagak sok cool.
Ketika ngaso sejenak, kami sepakat mobil itu cukup tangguh diajak ke medan berlumpur. Tapi, sebaiknya memakai ban yang sesuai peruntukannya, setidaknya jenis all terrain.
Nah, pilihan jenis ban itu yang tidak terpikir sama sekali sebelumnya. Mobil itu sedang memakai ban untuk jalan raya. Saya merasa sok tahu dan agak ceroboh. Sesi bisa berakhir baik boleh jadi karena faktor keberuntungan.
Pecah ban
Urusan ban juga pernah membuat saya hampir kapok menguji kendara mobil. Saya pernah mengalami pecah ban ketika sedang menyetir mobil impian berperforma tinggi. Dua kali pula dalam kurun waktu tak sampai dua bulan.
Kejadian pertama terjadi ketika mencoba sedan bertenaga besar pabrikan Jerman pada suatu malam. Saat itu, saya baru saja putar balik di daerah Tomang menuju Slipi untuk masuk ke jalan tol.
Di jalan tol nanti, pikir saya, mobil ini bakal bisa dihela lebih leluasa. Namun, beberapa ratus meter menjelang Pintu Tol Slipi, tiba-tiba, ”Duk!” Mobil terantuk lubang. Saat itu, mobil dipacu dengan kecepatan sekitar 50 kilometer per jam.
Baca juga : Mengais-ngais Emosi di Belanda
Layar di dalam kabin kemudian mengeluarkan informasi bahwa tekanan ban turun drastis. Saya mencoba tak terlalu panik karena tahu mobil ini menggunakan ban jenis run-flat tyre, yang masih bisa dikendarai dalam kecepatan rendah. Saya memutuskan masuk ke SPBU terdekat untuk mengisi angin.
Di tengah gerimis, saya memasukkan selang pompa angin ke ban yang kempes tadi. Berkali-kali. Namun, upaya itu sia-sia. Setelah disorot pakai senter, barulah terlihat ”biang kerok”-nya. Ada robekan sekitar 3 sentimeter di sisi luar ban. Lemas rasanya.
Setelah berkonsultasi dengan manajemen perusahaan mobil melalui Mas Dahono, saya memberanikan diri membawa pulang mobil itu, dalam kondisi satu bannya kempes sama sekali.
Perjalanan dari SPBU sampai ke rumah, yang sebenarnya tak sampai 5 kilometer (km), menjadi perjalanan terpanjang dan paling mendebarkan yang pernah saya alami.
Saya cemas velgnya akan peyang sehingga berhati-hati sekali menyetirnya. Dalam hati tebersit, saya berada di dalam mobil yang bisa ngebut sampai 250 km per jam, tapi nyetir-nya tak bisa lebih dari 30 km per jam. Sial betul. Butuh waktu sekitar 45 menit untuk sampai rumah dengan perasaan tak karuan.
Keesokan harinya, tim manajemen menjemput mobil itu di rumah. Tak lupa saya menyampaikan permintaan maaf. Rupanya, petugas tidak membawa mobil derek. Mereka mengendarai mobil itu ke bengkel resmi terdekat dengan cara seperti yang saya lakukan malam sebelumnya.
Perjalanan dari SPBU sampai ke rumah, yang sebenarnya tak sampai 5 lima kilometer, menjadi perjalanan terpanjang dan paling mendebarkan yang pernah saya alami.
”Ban jenis ini memang masih bisa dipakai jalan, Mas, asal pelan-pelan,” kata seorang petugas. Saya lega, keputusan saya membawa pulang mobil itu cukup tepat meski menyisakan rasa bersalah yang baru hilang beberapa hari kemudian.
Sialnya, terjadi lagi kejadian serupa sekitar sebulan kemudian. Saya dan Mas Dahono sempat menjajal mobil di jalan tol, lagi-lagi sedan Jerman, tapi kali ini beda merek.
Perjalanan lancar dan menyenangkan. Dalam perjalanan mengantar Mas Dahono ke rumahnya, ia sempat berpesan, ”Hati-hati, ya. Kalau indikator tekanan angin nyala, jangan diabaikan,” katanya.
Pesan itu masih terngiang. Saya lalu membawa mobil itu pulang ke rumah. Di daerah Pondok Indah, saat melaju dengan kecepatan 60-70 km per jam, mobil menghantam lubang. Mampir di SPBU terdekat, usaha mengisi angin jadi sia-sia karena ada sobek di sisi luar ban.
Lemas rasanya mengingat harga satu ban ini—untuk merek dan ukuran sama—lebih dari Rp 6 juta. Sungguh, saya enggak siap tekor. Meskipun ban ini berjenis sama dengan ban saat insiden sebelumnya, yang masih bisa diajak jalan pelan-pelan.
Saya butuh bengong beberapa menit di dalam kabin untuk menenangkan diri sebelum memaksakan membawa pulang mobil. Jarak sekitar 8 km harus ditempuh hampir sejam. Diiringi klakson mobil-mobil di belakang karena saya berjalan terlalu pelan.
Besoknya, saya melapor ke pihak perusahaan. Dengan tipe ban seperti itu, mereka menyarankan saya membawa mobil itu ke bengkel resmi yang jaraknya tak lebih dari 2 km dari rumah. Permintaan maaf kembali saya lontarkan. Yang menenangkan, mobil-mobil mewah yang dijadikan unit uji coba ini telah diasuransikan.
Dua kejadian beruntun dalam waktu relatif dekat itu membuat saya khawatir dan agak enggan menguji mobil. Saya kemudian menyadari, ini bagian dari risiko pekerjaan. Dengan tekad untuk lebih berhati-hati, keengganan akhirnya bisa dikikis perlahan. Meski tentu saja butuh waktu.
Pengujian mobil berikutnya setelah dua insiden itu berjalan lancar. Bahkan, saya bisa leluasa mengemudikan mobil dengan agresif karena menyetirnya di lintasan balap Sirkuit Sentul yang kini berlandasan aspal baru di bawah pengawasan para teknisi. Akhirnya, bisa juga saya merasakan aspal lintasan balap mobil.
Terlepas dari berbagai insiden itu, mencoba mobil-mobil baru nan canggih dari bermacam merek memang terasa melenakan. Makin terasa saat bertemu mobil yang enak sekali dikemudikan, beberapa di antaranya adalah mobil impian. Setelah mobil dikembalikan, saya merasa ”ditampar” oleh realitas bahwa mobil-mobil itu pinjaman belaka.
Saya kemudian teringat ucapan fotografer senior Arbain Rambey saat ia ditanya publik tentang kamera terbaik. Dia bilang, gear terbaik adalah yang sedang kita miliki. Dalam kasus saya, wujudnya kendaraan. Mau tak mau, saya mengamini dan mengimaninya.