Berburu Momen Evakuasi Harimau ”Inyiak” di Perbukitan Solok
Pengalaman wartawan ”Kompas” di Sumbar, Yola Sastra, dalam meliput dan memotret harimau sumatera yang terjebak perangkap warga. Lokasi kejadian yang sulit dicapai dan beberapa larangan menyulitkan aktivitas liputannya.
Evakuasi harimau sumatera termasuk momen langka yang sayang jika dilewatkan begitu saja. Selain jarang terjadi, tidak semua jurnalis bisa mengabadikannya, baik karena terlambatnya informasi, sulitnya medan, jauhnya jarak tempuh, maupun mepetnya waktu. Ini pengalaman pertama saya ”berburu” foto evakuasi harimau sumatera alias inyiak di perbukitan Kabupaten Solok, Sumatera Barat.
”Harimau tatangkok (tertangkap),” demikian pesan seorang teman di salah satu grup jurnalis, Minggu (28/2/2021). Harimau yang dia maksud harimau sumatera jantan, saudara Putri Singgulung, yang masuk perangkap dan dievakuasi dua pekan sebelumnya. Kelak harimau muda itu dilekatkan nama Putra Singgulung.
Putri Singgulung dan Putra Singgulung membuat cemas warga Nagari Gantuang Ciri, Kecamatan Kubung, Kabupaten Solok, sejak 7 Mei 2020. Bertiga bersama sang induk, mereka berulang kali menampakkan diri kepada warga yang sedang berladang di lahan yang tidak jauh dari Hutan Lindung Bukit Barisan dan Suaka Margasatwa Barisan.
Singkat cerita, setelah memastikan informasi itu benar, saya tancap gas dengan Honda Beat dari Padang ke Nagari Gantuang Ciri. Jarak ke lokasi dari pusat kota Padang sekitar 49 kilometer atau 1,5 jam dengan sepeda motor—belum termasuk waktu tersesat. Google Maps menjadi panduan untuk menjangkau tempat-tempat yang belum pernah saya tempuh.
Rekan jurnalis Andri Mardiansyah dari Viva.co.id sebenarnya menawarkan tumpangan dengan mobilnya ke lokasi. Fotografer Antara, M Arif Pribadi, juga ikut dalam mobil itu. Namun, saya memilih berangkat dengan sepeda motor. Alasannya, selain mobilitas lebih lancar, juga supaya langkah tidak terikat dengan orang lain.
Setelah beberapa kali tersesat, saya sampai juga di Nagari Gantung Ciri, tepatnya di Jorong Beringin. Sepeda motor terhenti di ujung permukiman di kaki bukit tempat harimau itu masuk perangkap. Jaraknya ke lokasi harimau tertangkap sekitar 3 kilometer.
Baca juga : Warga Diimbau Tinggalkan Kawasan Konservasi
Saat itu pukul 14.00. Cuaca cerah dengan sedikit awan. Puluhan warga berkumpul di ujung permukiman, mulai anak-anak, remaja, dewasa, hingga lanjut usia. Sebagian menunggu momen harimau dievakuasi dengan mobil, sebagian lainnya sekadar menikmati keramaian. Seperti biasa, para penjaja camilan bersepeda motor, bakso bakar dan sejenisnya, sibuk melayani pembeli di keramaian itu.
Beberapa laki-laki dewasa berjaga di ujung jalan ke arah bukit. Mereka tak membiarkan warga tak berpengalaman menuju ke atas, termasuk saya. Mendaki dengan sepeda motor sangat terbuka dan terlalu berisiko. ”Kami ndak bisa manjamin kok tajadi nan indak-indak di ateh. Induak harimau alun tatangkok (Kami tidak bisa menjamin kalau terjadi yang tidak diinginkan di atas. Induk harimau belum tertangkap),” kata salah seorang dari mereka.
Mereka menyarankan saya naik bersama dokter hewan dari Pusat Rehabilitasi Harimau Sumatera Dharmasraya (PRHSD) Arsari yang sedang dalam perjalanan dengan mobil dari Kabupaten Dharmasraya. Saya coba mengikuti saran mereka. Sembari menunggu saya mengakrabkan diri sembari mengorek-ngorek informasi.
Akan tetapi, setelah hampir sejam menunggu, dokter hewan tak kunjung tiba. Perasaan jengkel bercampur khawatir tak dapat foto dan berita mengalahkan rasa takut. Saya beranikan diri mendaki dengan mengikuti seorang lelaki paruh baya yang juga bersepeda motor. Warga itu hendak menuju posko yang berjarak sekitar 500 meter sebelum lokasi perangkap.
Baca juga: Tunggu Dokter Hewan, Harimau yang Ditangkap di Solok Belum Dievakuasi
Akses ke atas bukit hanya jalan tanah menanjak dengan pinggiran bersemak. Lebarnya cukup untuk dilewati mobil 4x4. Di beberapa titik, jalur yang terbentuk karena sering dilindas roda sepeda motor dan mobil itu terlalu dalam. Sementara itu, kiri-kanan jalan terhampar kebun masyarakat, seperti cengkeh, kakao, cabai, pisang, dan lainnya, serta rumpun bambu.
Di sepanjang jalan, saya berupaya tetap awas. Selain berhati-hati memilih jalur yang dilewati, saya was-was pula atas kemungkin kuduk diterkam dari belakang. Mata bergerilya kiri-kanan mendeteksi bulu loreng si kucing belang raksasa. Warga yang saya ikuti terus melaju belasan meter di depan.
Setengah jalan menuju posko, tanjakan semakin terjal. Tarikan gas tak dikurangi sedikit pun agar sepeda motor tak kehilangan daya. Sepeda motor bebek laki-laki paruh baya itu melaju dengan pasti. Namun, naas tiba di saya. Di pertengahan tanjakan, yang panjangnya sekitar 20-30 meter itu, roda sepeda motor terpleset ke jalur yang dalam.
Roda menggasing, kehilangan cengkeraman pada tanah yang kering dan berdebu. Berulang kali saya mengangkat motor mengembalikan roda ke jalur semula tetapi tetap saja sia-sia. Roda terus menggasing.
Baca juga: Dua Harimau Sumatera Masih Berkeliaran di Perladangan Kabupaten Solok
Di jalan tengah kebun itu, saya panik dalam kesendirian. Hendak melaju tak bisa, hendak putar balik terlalu berbahaya di jalur yang kemiringannya sekitar 45 derajat itu (Dalam perjalan pulang seusai evakuasi, saya menyaksikan langsung seorang personel Bhabinkantibmas terpelanting ke dalam kebun ketika menuruni jalur ini.)
Beberapa menit berputus asa, saya menarik napas dalam-dalam, mencoba berpikir jernih. Cucuran keringat di muka diseka dengan lengan baju. Roda dikembalikan pada jalur semula. Kali ini, bagian bawahnya diganjal dengan semak kering. Meskipun sempat menggasing, roda cukup punya cengkeraman untuk melanjutkan perjalanan.
Selepas tanjakan itu, jalur ke atas kembali relatif mudah. Walaupun tanjakan serupa kembali menghadang beberapa meter menjelang posko, saya punya cukup pengalaman. Dua puluh menit usai memulai perjalanan, saya tiba di pondok kayu sebuah ladang yang dijadikan warga sebagai posko. Puluhan orang yang sebagian besar laki-laki dewasa berkumpul di sana, antara lain tim BKSDA Sumbar, perangkat nagari, dan warga sekitar.
Kecewa
Di antara puluhan orang itu, ada pula Andri dan Arif yang sudah lebih dulu tiba di sana. Mereka menumpang mobil tim BKSDA Sumbar menuju posko. Mobil Andri diparkir di kaki bukit, tempat puluhan warga berkumpul. Saya dan mereka menunggu di posko dalam kondisi perut kelaparan sembari mengerjakan apa yang bisa diangsur.
Saya mewawancarai beberapa warga dan wali nagari terkait kemunculan dan penangkapan harimau ini. Dari wawancara tergambar kecemasan warga yang terganggu dengan kemunculan harimau. Mereka tak bisa ke ladang untuk memanen hasil tanaman. Ekonomi semakin sulit dengan pandemi Covid-19 sedangkan hidup mereka mesti terus berlanjut.
Baca juga: Sepasang Harimau yang Ditangkap di Solok Belum Siap Berburu Sendiri
Hingga pukul 17.30 belum ada kejelasan kapan harimau bakal dievakuasi. Dokter hewan dari Dharmasraya belum juga datang. Tenggat waktu pengiriman foto dan berita semakin dekat. Sementara tak seorang pun diperkenankan melihat harimau. Selain berbahaya karena ada kemungkinan induk harimau berkeliaran, kunjungan ke perangkap juga bisa membuat harimau stres ataupun kabur.
Menjelang magrib, Kepala Resor Konservasi Wilayah Solok BKSDA Sumbar Afrilius menyampaikan, evakuasi dilakukan Senin (29/6/2020) pagi sekitar pukul 06.00. Dokter hewan diperkirakan sampai malam hari. Tim evakuasi bakal menginap di posko. Hal ini tentu saja mengecewakan saya dan jurnalis lainnya.
Perjalanan turun mengalir begitu saja. Setibanya kembali di kaki bukit, Andri dan Arif menumpang dengan Honda Beat saya menuju warung makan terdekat, sekitar 1-2 kilometer. Shock breaker sepeda motor acap terbenam mengangkut Andri yang bertubuh kurus sedang dan Arif yang besar tinggi. Mobil ditinggalkan di kaki bukit sebelum dijemput kembali malam hari.
Selepas makan dan mengirim berita di warung nasi goreng, sehabis magrib, saya hendak langsung pulang. Liputan hari itu memang tidak direncanakan untuk menginap. Tak ada perlengkapan yang dibawa, hanya pakaian dan jaket yang terpasang di badan. Namun, mengingat perjalanan yang telah dilalui tanpa ada hasil—foto—dan badan yang terlalu lelah untuk dibawa pulang, akhirnya saya menginap.
Keluarga pemilik ”Lapau Tabek Pusako” tersebut berbaik hati meminjamkan ruang mushala kepada saya, Andri, dan Arif untuk menginap malam itu, lengkap dengan selimut dan bantal. Malam yang sejuk terasa singkat saat terbangunkan alarm di pagi hari.
Mendaki lagi
Sekitar pukul 06.00, saya berbonceng tiga dengan Andri, dan Arif bergegas ke posko. Perkiraan mereka, bakal ada rombongan mobil Kepala BKSDA Sumbar Erly Sukrismanto yang menyusul tim evakuasi. Namun, setibanya di kaki bukit dan menunggu beberapa menit, rombongan itu tak kunjung tiba.
Dengan segenap kemampuan yang ada, perjalanan perlahan dilanjutkan. Dua jurnalis yang lebih senior itu berganti minta dibonceng saat sepeda motor melalui jalur landai. Perjalanan kedua itu jauh lebih berat dibandingkan kemarin. Honda Beat meraung-raung ketika dipaksa mendaki dengan beban ganda.
Setibanya di posko, panik menyerang seketika. Tim evakuasi ternyata sudah berangkat ke lokasi harimau terperangkap. Api unggun di sekitar posko masih berasap, tanda api baru dimatikan. Jam di ponsel menunjukkan pukul 06.44.
”Akankah perjuangan ini kembali sia-sia?” Bila harimau sudah dipindahkan ke kandang di bak mobil, pupus sudah harapan bisa memotretnya. Bahkan, mata nyaris tak bisa melihat ke dalam kandang besi dengan lubang-lubang seukuran ujung kelingking itu.
Belum habis peluh dan penat, perjalanan kembali dilanjutkan. Meneruskan sisa-sisa harapan untuk bertemu si raja rimba. Saya kembali membonceng Andri dan Arif bergantian. Namun, kali ini sepeda motor yang mencapai batasnya. Baru belasan meter melaju, asap putih mengepul dari mesin. Melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki rasanya mustahil.
Pada puncak keputusasaan itu, takdir memberikan jawaban. Dari kejauhan, mobil 4x4 Mitsubishi Strada rombongan Kepala BKSDA Sumbar melaju dengan santai di medannya. Honda Beat dikembalikan ke posko. Begitu tiba di hadapan, saya dan dua jurnalis lainnya melompat ke bak mobil dengan terengah-engah.
Raja rimba
Bantuan itu betul-betul menyelamatkan saya dan dua rekan lainnya. Meskipun cuma sekitar 500 meter dari posko, jalur di perbukitan itu sangat berat dan menguras tenaga jika ditempuh dengan berjalan kaki. Di arah belakang, dari kejauhan, terlihat permukiman dan persawahan yang dikelilingi pegunungan.
Mobil akhirnya sampai di sebuah pondok kayu dalam perkebunan karet. Mobil tim evakuasi yang berangkat lebih dulu berjajar di pinggir jalan. Belasan orang sudah menunggu di sekitar pondok. Seorang jurnalis foto lainnya menyusul datang beberapa menit kemudian. Tidak berlama-lama, rombongan segera menuju ke lokasi harimau masuk perangkap di kebun karet, sekitar 40-50 meter dari pondok.
Sang raja rimba sesekali mengaum dari dalam kotak perangkap terali besi yang ditutupi dengan dedaunan dan semak. Harimau itu menindih kambing umpan yang ternyata masih hidup. Dokter hewan mulai menyiapkan suntik bius. Petugas BKSDA Sumbar dan perangkat nagari beberapa kali mengingatkan orang-orang agar tidak terlalu dekat ke perangkap.
Orang-orang yang memegang kamera, termasuk saya, mulai berburu momen. Segala sisi diambil untuk memaksimalkan waktu yang singkat itu. Saya sempat mati gaya ketika memotret karena ini pengalaman pertama mengikuti proses evakuasi harimau dan pengalaman pertama bertemu harimau asli dari hutan.
Mati gaya kembali terjadi saat harimau yang sudah dibius dipindahkan ke kandang di atas bak mobil. Proses evakuasi jauh dari ekspektasi selama ini. Dalam pikiran saya, sesuai foto-foto evakuasi harimau di media massa, harimau diangkat begitu saja bersama-sama. Pada kesempatan ini, tim evakuasi menggotong harimau dengan tandu dari lembaran kain atau terpal. Kamera jadi sulit untuk membidiknya.
Saya dan jurnalis lainnya memaksimalkan segala kesempatan yang ada dalam perjalan 40-50 meter menuju mobil itu. Kadang-kadang juga berebut dalam mengambil sudut yang tepat. Tidak hanya sesama jurnalis, persaingan juga terjadi dengan warga yang mengabadikan momen ini untuk konten Youtube.
Setibanya di kandang atas bak mobil, harimau dibawa ke kantor Wali Nagari Gantuang Ciri. Di sana, pihak BKSDA Sumbar, nagari, dan PRHSD Arsari mengadakan acara serah terima. Harimau Putra Singgulung itu bereuni dengan saudarinya Putri Singgulung di Dharmasraya.
Melihat hasil foto, sejujurnya saya tidak begitu puas dengan ”perburuan” foto kali ini. Namun, mengingat perjalanan dan perjuangan yang dilalui, pengalaman ini patut disyukuri. Tak semua jurnalis beruntung bisa mengabadikan proses evakuasi harimau sumatera. Sensasi memotret harimau dari rimba tentu tak sama dengan harimau di kebun binatang.