Mengais-ngais Emosi di Belanda
Itulah yang berusaha saya hasilkan dari tulisan-tulisan perjalanan saya, bikin ”emosi” pembaca. Namun, karena tulisan perjalanan lebih banyak bersifat ”leisure”, emosi yang saya munculkan lebih berupa ekspresi ceria.
I’ve learned that people will forget what you said, people will forget what you did, but people will never forget how you made them feel.
Maya Angelou
Ungkapan dari penulis asal Amerika Serikat ini, jika kita terapkan pada dunia tulis-menulis, kira-kira bermakna bahwa untuk menghasilkan tulisan yang menggerakkan perasaan pembaca, kita perlu menghadirkan emosi ke dalamnya.
Saya mulai meyakini pentingnya ”faktor emosi” setelah membaca The Emotion Thesaurus: A Writer\'s Guide to Character Expression yang disusun duo Angela Ackerman dan Becca Puglisi. Angela merupakan penulis fiksi untuk kalangan remaja, sementara Becca penulis fantasi dan fiksi sejarah.
Tanpa emosi, karakter tokoh yang ada dalam tulisan akan sia-sia.
Keduanya mengatakan, tanpa emosi, karakter tokoh yang ada dalam tulisan akan sia-sia. Alur yang ada akan berjalan tanpa makna dan akhirnya tidak ada yang sudi membaca. Sebab, pembaca bak bertaruh saat meluangkan waktunya demi menyimak kalimat demi kalimat dan mencari pengalaman emosional di dalam tulisan.
Mereka ingin terhibur dengan menjadi bagian dari pengalaman tokoh yang dibacanya. Dengan demikian, pembaca berharap siapa tahu hal tersebut dapat menambah arti perjalanan hidup yang mereka tempuh.
Itulah yang berusaha saya hasilkan dari tulisan-tulisan perjalanan saya, bikin ”emosi” pembaca. Namun, karena tulisan perjalanan lebih banyak bersifat leisure yang dinikmati saat senggang, emosi yang saya munculkan cenderung tentang kebahagiaan yang mewujud dalam perilaku senang atau ekspresi ceria. Bukan tentang konflik tajam yang bertensi tinggi.
Sebab, saya sadar betul, kadar emosi yang terlampau tinggi tidak bagus untuk tulisan perjalanan. Saya memperlakukan tulisan perjalanan sebagai bacaan ringan yang memberi getaran positif untuk para pembaca. Meskipun terkadang terselip kisah sedih.
Pada akhir tahun 2018, saya ditugasi kantor untuk memenuhi undangan liputan fashion show di Paris. Fashion show sebenarnya bukan bidang liputan saya, artinya tidak sering saya lakukan meskipun pernah.
Namun, sebagai wartawan, pantang menolak tugas sekaligus pantang sembarangan menjalankan tugas. Meskipun bukan bidang saya, saya harus meliputnya dengan serius.
Baca juga : Nyeri Sesaat demi Selamat
Salah satu strategi saya untuk menyelami liputan fashion dan memegang tekstur peristiwanya, saya mendekati beberapa perancang busana. Peragaan busana ini diikuti para perancang busana dari Indonesia dalam rangka promosi potensi mode Tanah Air.
Syukurnya, para perancang ini sangat terbuka dan ramah sehingga memudahkan saya untuk mengenal hal-hal yang akan saya liput. Bahkan, saat ada jadwal kosong di sela-sela rangkaian kegiatan, salah satu perancang busana, Lisa Fitria, mengajak saya menyeberang ke Belanda.
Semula saya ingin jalan-jalan saja di Paris, mengunjungi beberapa desa yang belum banyak diliput media. Namun, hari itu ada demo besar di Paris. Banyak jalan diblokade, termasuk beberapa jalur transportasi umum, sehingga rencana saya ke desa-desa gagal. Kalau Anda masih ingat, pada awal 2018, Paris diguncang unjuk rasa ”rompi kuning” yang menentang kenaikan harga bahan bakar minyak.
Baca juga : Jiwa-jiwa Baik di Sepanjang Liputan Bencana
Oleh karena itu, tawaran berkunjung ke Belanda tadi dengan senang hati saya terima. Sepanjang perjalanan saya habiskan untuk membaca-baca tentang Belanda, khususnya beberapa kota penting yang akan kami kunjungi, seperti Amsterdam dan Leiden. Saya bahkan secara khusus menghubungi rekan yang tengah studi doktoral di Leiden untuk menjajaki kemungkinan bisa berjumpa.
Setibanya di sana, kami menginap di rumah Pak Pon (63) di Almere, kota kecil di Provinsi Flevoland, sekitar 30 kilometer dari Amsterdam. Ponijo, demikian nama lengkap Pak Pon, adalah pria berdarah Jawa kelahiran Suriname. Meskipun saat tiba sudah relatif malam, saya memilih tidak langsung tidur. Fakta bahwa saya berjumpa dengan orang berdarah Jawa di Belanda adalah sesuatu yang menarik sehingga sayang rasanya jika saya lewatkan begitu saja.
Saya pun mengobrol sampai benar-benar tak kuat lagi menahan kantuk. Keesokan harinya, obrolan masih kami lanjutkan seusai sarapan. Saya coba menggali-gali kira-kira ”drama” apa yang dapat saya temukan dari pengalaman hidup Pak Pon.
Rupanya, tidak banyak hal emosional yang berhasil saya petik lewat cerita Pak Pon. Sebab, Pak Pon seorang yang cenderung menerima keadaan. ”Saya sudah pindah ke sini sejak sekitar 30 tahun lalu,” kata Pak Pon yang mengaku hanya bisa berbahasa Belanda dan bahasa Jawa ngoko.
Empat tahun terakhir, dia menyewakan tiga kamar di rumahnya untuk diinapi para pelancong dari sejumlah negara yang ingin menikmati Belanda. Tarifnya bisa sampai sepertiga dari tarif hotel.
Dia lebih senang jika yang menginap di rumahnya adalah orang Indonesia. Pertama, sedikit banyak dapat mengurangi kerinduannya pada Indonesia. Kedua, tamu-tamu dari Indonesia cenderung tidak rewel. ”Kalau bule-bule sering tidak cocok. Banyak mengeluh,” ujarnya.
Baca juga : Mendadak Vaksin Covid-19
Pak Pon bekerja di pemerintah daerah Almere di bidang logistik. Penghasilannya dari menyewakan kamar lumayan untuk tambahan tabungan. Keterikatannya pada Tanah Air masih besar, yang dibuktikan dengan rutin pulang ke Tangerang, Banten, guna bertemu anak dan istrinya.
Rumah Pak Pon sangat nyaman karena rapi dan bersih. Yang lebih membuat kerasan tentu saja makanannya. Saat sarapan, Pak Pon memasak soto daging dengan campuran kacang merah. Mirip soto daging Bandung, tetapi kuahnya lebih kental. Tentu saja ditambah nasi.
Pak Pon belajar masak dari teman-teman sesama darah Jawa. Dia menyebut itu sebagai soto rasa Suriname. ”Bedanya dengan soto di Jawa, tidak ada jeruk nipis, he-he-he,” ujar Pak Pon yang juga mahir memasak soto ayam, mirip soto Lamongan.
Di Almere, kami juga berkunjung ke rumah Roesje Kertaidjojo (70), yang tinggal bersama istrinya, Frida (68). Pasangan ini lebih ekspresif dibandingkan Pak Pon. Mereka mengobrol dengan menyelipkan bahasa Jawa. Kadang utuh dalam satu kalimat. Saya sebagai orang Jawa merasa istimewa berada di Belanda, bertemu orang baru, lalu berbicara dalam bahasa ibu, bahasa Jawa.
Kejawaan itu tidak berhenti di bahasa. Pasangan ini menyuguhkan makanan yang sering kami jumpai di kampung halaman, seperti peyek, kerupuk, dan rengginang. Membaui aroma makanan-makanan itu saja sudah bisa membuat emosi muncul. Rasanya, antara terkejut dan bahagia bercampur haru.
Menyantap makanan tadi di ”Negeri Kincir Angin” sungguh berbeda rasanya. Mungkin karena udara dingin yang saat itu mencapai 8 derajat celsius. Membiarkan rengginang remuk diimpit gigi geraham di tengah sergapan udara dingin sungguh nikmat terasa.
Baca juga : Menjadi Korban Saat Liputan Bencana
Sesaat muncul sensasi pulang, bertemu ibu-ibu di pasar tradisional yang selalu ramah menawarkan jajanan. Juga muncul kehangatan suasana Lebaran, suasana yang menghangatkan hati berkumpul bersama sanak famili.
Nah, muncul, kan, emosi yang bisa kita manfaatkan untuk meramunya menjadi tulisan. Saya lalu bertanya kepada Frida alasan dia bersikap begitu ramah kepada kami. Dia tidak kalah emosional.
Rupanya, Frida merasa bertemu dengan anak dan cucunya sendiri. Ketika kami pamit melanjutkan perjalanan, bukan hanya peluk cium yang dia bekalkan. Beragam makanan juga dia bungkus dalam tas besar yang tak kunjung habis kami santap sepanjang perjalanan. Kami seperti habis mudik ke kampung.
”Pokoke nek mrene, ojo lali mampir maneh,” kata Frida mengingatkan kami untuk mampir lagi jika ke Belanda.
Pak Pon, Pak Roes, dan Bu Frida baru pertama kali kami temui. Namun, mereka membuat kami merasa sudah lama saling kenal, seperti keluarga sendiri. Ini menguatkan nasihat Imam Syafi’i, seorang cendekia dan perawi hadis yang terkenal, bahwa dengan merantau kita akan menemukan pengganti kerabat dan teman.