Wartawan dan Koleksinya, dari Arbain Rambey sampai PK Ojong
PK Ojong yang lahir seabad lalu mewariskan banyak hal ketika membesarkan ”Kompas”. Salah satunya, hobi koleksi di kalangan wartawan. Hobi ini tidak sekadar ”klangenan”, tapi sering kali mendukung pekerjaan.
Kuliah teknologi pangan tidak lantas membuat saya mencintai bidang ini. Nilai berantakan meski lulus tergolong cepat, hanya untuk segera terbebas dari beban belajar di kampus. Saya mulai mencintai bidang ini justru ketika bekerja di harian Kompas.
Kecintaan terhadap teknologi pangan, terutama yang berasal dari akhir abad ke-20, berawal dari tantangan Kepala Biro Jawa Barat Her Suganda. Ia selalu meminta saya menggarap isu pertanian dan pangan. Meski kemudian sudah tidak lagi bertugas di Jawa Barat, saya tetap melanjutkan eksplorasi soal pangan, termasuk sejarahnya.
Saat mempelajari sejarah pangan dan pengolahannya, saya terpikir mencari artefak-artefak yang terkait. Awalnya karena merasa sedih. Setiap kali ke daerah, alat-alat itu sudah ditinggalkan dan berganti dengan alat-alat baru berbahan plastik atau logam. Tak ada sisi indahnya sama sekali.
Baca juga: Wartawan ”Kemarin Sore” di Tengah Deraan Krisis Ekonomi
Satu per satu mulai saya kumpulkan karena menurut saya perlu diselamatkan. Lama-kelamaan, kok, jadi banyak. Saya lupa kesukaan mengoleksi artefak ini hasil pengaruh siapa. Namun, yang pasti, dari para senior di kantor.
Tak disangka koleksi saya semakin melimpah, mulai dari alat pengolahan pangan sejumlah suku di Nusantara, buku resep makanan, hingga iklan makanan tempo dulu.
Suatu saat, Yudhi Soerjoatmodjo, seorang pekerja kreatif yang pernah menjadi kurator berbagai acara, datang ke rumah dan melihat koleksi saya. Ia bercerita, dirinya juga pernah bertemu sejumlah wartawan Kompas yang ternyata masing-masing memiliki koleksi pribadi. Ia mengaku heran dengan kebiasaan dan keunikan koleksi mereka.
”Entah mengapa kebanyakan selalu punya koleksi. Semacam bagian dari pencapaian profesi dengan mengoleksi yang terkait dengan liputan atau hobi,” kira-kira demikian komentar Yudhi waktu itu.
Ucapannya membuat saya penasaran dan mulai melacak kebiasaan mengoleksi di kalangan wartawan Kompas. Saya langsung ingat kepada pendiri Kompas, PK Ojong, yang memiliki selera tinggi di bidang seni. Ia mengoleksi lukisan, ukiran, hingga keramik.
Saya menduga, hobi mengoleksi di kalangan wartawan Kompas selain karena minat pribadi juga dipengaruhi oleh PK Ojong. Dalam buku Hidup Sederhana Berpikir Mulia karya Helen Ishwara, terdapat bab tentang ”Ojong dan Benda Seni” yang mengungkap kebiasaan PK Ojong.
Baca juga: Sensasi Naik V-22 Osprey, Pesawat yang Lepas Landas dan Mendarat seperti Helikopter
Ia senang mengoleksi sejak awal 1970-an. Saat itu, kondisi perusahaan semakin baik. GM Sudarta menjadi penasihat artistik untuk pembelian dan pemilihan koleksi.
Wartawan senior Jimmy S Harianto yang masuk Kompas tahun 1975 membenarkan peran GM Sudarta itu. Lukisan, ukiran, dan keramik koleksi PK Ojong tergolong koleksi maestro yang sangat berharga. Ada lebih kurang 635 koleksi lukisan, seperti karya Affandi, Dullah, S Sudjojono, Basuki Abdullah, serta lukisan khas Bali yang lengkap.
”Minat seninya luar biasa. Ojong memiliki selera seni tinggi. Cita rasa Ojong juga sangat berpengaruh ke liputan seni yang ada di Kompas. Selera seni memberi dampak positif bagi orang di sekitarnya dan perusahaan,” kata Jimmy yang akrab disapa Pak Bo.
Sebulan setelah bergabung dengan Kompas, Jimmy yang wartawan baru ditugaskan mewawancarai PK Ojong terkait pameran 250 koleksi lukisannya di Taman Ismail Marzuki.
Belakangan, minat Ojong dilanjutkan oleh Kompas dengan mendirikan Bentara Budaya. GM Sudarta terlibat dalam pengurusan dan pembangunannya. Koleksi PK Ojong yang kemudian menjadi koleksi Kompas pernah dipamerkan beberapa kali.
Jimmy sepakat, kebiasaan PK Ojong itu menurun ke sejumlah wartawan, antara lain P Swantoro yang mengoleksi keris dan buku kuno serta GM Sudarta yang mengoleksi karya seni rupa. Belakangan, Jimmy ikut mengoleksi, terpengaruh oleh GM Sudarta yang sering mengajaknya ke acara seni.
”Saya yakin, hobi Ojong itu secara tak sadar diikuti oleh karyawan-karyawannya. Mereka melihat kebiasaan pimpinannya karena kalau pimpinan enggak senang koleksi, ya, wartawan muda mungkin enggak ikut koleksi. Pada masa itu, hobi mengoleksi termasuk populer,” kisah Jimmy.
Baca juga: Masuk ”Zona Rawan” untuk Melihat Bekas Tambang
Hobi koleksi Jimmy sendiri bermula awal tahun 1980-an. Saat itu, ia diajak GM Sudarta menengok Bentara Budaya Yogyakarta (BBY) yang dikuratori Hajar Satoto. Saat ditemui, Hajar Satoto tengah mencuci keris. Jimmy kemudian dikenalkan dengan para kolektor keris dan kreator. Sejak itu, ia mulai tertarik pada keris dan mengoleksinya hingga sekarang.
Kebiasaan Jimmy ini diketahui wartawan yang lebih muda. Salah satunya, Budiarto Danudjaja yang awalnya memilih koleksi batu akik. Budiarto kerap mengajak Jimmy ke Jatinegara untuk melihat batu akik.
Jimmy mau mengikuti ajakan Budiarto karena di Jatinegara dia bisa melihat keris. Jadi, saat Budiarto melihat-lihat akik, Jimmy menikmati keris-keris yang ada di tempat itu. ”Melihat kebiasaan saya, lama-lama dia ikutan. Eh, malah jadi gila keris dia,” kata Jimmy.
Secara tak sadar, kebiasaan mengoleksi mulai menular di kalangan wartawan. Awalnya karena tertarik melihat koleksi senior. Lama-lama menjadi hobi.
Arbain Rambey, wartawan dan fotografer senior, mengaku ikut terpengaruh dengan hobi koleksi para seniornya, seperti GM Sudarta dan Jimmy S Harianto. Sudarta membuatnya tertarik mengoleksi patung dan topeng. Arbain juga sempat ”tertular” menyukai keris hingga memiliki 10 keris. Namun kemudian hobi ini terhenti.
”Orang tahu kalau saya punya koleksi berbagai jenis kamera. Ini terlalu mainstream. Yang orang tidak tahu, ternyata saya memiliki koleksi caping, patung, topeng, tas tradisional, dan lainnya,” ujar Arbain menceritakan jenis-jenis koleksinya.
Baca juga: Skenario Terburuk Saat Liputan Presiden
Hobi mengoleksi berawal ketika ia mulai mempunyai pendapatan. Bekerja di Kompas membuat Arbain semakin tekun mengoleksi. Perjalanan jurnalistiknya ke berbagai tempat memberinya kesempatan bertemu banyak orang yang membuat wawasannya tentang koleksi bertambah.
”Setiap meliput dan melakukan perjalanan, saya ingin mengenang tempat itu dengan membeli suvenir. Biasanya saya sambungkan dengan koleksi saya. Dari sini, saya konsisten terus mengoleksi. Dari hobi itu, saya makin yakin Indonesia sangat luar biasa kekayaannya. Saya pernah membeli akik di sebuah pulau. Ketika pindah ke pulau lain yang tidak jauh, ternyata akiknya sudah beda,” tutur Arbain.
Ia mengatakan tak punya alasan khusus dalam mengoleksi. Prinsipnya, ia menyukai barang yang dibelinya sehingga terkadang tidak pikir-pikir lagi dengan harganya.
Pernah, ia membeli caping dari Toraja yang harganya mencapai Rp 1 juta hanya karena hiasannya bagus. Ia pernah mempunyai beberapa caping, tetapi kini sebagian rusak. Karena itu, ia masih terus memburu caping.
Salah satunya, caping Kudus yang digunakan untuk upacara adat. Namun, caping itu harus dipesan lebih dahulu untuk mendapatkannya. Caping lain yang pernah dimiliki tetapi kini juga sudah rusak adalah caping dari manggar kelapa khas Jateng. Sayang, caping model itu kini sudah tidak diproduksi lagi.
Ia juga memiliki aneka topeng, baik dari dalam maupun luar negeri, seperti dari Nepal, India, dan salah satu negara di Afrika. Topeng-topeng itu kini dipajang di rumahnya.
Baca juga: Sepotong Cerita dari Desa
Lain lagi dengan editor foto Iwan Setiyawan yang hobi koleksi uang kertas dan prangko meski kini sudah jarang beli prangko karena PT Pos Indonesia lebih banyak melayani orang untuk bikin sendiri. Ia sebenarnya sudah lama mengoleksi uang kertas. Hobinya semakin menggila saat masuk Kompas karena kerap bertemu sesama pehobi.
”Suatu saat saya meliput isu ekonomi dan datang ke Museum Bank Indonesia. Di tempat ini, kita bisa melihat koleksi uang yang pernah dicetak. Saya jadi bisa mengecek, mana yang sudah saya punya dan mana yang belum. Kadang, saya bertemu narasumber yang hobinya sama. Jadi lebih mudah komunikasinya karena ada tema obrolan,” kata Iwan.
Tidak hanya itu, pertemuan dengan orang-orang yang ternyata memiliki hobi sama kerap menjadi ajang saling tukar koleksi. Koleksi uang kertasnya kini mencapai 50 seri, dari tahun 1950-an hingga terbitan terakhir yang telah ditarik Bank Indonesia. Jumlah totalnya lebih banyak lagi karena satu seri bisa berisi beberapa mata uang kertas.
”Saya suka gambar dan grafis di uang kertas dan prangko karena menarik dan unik. Ternyata uang masa lalu gambar dan desainnya bagus-bagus. Dari visual uang kertas kita bisa menduga semangat pada zamannya,” ujarnya.
”Saat Orde Lama, terbit seri pekerja yang mungkin dipengaruhi ideologi kiri. Pada masa Orde Baru, lebih banyak diwarnai gambar pembangunan. Kita bisa menilai propaganda sebuah rezim dari gambar uang kertas pada masanya,” lanjutnya.
Baca juga: Mati Lampu Bersama Ahmad Tohari
Fotografer Ferganata Indra Riatmoko yang bertugas di Yogyakarta mempunyai hobi koleksi radio. Ia punya lebih dari 20 radio lama, mulai dari yang bermerek Telefunken, Cawang, Nasional, hingga Erres. Sebagian masih aktif, sisanya sudah sulit dihidupkan. Ia mulai mengoleksi radio lima tahun lalu.
”Saya sering lihat radio karena dulu bapak saya terima jasa servis radio. Belakangan, saya tertarik koleksi. Salah satu koleksi, radio tua peninggalan simbah. Kepuasan saya saat menemukan radio langka dan bisa mengakuisisinya. Semakin langka, semakin puas,” katanya.
Masih banyak lagi koleksi unik wartawan di Kompas, seperti botol dan kaleng minuman Coca-Cola, pisau, kaus, benda antik, kain, buku kuno, patung, lukisan, dan gebyog. Sepertinya, setiap wartawan Kompas memiliki kebiasaan koleksi meski mungkin beberapa menjalaninya sambil lalu.
Tanpa disadari, ternyata PK Ojong yang lahir seabad lalu mewariskan banyak hal ketika membesarkan Kompas. Salah satunya, hobi koleksi di kalangan wartawan.
Hobi yang sepertinya menurun dari wartawan senior ke wartawan muda. Bahkan, kepada mereka yang tidak mengenalnya secara langsung, hanya lewat buku-buku. Mengoleksi kemudian menjadi semacam sisi tak terpisahkan dari pencapaian profesional wartawan Kompas.