Skenario Terburuk Saat Liputan Presiden
Sekitar 1,5 jam kemudian, rombongan Presiden tiba. Seperti yang sudah kami prediksi, oleh karena tidak mengantongi ID card peliputan, kami tidak diperkenankan mendekat. Skenario terburuk pun terpaksa dijalankan.
Liputan kepresidenan biasanya menerapkan protokol keamanan yang ketat. Protokol semakin ketat dengan terjadinya pandemi Covid-19. Untuk pertama kalinya di masa pandemi, Presiden Joko Widodo melakukan kunjungan kerja, Kamis (25/6/2020). Pilihannya adalah Banyuwangi di Jawa Timur, provinsi yang saat itu statusnya masuk zona merah Covid-19.
Melihat pentingnya momen ini, saya bersiap meliputnya. Namun, ternyata prosesnya lebih ”drama” dari yang saya perkirakan.
Wartawan yang akan meliput harus mengikuti rapid test (tes cepat) terlebih dulu. Demikian pula, rombongan panitia yang akan menerima kunjungan Presiden. Tidak terkecuali Bupati Banyuwangi Abdullah Azwar Anas dan sejumlah pejabat setempat.
Info rencana kedatangan Presiden sudah saya ketahui sejak Senin (22/6/2020). Terbayang kerepotan persiapan meliputnya, salah satunya mencari kartu pengenal (ID card), sebagai akses peliputan dari jarak dekat.
Kartu pengenal biasanya dikeluarkan otoritas militer setempat. Dalam hal ini, Markas Komando Distrik Militer 0825 Banyuwangi. Wartawan daerah yang hendak meliput harus mendaftar, menyerahkan fotokopi KTP dan pas foto.
Namun, pada H-1 kunjungan, tersiar kabar hanya empat wartawan daerah yang bisa meliput kegiatan dari dekat. Informasi itu membuat saya ketar-ketir karena khawatir tidak kebagian kesempatan liputan.
Apalagi kemudian, Kepala Kantor Kompas Biro Surabaya Agnes Swetta Pandia yang akrab disapa Mbak Eta mengabarkan, Desk Politik Hukum belum mendapat undangan dari Istana Kepresidenan untuk berkunjung ke Surabaya dan Banyuwangi.
Informasi ini semakin menjadi beban pikiran saya. Pasalnya, jika tidak ada teman dari Jakarta yang ikut rombongan dan saya juga tidak mendapat ID card liputan, Kompas tidak bisa melaporkan langsung berita ini.
Baca juga : Sepotong Cerita dari Desa
Untung, tak lama kemudian berembus angin segar. Kuota liputan ditambah menjadi 24 orang. Namun, nama-nama wartawannya sudah ditentukan. Nantinya orang-orang ”terpilih” tersebut akan diminta mengikuti tes cepat.
Namun, hingga malam, ke-24 nama wartawan terpilih belum juga diumumkan. Perasaan semakin gelisah. Saya ingin meliput peristiwa ”penting” ini tetapi, kok, belum pegang ID card liputan.
Skenario terburuk
Tak ingin membiarkan liputan berjalan tanpa persiapan yang jelas, saya dan beberapa teman memilih memikirkan skenario terburuk. Skenario yang akan kami jalankan apabila benar-benar tidak mendapat ID card dan harus liputan dari jarak jauh.
Untuk itu, kami harus tahu medan liputan. Di Banyuwangi, Presiden Jokowi diagendakan berkunjung ke Pasar Pelayanan Publik Rogojampi, Villa Solong, serta dua agenda tentatif meninjau destinasi wisata di Agrowisata Tamansuruh dan Taman Gandrung Terakota.
Setelah mengetahui lokasi, kami harus memilih mau meliput di lokasi mana. Oleh karena tidak pergi bersama rombongan, biasanya akan kesulitan meliput semua agenda.
Intuisi saya mengatakan, agenda pertama pasti didatangi. Jika molor, agenda kedua dan selanjutnya berpotensi dibatalkan. Oleh karena itu, kami kemudian menganalisis titik-titik di sekitar Pasar Pelayanan Publik Rogojampi yang bisa kami jadikan tempat meliput dari jauh.
Dengan bantuan Google Street View, kami menemukan sebuah ruko dua lantai di depan Pasar Pelayanan Publik yang bisa digunakan untuk memotret dan menyaksikan kegiatan Presiden Jokowi. Dengan begitu, setidaknya saya akan punya foto dan deskripsi yang bisa saya gunakan sebagai bahan berita.
Baca juga : Mati Lampu Bersama Ahmad Tohari
Akhirnya, hari ”penting” pun tiba. Pukul 08.00 saya sudah meninggalkan rumah untuk kembali berjuang mendapatkan ID card sebagai akses liputan. Saya masih berharap nama saya masuk dalam daftar wartawan terpilih sehingga skenario terburuk tidak perlu dijalankan.
Namun, hingga pukul 10.00 tak juga ada kejelasan siapa yang bisa meliput dari dekat. Saya nekat kembali ke Kodim 0825 Banyuwangi, berharap ada peluang. Namun, harapan itu pupus.
Seorang anggota Staf Penerangan Kodim 0825 hanya memasukkan kami ke dalam grup telegram yang dikelola staf penerangan Korem 083 Malang. Mereka menjanjikan semua foto, video, dan rekaman yang menjadi bahan liputan akan dibagikan di sana.
Kendati dijanjikan mendapat materi liputan, tidak puas rasanya jika tidak meliput langsung ke lapangan. Saya pun memutuskan menjalankan skenario terburuk.
Ditemani Budi Candra, wartawan Kantor Berita Antara, kami menuju ke Pasar Pelayanan Publik Rogojampi yang jaraknya sekitar 15 km dari kantor Kodim. ”Sing penting gambar aman. Awak dewe wes berusaha liputan. Soal hasil dan laporan kantor itu urusan nanti,” ujar Budi.
Sekitar 5 km mendekati lokasi liputan, saya baru menyadari ada beberapa panggilan masuk dari Kepala Biro Kepresidenan Kompas Suhartono (HAR), Wakil Kepala Desk Nusantara Kompas Wahyu Haryo (WHY), dan Kepala Biro Kompas Malang Siwi Yunita (NIT). Pesan ketiganya sama, saya diminta kembali ke Kodim untuk menemui Pak Marwan, salah satu staf Biro Pers Istana Kepresidenan.
Baca juga : Menyentil Keluarga ”daripada” Soeharto lewat Sepatu
”Mas Ger itu hp org Istana yang di Pasar Rogojampi. Kamu ditunggu di Kodim utk rapid test dulu sebelum liputan. Trims ya Mas, saya sudah koordinasi dengan Mas Wahyu, editormu” begitu kira-kira pesan Mas HAR sambil menyertakan nomor kontak Pak Marwan.
Mendapat peluang liputan, saya memilih berpisah dengan Budi dan kembali ke Kodim. Tidak sampai 10 menit, saya sudah tiba. Saya menemui Staf Penerangan Kodim untuk menanyakan keberadaan Pak Marwan dan lokasi tes cepat.
Harapan saya yang mulai melambung, lagi-lagi harus pupus. Pak Marwan ternyata sudah tidak ada di Kodim dan petugas tes cepat juga baru saja selesai berberes. Kondisi ini kembali saya laporkan kepada atasan.
”Ngger, kamu langsung ke pasar Rogojampi saja. Ada perubahan, rapid test-nya di sana. Saya sudah kontak Mas Marwan, dia di pasar. Semoga masih bisa rapid test ya”, demikian pesan Whatsapp Mas HAR.
Di tengah perjalanan menuju Pasar Rogojampi, ponsel saya kembali berbunyi. Kali ini telepon dari Pak Marwan. Wah, pertanda baik, pikirku. Sambil terus menyetir motor, saya mengangkat telepon. Namun karena komunikasi tidak lancar, saya lalu menepi kemudian berhenti.
”Kamu sudah saya tunggu dari kemarin kenapa tidak memberi kabar? Harusnya kamu rapid kemarin…,” ujar Pak Marwan.
Saya sempat menjawab, ”Dari kemarin saya nunggu kapan di-rapid test, Pak.”
Tidak ada peluang positif. Saya kembali terpikir menjalankan ”skenario terburuk”. Setelah agak tenang, saya sampaikan ke Pak Marwan bahwa saya akan tetap liputan meski dari jauh, sekadar untuk mengambil gambar dan mendeskripsikan situasi di lapangan.
Sementara untuk pernyataan resmi Presiden, saya akan bersandar sepenuhnya dari grup Telegram yang dikelola Penerangan Korem 083 Malang.
Baca juga : Dari Wawancara Transmigran di Pelosok hingga Presiden di Gedung Putih
Saya melanjutkan perjalanan ke Pasar Rogojampi. Tiba di sana, saya mencari Budi untuk bersama-sama menjalankan ”skenario terburuk” yang sudah kami rancang.
Sekitar 1,5 jam kemudian, rombongan Presiden tiba. Seperti yang sudah kami prediksi karena tidak mengantongi ID card, Budi dan saya tidak diperkenankan mendekat.
Akibatnya, kami hanya bisa memotret Presiden saat di Pasar Pelayanan Publik. Itu pun dari jarak yang cukup jauh. Sementara, kegiatan Presiden saat blusukan di pasar hanya diikuti rombongan wartawan dari Jakarta.
Foto headline
Berbekal lensa tele 70-200 mm, saya berhasil mengabadikan momen ketika Presiden Jokowi menyapa warga yang mengantre di Pasar Pelayanan Publik. Sungguh, tidak mudah memotret dari jauh. Terkadang, pandangan lensa kami terhalang Paspamres yang berseliweran.
Tetapi saya masih ingat betul pesan fotografer senior Kompas Arbain Rambey. ”Gambar aman dulu, gambar indah kemudian.” Saya menekan terus shutter kamera untuk mendapatkan gambar-gambar ”aman”.
Kurang dari 1 jam, Presiden merampungkan kegiatannya di Pasar Pelayanan Publik. Puluhan frame foto sudah saya kantongi. Rombongan Presiden kemudian bergeser ke lokasi kedua di Villa Solong.
Baca juga : Menonton Drama Penyelundupan BBM di Cilincing
Saya dan Budi sepakat segera mengirim foto ke kantor masing-masing. Pikiran saya, foto ini harus dilaporkan dulu sebelum rapat sore editor digelar. Harapannya, karya saya masuk dalam daftar foto yang diajukan sebagai foto headline (HL) halaman 1.
Dengan nilai berita yang besar, sejak awal saya berharap foto saya bisa terbit di halaman muka Kompas. Jumat (26/6/2020) sekitar pukul 03.00, saya terbangun. Secara refleks saya mengambil ponsel dan membuka aplikasi Kompas.id. Saya lalu membuka e-paper, versi digital koran Kompas yang sudah terbit sejak dini hari.
Perasaan senang tiba-tiba membuncah. Hanya dengan melihat preview halaman utama Kompas edisi terbaru, saya tahu betul foto Presiden Joko Widodo yang menggunakan faceshield tersebut adalah foto bidikan saya.
Foto yang saya abadikan lewat skenario terburuk itu ternyata terpilih sebagai foto HL atau foto utama halaman muka koran Kompas. Foto yang untuk mendapatkannya harus melewati pingpong sana-sini. Sementara, berita tentang kunjungan tersebut dimuat di halaman 11.
Saya cukup puas dengan pencapaian tersebut. Sejak masuk Kompas 2013, saya dan teman-teman seangkatan selalu berkompetisi untuk mendapatkan foto HL, menulis serial, atau menulis berita tunggal di halaman 1.
Baca juga : Banyuwangi Jadi Contoh Prakondisi Tatanan
Foto Kunjungan Presiden di Banyuwangi ini menjadi foto HL saya yang ke-10 dan semoga bukan yang terakhir. Apakah itu keberhasilan?
Foto menjadi HL di halaman 1, bagi saya, belum cukup disebut keberhasilan. Saya lebih merasa berhasil jika berita yang saya tulis memberikan dampak. Sementara yang saya rasakan saat itu sekadar kepuasan atas sebuah pencapaian.