Sepotong Cerita dari Desa
Banyak hal terjadi tidak sesuai harapan selama liputan desa-desa. Hal itu dialami Wartawati Kompas di Malang, Dahlia Irawati. Namun, Dahlia menolak untuk menyerah dan menjalani idealismenya dalam meliput isu pedesaan.
Salah satu model liputan diajarkan oleh mentor, saat saya diterima sebagai wartawan Kompas, adalah liputan partisipatif. Saya mencoba menerjemahkan liputan partisipatif itu sebagai berikut.
Saya memulainya dengan hal biasa di sekitar saya, yaitu desa. Beruntungnya, Kompas menaruh perhatian terhadap isu desa sehingga hampir setiap tulisan tentang desa akan mendapat tempat. Harian Kompas memiliki cita-cita merajut Indonesia dengan memanggungkan kisah menarik dari berbagai pelosok Nusantara, termasuk desa. Tujuannya agar menjadi pembelajaran, inspirasi, dan motivasi bersama. Berikut saya bagi cerita selama saya menjelajahi desa-desa.
Perkenalan saya dengan isu desa dimulai saat dikenalkan oleh Iman Suwongso, seorang pegiat desa di Desa Pandanlandung, Kecamatan Wagir, Kabupaten Malang, Jawa Timur, sekitar tahun 2015. Perkenalan dengan isu-isu desa berjalan tak sengaja, karena hanya sambil lalu dan kadang hanya mendengarkan cerita.
Lama-lama, saya mulai tertarik dan terlibat dalam diskusi mengenai desa. Diskusi yang digelar orang-orang desa itu pun berkembang serius hingga akhirnya sekelompok orang desa pun mampu mengundang staf presiden, Dirjen Kementerian Desa PDTT, dan tokoh-tokoh penting lain.
Dari semua pembahasan itu, saya mulai paham bahwa Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, dibangun dengan tujuan mulia, yaitu memandirikan dan membuat desa berdaya. Desa selama ini citranya sangat marjinal dalam berbagai hal.
Perkenalan dengan desa semakin luas setelah saya diajak memberikan pelatihan menulis bagi orang desa di 14 kecamatan di Kabupaten Malang. Produknya, mereka bisa menulis potensi unggulan di desa masing-masing. Pertemanan dengan orang-orang desa akhirnya kian erat. Cerita suka-duka para perangkat desa dalam berdesa (mendorong desa berdaya dan mandiri) satu per satu terkisahkan di sela-sela guyonan.
Baca juga: Menonton Drama Penyelundupan BBM di Cilincing
Ada sebuah desa di Kecamatan Pakisaji, misalnya, dalam menata desa, maka perangkatnya harus bertaruh nyawa, sebab yang dilawan adalah ”santet”. Seorang calon carik (kepercayaan kepala desa) di sana pun, harus mati akibat tidak kuat menerima ”kiriman” dari orang yang tidak senang. Hal itu menjadikan kepala desa menjadi ”tidak berani” menindak perangkatnya yang hanya makan gaji buta. Dari 14 perangkat desa, hanya 4 orang yang kerja. Lainnya, jangankan bekerja, untuk menghormati kepala desanya saja mereka tidak melakukannya.
Namun, menariknya, ada sekelompok orang berani di antara mereka, justru berniat melawan. Mereka bertanya, belajar, dan diskusi tentang apa yang bisa mereka lakukan untuk desa mereka. Masih ada semangat di sana.
Mereka datang ke Desa Pandanlandung, desa di mana terdapat aktivitas belajar tentang desa cukup kuat dengan adanya forum Sinau Desa. Forum diskusi di sana sudah berkali-kali digelar, sebelum pandemi Covid-19 merebak. Di sana, mereka berdiskusi soal cara menguatkan desa tanpa takut-takut.
Kisah mengejutkan lain muncul dari sebuah desa di Kecamatan Karangploso, Kabupaten Malang. Sebelum pemilihan kepala desa bersama Juni 2019, desa tersebut memiliki seorang carik (sekretaris desa) perempuan yang piawai dan pandai mengurus desa. Disebut baik karena ia memiliki integritas kuat memajukan desa, bepandangan lurus, jujur, dan tegas memegang aturan. Desa tersebut awalnya menjadi rujukan bagi desa-desa sebelah dalam belajar manajemen keuangan desa. Carik perempuan tersebut dengan sukarela berbagi ilmu.
Sayangnya, seusai pilkada, dan terpilih kepala desa baru, carik perempuan tersebut ”disingkirkan” karena dinilai orangnya kades lama. Carik perempuan tersebut akhirnya memilih mengundurkan diri karena mendapat berbagai tekanan.
Baca juga: Pengalaman Dikejar Awan Panas Gunung Merapi
Sebelum menjadi carik, ia adalah karyawan perusahaan swasta ternama di bidang chemical (kimia). Ia memilih berhenti kerja di perusahaan swasta dan mengabdi untuk desa karena ingin menyumbangkan tenaga dan pikirannya ke desanya. Meski mundur, mantan carik tersebut tetap berjanji akan tetap membantu jika tenaganya dibutuhkan. Ia juga masih aktif berdiskusi tentang desa bersama para pegiat desa lain.
Semangat berdesa dari orang-orang desa di atas, merupakan salah satu contoh hal yang mendorong saya untuk terus menulis tentang desa. Semangat dan cita-cita yang mereka perjuangkan hingga bertaruh nyawa, harus ada yang mencatatnya. Meski cita-cita menuju desa berdaya dan mandiri, secara umum masih jauh dari harapan, tetapi melihat semangat teman-teman, seperti di Malang tersebut, saya punya keyakinan desa akan berdaya pada waktunya. Perjuangan 75.000-an desa di seluruh Nusantara, pelan-pelan akan menemukan masanya.
Sinau Desa
Untuk mengikuti kisah-kisah tentang desa, saya tidak bisa hanya datang saat butuh wawancara. Di luar liputan, hampir setiap hari saya datang ke desa untuk sekedar ”cangkrukan” atau nongkrong.
Dari sekadar guyonan, lalu obrolan berubah menjadi diskusi serius tentang pembangunan desa. Mulai dari hanya berpeserta 2-3 orang, diskusi terus berkembang. Rutinitas diskusi akhirnya melahirkan komunitas Sinau Desa di Desa Pandanlandung.
Baca juga: Menembus Hutan Mengendus Jejak Konflik Satwa
Sinau Desa adalah komunitas banyak orang yang berniat menimba ilmu soal desa. Sinau Desa pertama kali digelar pada 10 Agustus 2018. Hadir pada saat itu berbagai orang mulai dari anak muda, perangkat desa, kepala desa, pendamping desa, jurnalis, dan masyarakat umum. Bahkan, beberapa pegiat desa dari luar Malang, seperti Kediri, Situbondo, dan Pasuruan, pun turut merapat ke forum Sinau Desa berikutnya. Segala kebutuhan diskusi disokong sama-sama.
Hingga kini, Sinau Desa terus berjalan. Beberapa ”orang pusat” baik dari kementerian bahkan Satgas Dana Desa (saat ini sudah dibubarkan), diundang untuk menularkan ilmu. Pertemanan saya dengan beberapa orang kementerian desa pun semakin terjalin.
Suasana forum Sinau Desa saat diskusi bersama Hariyono, pejabat BPIP. Foto diambil pada Maret 2019. Saya selalu bersemangat ngobrol dan berkumpul dengan orang desa. Cuma ada satu kendala. Saya adalah jurnalis sekaligus ibu rumah tangga yang selama ini tidak kuat ”melekan” (begadang) hingga larut.
Sebelum kenal dengan orang-orang desa tersebut, paling saya bekerja dari pagi hingga malam sekitar pukul 19.00 WIB. Hanya kalau ada laga malam sepak bola di Stadion Kanjuruhan, saya akan begadang sampai larut bahkan dini hari. Namun, itu hanya sesekali.
Baca juga: Ketika Gas Air Mata Mengganas
Tidak seperti saat saya berkumpul dengan orang-orang desa. Mereka bisa setiap malam nongkrong hingga dini hari. Apalagi kalau diskusi sedang sengit-sengitnya, mereka bisa bertahan sampai Subuh.
Saya, tentu tergagap dengan ritme mereka. Ya, orang-orang desa memang sangat wajar memilih waktu kumpul setelah shalat Isya. Sebab, pagi hingga sore mereka bekerja. Sering saya terkantuk-kantuk di tengah diskusi. Kalau sudah begitu, saya memilih untuk undur diri lebih dahulu dan melewatkan banyak ilmu.
Rasa lelah yang saya rasakan sebenarnya juga manusiawi. Saya keluar rumah untuk liputan mulai pukul 10.00 (bisa lebih pagi lagi). Kemudian hingga malam pukul 19.00 saya mengetik dan mengirimkannya ke kantor. Setelah itu, saya geser ke desa.
Saat kantor Malang tempat kerja saya sudah mulai gelap (bahkan gerbang kantor sudah tutup), saya baru bergerak pulang ke rumah. Sampai rumah, tentu saja anak-anak saya seringnya sudah tidur. Namun, biasanya suami masih terjaga karena ia memang memilih waktu kerja malam-pagi. Bagi saya, itulah risiko dari pilihan yang saya ambil saat ingin memahami ”seluk-beluk” desa.
Kenapa saya memilih jalan berdesa ini? Tak lain jawabnya adalah karena saya ingin menulis dengan terlibat, menjadi bagian dari pilar keempat demokrasi, di mana jurnalis turut ambil peran menyangga kehidupan berbangsa dan bernegara. Salah satunya, berkumpul dengan masyarakat. Dari kumpul-kumpul itu saya tahu berbagai isu dan persoalan di lapangan.
Baca juga: Menjadi Saksi Tangisan Fans Brasil
Saya ingat penggalan kalimat dalam film Spiderman... with great power, comes great responsibility.... Saya sangat meyakini itu. Dengan kekuasaan kita yang semakin besar, akan semakin besar pula tanggung jawabnya. Saya merasa sebagai bagian dari media terbesar di negeri ini, saya harus mengambil tanggung jawab besar pula untuk negeri.
Saya sudah cukup senang, menyaksikan langsung anak-anak muda Desa Pandanlandung (berusia 20-an tahun) pada 2019 membulatkan tekad menjadi perangkat desa. Menjadi carik, bendahara desa, kepala urusan (kaur) perencanaan, dan lainnya. Saya juga bahagia, beberapa tulisan desa mendapat perhatian secara nasional. Itu saja.
Kecewa
Namun, sayangnya, kadang hal tidak berjalan seperti idealnya. Beberapa waktu lalu, kami (saya dan teman saya) mendapat bocoran soal praktik penyaluran bantuan langsung tunai dana desa (BLT-DD) yang tidak ”benar”. BLT-DD harusnya diberikan Rp 600.000 per orang per bulan selama 3 bulan (sebelum akhirnya turun keputusan diperpanjang 3 bulan lagi). Namun, di Desa Ampeldento, Kecamatan Karangploso, BLT-DD dipotong sebagian dan sisanya diberikan pada warga yang tidak tercatat menerima.
Potongan BLT-DD itu membuat warga tidak terima. Ada warga desa yang memberikan informasi penyelewengan itu kepada kami (saya dan teman saya). Bentuk informasi berupa rekaman video dan foto. Tidak ingin membiarkan hal tidak benar itu terulang di penyaluran bulan kedua, sekaligus ingin berniat mengedukasi masyarakat desa, kami janjian mengajak ”orang kementerian” untuk sama-sama sidak ke desa tersebut. Harapan kami adalah tindakan salah itu ditegaskan langsung oleh pihak kementerian dan dicarikan solusinya saat itu juga. Tentu, hal ini akan kami tulis sebagai bahan pembelajaran bagi desa-desa lain.
Belum juga kami berangkat ke desa dimaksud, ”orang kementerian” yang merupakan kenalan kami itu, justru mengabarkan bahwa persoalan potongan BLT-DD di Desa Ampeldento sudah diselesaikan. Bahwa, perangkat desa sudah mengembalikan BLT-DD yang dipotong tersebut. Teman tersebut memberikan bukti surat pernyataan pengembalian potongan BLT-DD. Nah…
Kami merasa sangat kecewa. Kami yang memberi informasi, seakan ditinggal begitu saja. Kami merasa, kasus pemotongan BLT-DD tersebut coba ditutup-tutupi. Tentu, ini tak akan memberikan pembelajaran pada desa tersebut dan desa-desa lain. Pelajaran yang didapat oleh Desa Ampeldento, justru bahwa jika mereka berbuat salah, ”orang kementerian” akan membantu menutupi.
Meski kecewa, saya tetap ke desa dimaksud untuk konfirmasi. Kepala Desa Ampeldento Suharyanto mengelak bahwa ada potongan BLT-DD. Ia berkukuh desanya mengikuti aturan pemerintah. Jawabannya sangat tertata dan ini sudah saya prediksi sebelum berangkat ke sana.
Baca juga: Dokter Cantik Obatnya
Kekecewaan saya pribadi, berlipat ganda. Di satu sisi masyarakat desa bertaruh nyawa untuk berdesa dengan baik, tetapi di sisi lain, ”orang kementerian” enggan nama kementeriannya tercoreng. Ia seolah hanya ingin nama kementeriannya terlihat mulus dan baik-baik saja. Kalau memang wajah kementerian masih bopeng di sana-sini, kenapa harus ditutupi? Kalau malu, ya harusnya diperbaiki. Jangan ditutupi.
Yang paling mengecewakan, ”orang kementerian” yang ”menutupi” kasus itu adalah teman saya sendiri. Teman yang selama ini sering kami ajak diskusi tentang desa. Teman, yang sudah terkena jerat birokrasi dan tidak peduli pada kami (yang akhirnya menjadi sasaran ketidakpercayaan informan kami).
Kekecewaan itu sempat membuat saya malas bicara dan menulis desa. Itu bentuk protes saya pada teman saya itu. Namun, mengingat wajah-wajah tulus orang desa, yang terus berjuang menjadikan desanya baik, rasanya hati saya tak tega membiarkannya begitu saja. Saya akhirnya kembali menulis tentang desa. Pelajaran yang saya petik adalah tidak semua teman bisa dipercaya. Saya bertekad akan kembali melawan dan mengkritik hal yang tidak benar, sekali pun berhadapan dengan teman sendiri.
Tulisan ini, anggap saja awal dari kebangkitan dan perlawanan saya sebagai jurnalis yang mengikuti perkembangan desa.