Rezeki dalam Sekotak Nasi
Dan, kejujuran di atas segalanya. Bosnya menyerahkan hatinya kepada Dame sepenuhnya. Bosnya tahu, ia bukan bos di mata Dame. Bos Dame adalah Tuhan. Tuhan pemilik semesta.
--Untuk Chiko
Telah seminggu Dame keliling Kota Medan seperti mencari seorang anak hilang. Diantar sopir sewaan, mewakili bos perusahaannya di Surabaya, ia akan membeli satu bangunan pabrik kosong masih layak pakai. Harapannya, direnovasi secukupnya bangunan itu siap beroperasi sebagai kantor.
Perusahaannya akan membuka cabang di sini. Dan itu mendesak. Kalau tidak, dia akan berhenti bekerja.
Sudah beberapa lokasi ia survei, namun dirasanya belum pas sebagai gudang penyimpanan hasil laut. Nantinya tempat itu akan dipasang alat pendingin ruangan yang memenuhi standar penyimpanan. Medan akan menjadi pabrik terbesar kedua setelah Surabaya, dan Dame bosnya.
Sebenarnya tidak seperti itu ceritanya. Bulan lalu ia menulis surat pengunduran dirinya kepada bosnya. Bukan memberi izin, pemilik perusahaan itu malah memutuskan untuk membuka cabang di Medan untuk menjawab alasan Dame berhenti bekerja: agar lebih dekat keluarga. Medan ke Balige hanya lima jam berkendara. Surabaya ke Balige, belum membeli tiket pun sudah terasa letihnya.
Dame tidak boleh berhenti dari perusahaan, itu intinya. Apa pun alasannya. Dalam sebulan, sedikitnya dua hari Dame meminta izin beristirahat di rumah. Hanya tidur dan makan seperti me-recharge baterai tubuhnya.
Dame adalah permata bagi bosnya. Lima belas tahun lalu, sejak ia bergabung, perusahaan industri hasil laut itu melejit. Keseriusan dan ketelitian Dame mengerjakan administrasi kargo dan mengontrol kualitas produk sebelum dikirim, sempurna. Sejak Dame ada, komplain pelanggan luar minor. Sebelumnya bosnya kerap minum obat pusing tujuh keliling menghadapi kelicinan para petugas berkongkalikong dengan pegawainya.
Dan, kejujuran di atas segalanya. Bosnya menyerahkan hatinya kepada Dame sepenuhnya. Bosnya tahu, ia bukan bos di mata Dame. Bos Dame adalah Tuhan. Tuhan pemilik semesta.
Dame memang bertubuh ringkih. Usianya empat puluhan. Saat berjalan pakaiannya yang longgar berkibar-kibar ditiup angin. Terkadang kaki kurusnya seperti hendak dijatuhkan oleh sentuhan angin. Barangkali orang tak percaya apabila dikatakan kesehariannya adalah memeriksa produk siap ekspor di gudang penyimpanan ikan yang dinginnya serupa di dalam lemari es, dan ia bisa berjam-jam berada di sana.
Hari ini Dame akan melihat satu pabrik yang terletak di perifer kota. Seorang ibu pejabat dari kantor kelautan dan perikanan, rekanan perusahaannya, memberi informasi tersebut. Dalam rencana, pukul satu siang ia menjemput ibu pejabat itu di satu hotel di mana ia tengah menjadi pembicara dalam satu rapat kerja. ”Kita makan siang dulu di sekitar hotel sebelum menjemput ibu itu,” kata Dame kepada sopir.
Di seberang hotel itu ada mal bagus dengan posisi food court di lantai satu. Nama-nama restoran terpampang di dinding kaca. Segala jenis hidangan tinggal pilih saja. Sopir membelokkan mobil memasuki area restoran, menurunkan Dame di teras mal. Di sana tersedia beberapa meja bundar dikelilingi empat kursi untuk pelanggan yang tidak merokok.
Dame mencari lokasi duduk. Ketika sudah memilihnya, ia tersadar tentang keberadaan seorang laki-laki yang berdiri diam mematung, 3 meter berjarak dari tempatnya duduk. Laki-laki itu kelihatan masih muda meski berpenampilan dekil. Pakaiannya usang, rambut gimbalnya awut-awutan.
Dame merasa tidak mungkin berpindah duduk karena itu akan mencolok mata si lelaki patung, bahwa Dame menghindari kedekatan dengan laki-laki itu. Ia memandang ke arah laki-laki patung, mata mereka bertemu. Dame merasakan mata itu tidak mengancam. Ia duduklah, menunggu sopir. Posisinya sekarang di depan si lelaki patung.
”Kenapa Ibu duduk di sini? Di sana ada kosong. Ibu tidak lihat orang berdiri di belakang itu?” tanya sopir dengan suara pelan sambil menundukkan kepalanya agak ke hadapan Dame.
”Saya tahu. Saya baru ngeh ketika sudah memilih tempat duduk. Beberapa kali saya menengok, dia sedang melihat saya. Dia masih melihat ke arah saya?”
”Masih.”
”Nah, ini uang. Kamu masuk ke restoran dan pesan makanan. Pesan tiga. Dua untuk kita makan di sini. Satu dibungkus untuk orang itu.” Dame mengatakan itu sambil memperlihatkan tiga jarinya. Semacam kode kepada lelaki patung bahwa dia juga akan mendapat bagian makan siang.
Sopir masuk ke dalam restoran. Tak lama dia muncul dan duduk ke tempat semula. Lelaki patung masih berdiri menatap kepala Dame seakan-akan di sana ada sesuatu yang menarik matanya dan tidak mungkin pindah ke lain titik.
Mereka menunggu pesanan tiba. Cuaca Medan teduh meski matahari tegak di atas kepala. Jam makan siang mulai pada puncaknya dengan kedatangan orang-orang berpakaian kantoran berjalan kaki memasuki restoran.
Dame melihat jam tangannya. Sepuluh menit berlalu. ”Masuklah, tanya makanan kita,” katanya.
Sopir mengangkat bokongnya, memasuki area restoran.
”Makanan dalam antrean,” katanya satu menit kemudian.
Jam makan siang semua lapar dan ingin cepat dilayani. Dan restoran tidak ingin kehilangan pelanggan pada jam-jam sibuk. Itulah puncak mereka mengumpulkan pundi-pundi.
Meja-meja di sekitar mereka sudah padat manusia. Suara-suara orang mengobrol terdengar dari jarak dekat di depan, belakang, dan samping. Sesekali Dame menengok ke belakang, dan ia akan mendapati mata laki-laki patung masih setia kepadanya.
Nah, ini uang. Kamu masuk ke restoran dan pesan makanan. Pesan tiga. Dua untuk kita makan di sini. Satu dibungkus untuk orang itu.
Lantas Dame teringat masa kecilnya. Di Balige dulu, dari waktu ke waktu, selalu ada orang berpakaian kumal tidur di pinggir trotoar, di pasar, atau di teras rumah kosong. Laki-laki tua atau perempuan muda. Warga melabeli mereka orang gila. Ia menyebutnya orang tidak punya rumah.
Setiap hari Minggu sebelum ke gereja, dengan suara cerewetnya ia akan mendesak ibunya bekerja lebih cepat membungkus nasi beserta lauk dan sayurnya. Sehabis itu bersepeda ia mengantar satu demi satu nasi bungkus ke orang-orang yang tidak punya rumah itu. Dia tahu di mana mereka mangkal. Setelah itu, harinya akan berlalu dengan tenang.
Lain waktu dia akan memaksa ibunya mencari sarung atau pakaian yang masih dapat dipakai dan bersih. Ia tahu siapa saja yang memerlukan itu.
Kebiasaan itu membuat Dame dijuluki ibu peri orang gila oleh kakak dan adiknya. Dia tidak keberatan dengan julukan itu meski ia tidak setuju mereka disebut orang gila. Kalau ada orang gila baru kota, mereka akan lapor kepada Ibu Peri dan Ibu Peri akan melaksanakan tugasnya.
Kuliah di Pekanbaru kebiasaan itu berlanjut. Seperti ia diamanahkan semesta untuk bertemu orang-orang di jalanan. Tiap hari Minggu dia akan membeli sepuluh bungkus nasi warung dan mengantarnya kepada mereka. Orang-orang itu menerima pemberiannya tanpa curiga atau segan. Senyum bertemu senyum tanpa perlu ucapan terima kasih.
”Memangnya orang gila tahu berterima kasih!” kata adiknya.
”Bukan gila. Belum tentu mereka gila. Mana tahu kita mereka gila,” kata Dame. Ibu Peri memberi mereka makan tiap hari Minggu. Senin hingga Sabtu mereka dipelihara oleh Tuhan, pikirnya. Dari tangannya orang-orang di jalanan menemukan nasibnya yang baru, diantar ke rumah sakit jiwa atau ke tempat persinggahan orang-orang dengan gangguan jiwa.
Sepuluh menit berlalu lagi.
”Lama sekali? Coba kamu tanya lagi!” Sopir mengangkat bokongnya lagi, bertanya. Dame menjadi tidak tenang. Berkali-kali ia melihat jam tangannya. Ia menengok ke sebelah kirinya dan laki-laki patung menunggu. Masih berdiri tenang tidak terpengaruh kecemasannya.
”Sebentar lagi kata mereka,” lapor sopir kedua kalinya.
Tiga puluh menit menunggu. Dia melihat sedikit ke belakang dan kali ini dia melihat sedikit pergerakan pada lelaki patung. Kepalanya tidak lagi diarahkan kepadanya, tetapi ke arah jalan raya. Matanya disipitkan menghindar silau kilau sinar matahari.
Lalu kakinya bergerak. Dia melangkah seperti bermeditasi. Lelaki patung melewati meja tempat Dame dan sopir duduk, tanpa permisi atau basa-basi.
Posisi laki-laki patung di pintu keluar mal ketika petugas restoran mengantar pesanan ke meja mereka. Termasuk kotak makanan di dalam tas plastik.
”Cepat kejar dia. Sepertinya dia mau menyeberang,” kata Dame cepat sambil mengangkat kantong plastik dan menyerahkan kepada sopir.
Setengah berlari sopir mengejar lelaki patung yang sedang berjalan di jalan raya. Jalan itu lebarnya lima belas meter dan sengit oleh lalu-lalang kendaraan. Mata Dame terus mengikuti sopir dan ke arah jalan. Tiba-tiba dalam sekejap lelaki patung menghilang. Dame sampai berdiri mencari-cari jejak lelaki patung.
Sekian lama sopir kembali dengan tas plastik di tangan. Wajahnya merah karena keringat.
”Betul-betul tidak kelihatan, Bu,” keluhnya.
”Itu berarti bukan rezekinya,” kata Dame.
Mereka menyelesaikan makan siang dan berpindah ke hotel tempat ibu pejabat berada. Kantong plastik berisi kotak nasi jatah lelaki patung ditaruh sopir di belakang mobil. Mereka menunggu beberapa menit sebelum ibu pejabat muncul tergesa.
Ruangan dalam mobil semerbak menyambut kehadiran ibu pejabat. Wajahnya rapi berbedak dan bergincu, rambutnya digelung di atas tengkuk. Suaranya nyaring dan lincah, berkata maaf beberapa kali kepada Dame karena keterlambatannya.
Sopir mengambil jalan pintas di jalan-jalan tikus untuk menghindari macet. Dame memperhatikan kepala ibu pejabat melihat keluar jendela kadang-kadang lehernya ikut berputar ke belakang setelah apa yang tadi dilihat di luar sana.
Tiba-tiba ibu pejabat berteriak seperti melompat, ”Eh, itu tukang gado-gado bukan ya? Bisa berhenti sebentar?”
”Ibu belum makan siang?” tanya Dame cepat.
Mobil telanjur meninggalkan meja jualan di pinggir jalan yang mungkin berjualan gado-gado.
”Iya, saya belum makan. Tadi banyak peserta bertanya kepada saya dan saya tidak sempat makan. Saya kabur pada jam istirahat, izin panitia karena tak enak Ibu Dame sudah lama menunggu saya.”
”Di belakang ada satu kotak nasi. Ibu mau?”
Ibu pejabat itu melebarkan senyumnya, memandang Dame, berkata, ”Aduh, kalau rezeki memang tidak ke mana. Saya mau, Bu Dame.”
Dame memerintahkan sopir untuk menghentikan kendaraan dan mengambil kantong plastik tadi di belakang. Dame menyerahkannya kepada ibu pejabat. Ibu pejabat makan dengan cepat. Rupanya ia memang lapar.
Hari itu menyenangkan. Dame sreg dengan pabrik yang mereka survei. Ia mengambil beberapa foto bangunan untuk dia informasikan kepada bosnya. Misinya di Medan hampir selesai.
Dame mengantar ibu pejabat kembali ke hotel. Setelah itu sopir berkata, ”Untung Ibu tadi tidak bertanya kenapa ada satu kotak nasi ngejogrok di belakang mobil.”
Dame hanya tersenyum. Sebenarnya itu juga tanya-tanya di dalam hatinya.
Seandainya ibu pejabat itu bertanya dia akan menjawab yang sebenarnya. Setelah itu menyerahkan tindakan selanjutnya kepada ibu pejabat, apakah mau atau tidak memakan nasi kotak yang ditinggalkan itu.
Baca juga: Gading Om Jenderal
Memang baru kali ini niatnya memberi makan orang di jalanan tidak berhasil. Peristiwa siang itu memberinya pemahaman bahwa tidak setiap orang yang penampilannya seperti membutuhkan makan, butuh makan. Bahwa tidak setiap orang yang penampilannya seperti tidak membutuhkan makan, tidak butuh makan.
Dame merasa lelaki patung sedang menyambut kehadirannya di Medan dengan memberi kode, kau tak perlu terburu-buru. Masih banyak waktumu di sini. Ia lalu teringat perumpamaan, orang-orang miskin selalu ada di antaramu, tetapi ingatlah yang paling utama.
”Kalau orang gila menunggu sedikit lagi apakah peristiwa hari ini tetap sama?” Sopir bergumam kepada dirinya sendiri.
”Ini bukan soal siapa tahan lapar siapa tidak. Bukan soal mampu atau tidak. Lelaki tadi telah melatih diri dari lapar ke lapar berikutnya dan tubuhnya tidak gelisah kala satu lapar lagi menyerbu. Dia mungkin lapar, tapi tenang menghadapinya bahkan dengan sengaja melampauinya karena dia tahu akan mendapatkan makanan pada akhirnya.”
”Betul juga.”
”Sementara ibu tadi baru terlewat jam makan siang dan tubuhnya sudah gelisah. Tubuhnya menuntut makanan dan ia menjawab tuntutan itu. Makanya dia bilang tadi, kalau rezeki tak ke mana. Satu kotak makan itu cukup untuk memuaskan lapar tubuhnya.”
”Ibu Dame pintar sekali,” puji sopir.
Hidup itu memang begitulah. ***
Ita Siregar lulus dari Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Padjadjaran Bandung tahun 1993. Bekerja di Fulbright American Exchange Foundation (Aminef) di Jakarta untuk Program Amerika (2008-2009), majalah Femina (2003-2008). Menulis cerpen, novel, puisi, dan esai. Esainya memenangi salah satu Lomba Kritik Sastra oleh Dewan Kesenian Jakarta 2013. Buku puisi terbarunya Ia Dinamai Perempuan (2020) tentang 54 perempuan dalam Kitab Suci. Tinggal di Balige, Sumatera Utara, sejak 2019 setelah menerima beasiswa Residensi Penulis dari Komite Buku Nasional Kemendikbudristek RI, sampai sekarang.